Warning: copy(/core/albayan/wp-content/wflogs//GeoLite2-Country.mmdb): Failed to open stream: Permission denied in /core/albayan/wp-content/plugins/wordfence/lib/wordfenceClass.php on line 2192

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /core/albayan/wp-content/plugins/wordfence/lib/wordfenceClass.php:2192) in /core/albayan/wp-includes/feed-rss2.php on line 8
Edisi 10 – e-buletin al-Bayan https://al-bayan.uai.ac.id Integration of Knowledge, Enterprising, Corporate Culture, UAI Core Values Sat, 05 Feb 2022 11:18:01 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.7.1 Menyikapi Pujian https://al-bayan.uai.ac.id/?p=472 Fri, 26 Nov 2021 10:34:00 +0000 https://al-bayan.uai.ac.id/?p=472 Abdullah Hakam Shah, Lc., M.A

Pujian merupakan fenomena umum yang sering kita temui sehari-hari. Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori: pujian yang dilontarkan sebagai ekspresi kekaguman, pujian yang sifatnya basa-basi belaka, serta pujian yang diucapkan demi suatu kepentingan.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa memotivasi kita untuk terus meraih pencapaian yang lebih baik. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan dan haus sanjungan. Semakin sering orang lain memuji, semakin besar potensi kita untuk terlena.

Sebab itulah, dalam ungkapan hikmah yang sangat populer, Ali RA berkata, “Kalau ada yang memujimu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu daripada terbuai ucapannya.

Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Rasulullah SAW memberikan tiga kiat yang sangat menarik untuk diteladani. Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian orang lain. Lebih-lebih kalau pujian tersebut sekadar untuk menjilat. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Rasulullah SAW menanggapinya dengan doa:

 “Ya Allah, janganlah Engkau hukum hamba karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Bukhari)

Lewat doa ini, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan sanjungan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi lepas kontrol  dan terbuai.

Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada yang memuji kita, itu lebih karena ketidaktahuannya akan belang serta sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat kedua Rasulullah SAW dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa:

            “Ya Allah, ampunilah hamba dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Bukhari)

Dan kiat ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain memang benar-benar ada dalam diri kita, Rasulullah SAW mengajarkan agar memohon kepada Allah SWT untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Rasulullah SAW kemudian berdoa:

            “Ya Allah, jadikanlah hamba lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Bukhari)

            Tiga kiat yang dicontohkan Rasulullah SAW di atas, hakikatnya mengisyaratkan betapa hati manusia sangat rentan terhadap provokasi pujian. Alih-alih pujian yang dilontarkan dengan tulus, pujian yang tujuannya untuk menjilat pun bisa dengan mudah membuatnya terbuai.

            “Namun, bagi orang-orang yang menjaga kebeningan hati,” kata Ibnu al-Mubarak sebagaimana dinukil al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin, “Setiap pujian akan membuatnya sadar bahwa hanya secuil itulah kelebihan yang dimilikinya, di antara sekian banyak kekurangan yang tidak Allah tampakkan kepada orang lain.”  [] 

]]>
Menyambut Hadirnya Pusat Kajian Penerapan Etika dan Nilai-nilai Keislaman (PKPENK) https://al-bayan.uai.ac.id/?p=469 Fri, 26 Nov 2021 10:31:00 +0000 https://al-bayan.uai.ac.id/?p=469 Bulan Nopember 2021, UAI kembali melaksanakan suksesi kepemimpinan. Dengan pergantian kepemimpinan ini, struktur organisasi pun tentu mengalami perubahan.

Melalui SK Rektor No. 333/SK/R/UAI/XI/2021 tentang Struktur Organisasi Universitas Al-Azhar Indonesia tanggal 25 Rabi’ul Awal 1443H/1 Nopember 2021M secara resmi berdiri PKPENK untuk penguatan etika dan nilai-nilai keislaman. Pimpinan memutuskan menggabungkan dengan memodifikasi tupoksi dari Direktorat Etika, Kebangsaan dan Ke-Al Azhar-an (DEKK) dan Pusat Kajian Strategis Nilai-nilai Islam dan Kewirausahaan (PKSNIK) menjadi satu pusat yang baru yakni Pusat Kajian Penerapan Etika dan Nilai-nilai Keislaman (PKPENK).

Selanjutnya dengan SK Rektor No. 337/SK/R/UAI/XI/2021 tertanggal 12 Nopember 2021 diangkatlah Pejabat Struktural di Pusat ini yakni Drs. Murni Djamal, M.A sebagai Kepala Pusat dan dibantu oleh Wakil Kepala Pusat, Dr. Sandra Herlina, S.S., M.A., Kepala Kantor Ismet Alaik Rahmatullah, S.E., M.H. Kepala Bagian Kajian Penerapan Etika dikomandoi oleh Dr. Suwardi, S.Pd., M.Pd, Kepala Bagian Kajian Nilai-nilai Keislaman dikomandoi oleh Muhammad Ridhwan, M.Ag. dan Ka. Subbag Kajian Penerapan Etika dan Nilai-nilai Keislaman Sdri Nova Safira Dewi, A.Md. Sementara staf administrasi yang membantu adalah Sdr. M Sutisna, M.H dan Sdr. Dani Maradona, S.S

Pusat ini juga diperkuat dengan hadirnya empat Penasehat yakni Drs. Murni Djamal, M.A., Prof. Dr. Syofyan Saad, M.Pd., Prof. Dr. Ir. Ahmad Muslim, M.Sc, dan Prof. Dr. Nurhayati Djamas, M.A., M.Si.

Pada pertemuan antara Kepala Pusat dengan Rektor UAI terangkatlah bahwa gagasan Pendirian Pusat ini adalah untuk menyelaraskan Renstra UAI 2021-2025, dimana Visi UAI yang Menjadi Universitas Terkemuka dalam Membentuk Manusia Unggul dan Bermartabat, yang Memiliki Kemampuan Intelektual Berlandaskan Nilai-nilai Spiritual, Moral, dan Etika Islami”

Berdasar keinginan luhur tersebut, pimpinan merasa perlu mendirikan Pusat yang dapat menjadi penggerak keberhasilan menjalankan visi tersebut. Pada pertemuan tersebut, Pak Rektor menyampaikan 6 Mandat dan dibacakan saat penyerahan SK kepada Para Pejabat Struktural di Pusat ini. 6 Mandat tersebut yakni: 1) Mengkaji untuk memberikan input pemikiran kepada Pimpinan agar UAI kokoh sebagai lembaga pendidikan tinggi yang membangun pribadi terbuka dengan kekuatan soft skill dan hard skill bernafaskan Islam, 2) Mengkaji kaidah-kaidah etika moral kehidupan kampus, 3) Membuat buku panduan kaidah kehidupan kampus yang beretika; 4) Mempelajari indikator-indikator World Class Islamic University; 5) Memberikan input konsep dan strategi UAI masuk ke dalam kelompok 50 besar World Class Islamic University tahun 2022; 6) Mengkaji Islam dalam lintas disiplin ilmu pengetahuan sosial, ilmu kealaman, ilmu hayati, humaniora dan teknologi kontemporer.

PKPENK diharapkan melakukan kegiatan-kegiatan Diskusi Intensif, FGD (Focus Group Discussion, Seminar Nasional dan Internasional, Workshop internal UAI dengan menghadirkan pakar dari dalam dan luar negeri.

Di samping tugas yang menjadi mandat, PKPENK tetap diminta melaksanakan program-program integrasi Islam Lintas Disiplin Ilmu yang menjadi kekhasan UAI. PKPENK dapat melanjutkan tugas PKSNIK dalam pembentukan mindset keilmuan yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam dengan melaksanakan Diskusi Serial/FGD Epistemologi Islam, penerbitan e-Buletin al-Bayan, penerbitan e-Journal Enlighten, pelaksanaan International Conference on Islamic Epistemology (ICIE), internalisasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan tetap aktif dalam Konsorsium Epistemologi Islam Lintas Perguruan Tinggi karena UAI merupakan inisiator dan satu dari enam pendirinya.

Semoga Pusat ini dapat menjalankan Amanah dan mengemban misinya yang selaras dengan visi misi UAI.[]

]]>
Al-Mutakabbir : Yang Memiliki Kebesaran https://al-bayan.uai.ac.id/?p=466 Fri, 26 Nov 2021 10:26:00 +0000 https://al-bayan.uai.ac.id/?p=466 Muhammmad Ridhwan, M.Ag

“Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Dia Maharaja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” QS. al-Hasyr [59]: 23

Al-Mutakabbir adalah satu dari sembilan-puluh sembilan asma al-husna (nama-nama yang baik) bagi Allah. Secara leterlek banyak ulama mengartikan al-Mutakabbir sebagai Yang Maha Memiliki Kebesaran. Quraish Shihab dalam Menyingkap Tabir Ilahi mengulas Sifat al-Mutakabbir (Yang Memiliki Kebesaran) dan memberikan arti “angkuh”. Menurutnya berdasarkan kutipan dari ahli Bahasa bahwa mutakabbir berarti Yang Maha Besar. Sisipan huruf ‘ta’ pada kata dalam Bahasa Arab, maka ia akan bermakna takalluf (kesengajaan membuat-buat), sedangkan Allah Mahasuci dari perbuatan tersebut.  Tidaklah mungkin Allah membuat-buat kebesaran-Nya sementara pada hakikatnya Ia Mahabesar dan Mahaagung, serta menyandang gelar kibriya. Manusialah yang melekat sifat takabbur, bukan Allah. Manakala manusia sudah angkuh dan menyombongkan dirinya, maka ia telah membuat-buat kebesaran itu untuk dirinya. Padahal ia tidak memiliki kebesaran tersebut.  (Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 1998)

Imam al-Ghozali berpendapat bahwa mutakabbir adalah mereka yang memandang selain dirinya hina dan rendah sebagaimana raja memandang hamba sahaya. Sifat ini hanya layak dimiliki Allah, tidak untuk manusia. Manusia akan menjadi sangat tercela bila memiliki sifat takabbur/sombong/angkuh. Manusia yang takabur menggabungkan dalam dirinya kebodohan dan kebohongan. Kebodohan karena tidak mengetahui bahwa kebesaran hanya milik Allah, dan kebohongan karena membohongi dirinya sendiri.

Namun Imam al-Ghozali tidak menutup pintu bagi mereka yang ingin meneladani sifat Allah –baca: al-mutakabbir–, menurutnya yang mutakabbir dari hamba-hamba Allah adalah mereka yang Zahid, mereka yang menjauhkan diri dari kenikmatan dunia lagi seorang yang ‘arif. Zuhudnya seorang ‘arif adalah dengan melepaskan diri dari apa yang dapat menyibukkan dirinya dari apa yang diperebutkan orang. Ia akan memandang kecil dunia dan akhirat, sehingga ia tidak disibukkan dari kedua urusan tersebut, ia hanya fokus kepada Allah SWT, kepada keridhaan-Nya. Sementara zuhudnya orang yang belum ‘arif, adalah dalam wujud pertukaran. Ia menukar kenikmatan dunia dengan akhirat. Orang yang mutakabbir dalam posisi ini adalah mereka yang diperbudak oleh syahwat makanan dan pernikahan, maka ia menjadi hina. Mereka akan memandang hina dan rendah, semua didasarkan kepada nafsu dan syahwat. (Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 1998)

Jenis Kesombongan

Setidaknya terdapat tiga jenis kesombongan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kesombongan yang pertama adalah kesombongan karena merasa sudah sempurna atau merasa sudah melakukan hal yang baik. Kesombongan ini akan berakibat terhentinya usaha-usaha memperbaiki diri. Seseorang yang dihinggapi kesombongan seperti ini kelak tidak dapat berinterospeksi atas kesalahan dan kealpaannya karena ia merasa paling baik dan benar. Kesombongan yang kedua adalah merasa tidak memerlukan pertolongan orang lain apalagi kalau seseorang tersebut merasa tidak perlu pertolongan Tuhan. Kesombongan ini cenderung akan berakibat seseorang itu meremehkan orang lain. Kesombongan ketiga adalah keinginan untuk menonjolkan diri sendiri. Dampak dari sikap ini adalah ia tidak akan mau mengakui kehebatan orang lain. Kesombongan ini adalah kesombongan yang berhubungan dengan gengsi. Kesombongan karena ingin lebih dari orang lain, kelebihan ilmu (kepandaian), lebih kaya, lebih banyak beramal. Hal inilah yang dirilis dalam QS. al-Ma’un [107]: 1-7. Kesombongan akan menghancurkan hubungan antarpribadi. (Yusuf, 1985)

Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghozali menyebutkan empat bahaya dari sifat sombong. Pertama, kesombongan dapat menghalangi seseorang dari kebenaran dan menutup mata hatinya. Hal ini berakibat ia tidak dapat memahami ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya. Disebutkan dalam QS. al-A’raf [7]: 146, “Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar.” juga dalam QS. Gafir [40]: 35, “(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai pada mereka. Sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang-orang yang sombong dan berlaku sewenang-wenang.” Kedua, kesombongan akan menyebabkan kebencian dan kemurkaan Allah, lihat QS. al-Nahl [16]: 23. Ketiga, kesombongan akan menyebabkan kehinaan dan siksa di dunia dan akhirat. Imam Hatim al-Asham berkata: “Hindarilah olehmu perjumpaan dengan kematian dalam tiga keadaan, yaitu sombong, tamak, dan angkuh. Sesungguhnya orang yang sombong tidak akan dibiarkan oleh Allah untuk meninggalkan dunia sebelum ia dihinakan oleh keluarga, kerabat, dan para pelayannya.” Keempat, kesombongan akan membawa mereka ke neraka jahanam. (al-Ghozali, 2013)

Jahannam adalah tempat bagi mereka yang sombong

Dalam QS. al-Nahl, al-Quran menggunakan dua kata berbeda yakni kata mutakabbirin dan mustakbirun untuk menunjukkan sikap sombong, yang tentu saja berbeda maknanya. Pada QS. al-Nahl [16]: 29 Allah menggunakan kata al-mutakabbirin sedangkan pada QS. al-Nahl [16]: 23 menggunakan kata al-mustakbirun. Al-mustakbirun mengisyaratkan kaum musyrikin yang menampakkan keangkuhannya, sedangkan al-mutakabbirin mengindikasikan jangankan menampakkan keangkuhan, yang angkuh saja tidak wajar menghuni neraka. Dalam konteks inilah Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga siapa yang terdapat dalam hatinya walau sebesar dzarrah dari keangkuhan.

Lalu rujuklah QS. al-Kahfi [18]: 103-106, “Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatan-perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka, hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu Neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” QS. Al-Kahfi [18]: 103-106

Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab merangkumkan sepuluh ayat terakhir surah al-Kahfi ini menegaskan tentang bagaimana Allah akan memperlihatkan Neraka Jahannam bagi orang-orang kafir, yakni mereka yang ketika hidup di dunia tidak menggunakan mata mereka untuk melihat kebesaran Allah. Mereka selalu tertutup dan lengah akan peringatan-peringatan Allah, bahkan tertutup pula telinganya sehingga tidak sanggup mendengar.

Allah menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan tanpa iman kepada Allah akibat kekufuran tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan dilabeli sebagai orang-orang yang merugi. Kerja keras dan perbuatan baik yang dilakukan tidak bernilai apa-apa.  Ketiadaan iman karena kesombongan merasa segala sesuatu dapat ia peroleh sendiri sehingga ia tidak mempercayai hari pembalasan. (Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 2009)

Sombong adalah penyakit mental yang sangat berbahaya. Penyakit sombong ini bisa menjerumuskan seseorang dalam kekafiran dan kesesatan. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan ada tiga bentuk kesombongan. Pertama, sombong terhadap Allah Azza wa Jalla karena kedunguan dan kezaliman, ia memberi contoh pada perilaku Fir’aun dan Namrud. Kedua adalah sombong kepada para Rasul dengan menolak kerasulannya. Ketiga adalah sombong terhadap manusia dengan merasa lebih hebat dan cenderung meremehkan orang lain. Menurutnya, ketiga sifat sombong ini sangat tercela karena takabbur dan sombong hanyalah milik Allah semata. Kesombongan dapat membuat seseorang menjadi ingkar akan nikmat Allah, enggan menjalankan perintah-Nya, bahkan berpaling dari kebenaran. (Az-Zuhaili, 2014)

Dalam QS. al-Isra [17]: 37-38, Allah mengharamkan sifat takabbur (sombong/angkuh) dan melarangnya dengan sangat keras. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan sekali-kali tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.”

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat dengan majelisku di Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dengan majelisku di hari Kiamat adalah al-Tsartsarun (mereka yang suka berbicara panjang lebar/berlebihan), al-Mutasyaddiqun (mereka yang suka berbicara sambil menyunggingkan kedua bibirnya dengan tujuan sombong dan merendahkan orang lain), dan al-Mutafayyahiqun. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tahu arti Tsartsarun dan al-Mutasyaddiqun, lalu apa al-Mutafayyahiqun itu? Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang sombong.”

Adapun Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Karena itu, siapa saja yang melepaskan salah satu dari keduanya maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka.’”

Sehingga dari ayat al-Quran dan riwayat Nabi dapat disimpulkan bahwa sombong dapat menjadi sebab seseorang itu akan masuk neraka, sebagaimana riwayat dari Bukhari dan Muslim dari Haritsah bin Wahab r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, aku akan mengabarkan siapa penghuni neraka? Dia adalah orang yang kasar, keras, dan sombong.”

Kemudian orang yang sombong akan dijauhkan dari rahmat Allah. Dalam hadits Riwayat Muslim dan Nasa’i dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang kelak  pada hari kiamat Allah enggan berbicara dengan mereka, tidak mau menyucikan, tidak akan melihat mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka adalah orang tua yang berzina, penguasa pembohong, dan orang miskin yang sombong.”

Hadits di atas diperkuat dengan hadits lain riwayat Ahmad, dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.”

Kiat menghindari Kesombongan Diri

Sedemikian mengerikannya azab yang akan ditimpakan bagi perilaku sombong. Yusuf dalam bukunya Kita dan Islam mengemukakan tiga cara agar seseorang itu dapat terhindar dari sifat sombong. Pertama, ia harus merasa dan mengakui kelemahan-kelemahannya. Dalam memandang prestasi yang diraih, ia seharusnya tidak merasa bahwa prestasi tersebut adalah jerih payahnya sendiri dengan menafikan peran orang lain. Ia juga harus meyakini bahwa keberhasilan tersebut adalah karunia dari Allah. Kedua, ia harus beribadah dan terus mengingat Allah. Hal ini tentu saja menjadikan Allah berada di atas segala sesuatu. Seseorang yang senantiasa beribadah dan mengingat Allah akan menghancurkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Ketiga, ia harus mengembangkan sikap keterbukaan untuk menerima kritik. Membangun sikap menerima kelebihan orang lain dan menerima kekurangan yang ada dalam dirinya. (Yusuf, 1985)

References

al-Ghozali. (2013). Minhajul Abidin (terj). Jakarta: Khatulistiwa Press.

Az-Zuhaili, W. (2014). Ensiklopedia Akhlak Muslim: Berakhlak Terhadap Sesama dan Alam Semesta. Jakarta: Noura Books.

Shihab, M. Q. (1998). Menyingkap Tabir Ilahi. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Yusuf. (1985). Kita dan Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.

]]>
Memahami Komunikasi Bisnis Islam https://al-bayan.uai.ac.id/?p=463 Fri, 26 Nov 2021 10:14:00 +0000 https://al-bayan.uai.ac.id/?p=463 Yoedo Shambodo, S.Sos., M.Si

Selama masa pandemi Covid-19, banyak warga masyarakat yang memanfaatkan media online untuk melahirkan atau membangun bisnis, termasuk dengan menggunakan media sosial. Dengan keterbatasan ruang gerak selama masa pandemi, banyak masyarakat yang mencari kebutuhan dengan cara belanja online. Kesempatan inilah yang bisa dimanfaatkan oleh para penjual untuk mencari celah keuntungan. Saking ketatnya persaingan bisnis di media online menyebabkan banyak penjual yang melakukan bisnis tersebut berlomba-lomba membuat konsumen tertarik untuk membeli produknya dengan harga yang kompetitif.

Umumnya bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh keuntungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien. Secara sederhana, bisnis adalah semua kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih yang terorganisasi dalam mencari laba melalui penyediaan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat (Tantri, 2009).

Dalam keberhasilan pencapaian usaha, komunikasi menjadi salah satu faktor penting dalam bisnis. Seperti dalam kegiatan pemasaran tentu membutuhkan komunikasi yang baik terutama kepada konsumen agar produk yang dimiliki bisa diterima sepenuhnya. Dengan komunikasi yang baik, pelaku bisnis bisa menjual produk yang dimiliki dengan lebih baik dan juga bisa menghindari terjadinya kesalahpahaman tidak hanya oleh konsumen, tetapi juga ke rekan kerja ataupun investor.

Komunikasi adalah suatu hal yang vital bagi kehidupan manusia. Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosial, dan mengembangkan kepribadiannya. Kegagalan komunikasi menghambat saling pengertian, menghambat kerja sama, menghambat toleransi, dan merintangi pelaksanaan norma-norma sosial. Sebab, dalam hal ini, komunikasi baik berupa verbal maupun nonverbal dengan berbagai simbol-simbol yang ditunjukkan adalah proses dari interaksi sosial. Raymond S. Ross yang dikutip oleh Deddy Mulyana mengemukakan bahwa “Komunikasi atau Communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata latin Communis yang beberarti membuat sama” (Mulyana, 2017). Disini maksudnya adalah sama dalam pemaknaannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi adalah penyampaian pesan yang bertujuan untuk membuat arti atau persepsi yang sama antara penyampai pesan dengan penerima pesan.

Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Maka komunikasi Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara (how), dalam hal ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika). Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan) (Muslimah, 2016). Adapun komunikasi bisnis Islam merupakan kegiatan bertukar pesan antar dua atau lebih pihak dalam lingkup bisnis dengan dilandasi aturan Islam. Jadi, seluruh bentuk pesan yang keluar dari pelaku komunikasi harus memperhatikan berbagai etika dan prinsip yang berlandaskan wahyu Allah SWT dan juga hadits Rasulullah sebagai pedoman bermu’amalah dengan baik. Harus disadari bahwa sebagai seorang muslim, dalam situasi apapun ia dibimbing oleh aturan dan prosedur yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan Tuhan dalam syariat-Nya yang dicontohkan melalui Rasul-Nya. Termasuk dalam hal bentuk kegiatan bisnis. Baik itu berhubungan dengan produk, layanan perusahaan, hingga komunikasi dengan berbagai pihak untuk memuluskan berbagai kepentingan usaha. Seorang pengusaha dalam pandangan etika Islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga keberkahan dari Allah SWT dengan memperoleh keuntungan yang wajar atas usahanya itu. Ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dalam melakukan bisnis tidak sebatas keuntungan materi tetapi yang penting lagi adalah keuntungan immateriil (spiritual).

Prinsip Komunikasi Bisnis Islam

Secara umum prinsip diartikan patokan atau landasan yang dijadikan pegangan atau acuan untuk melakukan sesuatu. Pada umumnya dalam istilah prinsip mengandung kebenaran yang sudah teruji dan dapat dibuktikan dalam praktik. Bagaimana kemudian komunikasi bisnis Islam ini secara prinsip dapat dijalankan? maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan jawabannya kepada sumber hukum Islam, yakni al-Quran dan Sunnah. Dalam al-Quran, prinsip komunikasi Islam setidaknya ada enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layyina, dan (6) Qaulan Maysura (risalahislam.com, 2020).

Dari enam prinsip komunikasi dalam Islam di atas sangat relevan untuk dijadikan pegangan  bagi setiap muslim ketika berbisnis. Keenam prinsip ini bahkan bukan hanya harus diterapkan dalam bisnis, namun juga dalam seluruh aspek kehidupan.

  1. Komunikasi isinya benar: Kejujuran dan kebajikan (Qaulan Sadida)

Prinsip kebenaran sangat penting dalam berkomunikasi karena mempunyai dampak yang cukup luas di masyarakat. Setiap pelaku bisnis harus memastikan bahwa apa yang dia ucapkan dan sampaikan adalah benar. Dalam arti, menyampaikan sesuatu sesuai dengan keadaannya (fakta). Rasulullah pun menganjurkan umatnya untuk berkata dan berbuat jujur dalam setiap melakukan aktifitas pekerjaan maupun ketika berhubungan dengan orang lain. Karena kejujuran akan membawa ketenangan bagi seseorang.

Dalam al-Quran surat an-Nisa, Allah SWT berfirman:

Dan hendaklah takut kepada Allah orang orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” QS. an-Nisa [4]: 9)

Dalam al-Quran surat al-Ahzab, Allah SWT menyampaikan firman-Nya yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan besar. (QS. al-Ahzab [33]: 70-71)

Dalil mengenai kejujuran juga disampaikan oleh nabi dalam sebuah hadis:

“Pedagang yang jujur dan amanah  (dipercaya)  akan (dihimpun) bersama-sama dengan para nabi, para siddiqin, dan orang-orang yang mati syahid” (HR. at-Tirmidzi)  (dalam pengusahamuslim.com, 1433H)

Jadi jelas sekali yang diperintahkan bahwa setiap muslim wajib untuk selalu berkata benar sebagai tanda orang beriman dan bertaqwa.

2. Komunikasi yang efektif (Qaulan Baligha)

Selain jujur, pebisnis muslim hendaknya mampu menyusunperilaku komunikasi yang efektif supaya mempunyai dampak atau pengaruh bagi pendengarnya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, dan langsung pada pokok persoalan. Selain itu, supaya komunikasi berjalan dengan efektif dan tepat sasaran, maka gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan karateristik siapa penerima pesan serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka.

Dasarnya terdapat juga dalam al-Quran. Allah SWT berfirman juga dalam surat an-Nisa yang artinya:

“Mereka itu orang orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka, karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” (QS. an-Nisa [4] :63)

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. bersabda: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka.” (H.R. Muslim). (dalam Risalahislam.com, 2020).

Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Ketika berbisnis, sangat mungkin kita akan menghadapi banyak orang dengan berbagai karakter dan latar belakang masing-masing, maka dari itu supaya komunikasi bisnis menjadi efektif, kita harus mengenal betul siapakah lawan bicara kita.

3. Komunikasi dengan kata-kata yang baik (Qaulan Ma’rufa)

Bagi seorang pebisnis muslim, berkata (komunikasi) benar dan berdampak ternyata tidaklah cukup dalam menjalankan usaha. Karena perkataan yang benar belum tentu baik.

Pebisnis muslim perlu menata cara berkomunikasi supaya terhindar dari  menyinggung perasaan orang lain. Lakukan komunikasi konsumen atau rekan bisnis dengan menggunakan kalimat yang baik, santun dan bijak. Ketika ucapan ini baik atau ‘ma’ruf’ maka akan menghasilkan nilai kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. an-Nisa [4]: 5)

Menurut M. Quraish Shihab, ma’ruf secara bahasa artinya baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Qaulan ma’rufa berarti perkataan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, qaulan ma’rufa berarti pula perkataan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan serta pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (Mahfudz, 2020). Maka dalam komunikasi bisnis, hendaknya lakukan komunikasi dengan santun dan beretika menyesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya setempat.

4. Komunikasi dengan Ucapan Mulia (Qaulan Karima)

Berkomunikasi dengan perkataan yang mulia penuh dengan rasa hormat dan bertata krama wajib dilakukan bagi seorang pebisnis, terutama saat berbicara dengan stakeholder bisnis, seperti karyawan, konsumen, hingga pemodal.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali kali janganlah kamu mengatakan keadanya perkataan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka qaulan karima (ucapan yang mulia) (QS. al-Isra [17]: 23)

Walaupun dalam konteks ayat di atas, perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orang tua. Namun dalam bisnis sepertinya sangat relevan. Komunikasi yang penuh penghormatan tentu akan membawa timbal balik yang positif.

5. Komunikasi yang lemah lembut (Qaulan Layyina)

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan qaulan layyina (perkataan lemah lembut)” (QS. Thaha [20]: 44)

Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Qaulan Layyina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati (risalahislam.com, 2020).

Prinsip berkata lemah lembut perlu menjadi pegangan bagi pebisnis muslim. Jika mitra bisnis melakukan kesalahan, misalnya ada perhitungan penjualan yang tidak tepat. Maka ketika ingin menegur atau mengkoreksi kesalahan tersebut hendaknya dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut. Tidak perlu menggunakan kata kasar atau merendahkan. Dengan Qaulan Layyina, orang yang diajak berkomunikasi akan merasa tersentuh hati dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi yang kita maksudkan. Contoh lain yang bisa kita aktualisasikan dari Surat Thaha di atas terutama saat komunikasi yang kita lakukan untuk kepentingan bisnis ada hubungannya dengan orang orang yang memiliki kekuasaan atau pangkat.

6. Komunikasi yang mudah dipahami(Qaulan Maysura)

Secara etimologis, kata maysuran berasal dari kata yasara yang artinya mudah atau gampang. Ketika kata maysuran digabungkan dengan kata qaulan menjadi qaulan maysura yang artinya berkata dengan mudah atau gampang. Allah SWT berfirman:

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakan lah kepada mereka qaulan maysura (ucapan yang mudah)” (QS. al-Isra [17]: 28)

Dalam kegiatan bisnis, seperti melayani konsumen, negosiasi, promosi, ataupun yang lainnya, prinsip yang perlu dipegang oleh pebisnis muslim adalah pentingnya menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. Ingat, kita berkomunikasi dengan orang lain. Maka, gunakan perspektif mereka. Raba kondisi pikiran dan psikologis mereka. Jangan membuat orang bingung dan merasa kesulitan menangkap makna makna yang sampai kepada mereka.

Komunikasi yang selama ini biasa dipelajari adalah komunikasi pada wilayah horizontal, yakni bertukar pesan dengan orang lain dengan tujuan tertentu. Namun pada komunikasi bisnis Islam yang terdapat pada enam prinsip komunikasi dalam Islam, kita bisa mengambil sisi yang lain. Komunikasi dalam perspektif religiusitas. Ada keterlibatan seorang hamba dengan Tuhannya, keterlibatan dengan komunikasi yang kita lakukan berhubungan dengan ibadah kepada Allah SWT. Selain itu kita perlu menyadari bahwa keenam prinsip di atas semuanya relevan dalam konteks bisnis. Jadi sangat mungkin untuk dipraktikkan. Hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa Islam adalah ajaran yang syamil mutakamil (sempurna dan menyeluruh).

References

Barometernes.id, “Qaulan ma’rufa Perkataan yang Baik Langkah Komunikasi Efektif”, 12 November 2021, 15:30.

Kementerian Agama RI, 2010, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadits Sahih, Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema.

Muljadi, 2019, Etika dan Komunikasi Bisnis Islam, Jakarta: Penerbit Salemba

Mulyana, Deddy, 2017, Ilmu Komunikasi Suatu Pengatar, Bandung: Rosdakarya.

Muslimah, 2016, “Etika Komunikasi Dalam Persfektif Islam”, Jurnal Sosial Budaya, Vol. 13, No. 2, hal 115-125.

Tantri, Francis, 2009, Pengantar Bisnis, Jakarta: Rajawali Pers

Pengusahamuslim.com, “Keutamaan Pedagang Yang Jujur Dan Amanah”, 11 November 2021, 20:00.

Risalah.com, “6 Prinsip Komunikasi Islam”, 12 November 2021, 15:00.

]]>
Metafisika dan Nalar Kosmologi https://al-bayan.uai.ac.id/?p=459 Fri, 26 Nov 2021 09:32:00 +0000 https://al-bayan.uai.ac.id/?p=459 Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja

Metafisika bermakna sesuatu yang ada di balik fisik. Jika kita berpikir tentang benda sebagai objek fisik: kursi, meja, sepeda, mobil, rumah, tanah, gedung, dan lainnya maka kita melihat dan memikirkan benda dalam wujud hadir fisiknya. Berapa berat benda itu, bagaimana bentuk benda itu, bagaimana kekuatan benda itu, seberapa mampu benda itu menahan berat beban, dan masih banyak lagi pertanyaan tentang segala hal yang terlintas dalam pandangan pancaindera kita atas hadirnya sebuah objek. Inilah metafisikan aliran naturalisme yang melihat gerak objek atas dasar kausalitas dan bukan atas keyakinan atas hal yang gaib (Wijaya, 2016).

Dari sisi metafisika, sebuah objek benda dapat dilihat secara berbeda. Apakah sebuah benda memang layak menyandang peran dan makna tertentu? Contoh: jika anda melihat sebuah kursi, maka timbul pertanyaan mengapa benda itu kita nyatakan sebagai kursi? Kualifikasi apa saja sehingga kita layak nyatakan benda itu sebagai kursi? Jika benda apapun dapat diduduki, mengapa benda lain tidak dinyatakan sebagai kursi? Sebuah makna tertentu yang kita sematkan sebagai basis sadar manusia atas makna sebuah objek.

Metafisika mencoba menguak secara mendalam atas persepsi yang kita wujudkan dan tentukan atas kualifikasi objek tertentu. Konsep kita bangun untuk menentukan makna atas sebuah objek. Metafisika memberikan kesadaran bahwa sebuah objek tidak semata hadir secara wujudnya, melainkan juga atas makna yang kita tanamkan ke dalamnya.

Metafisika juga mampu melangkah jauh dalam perspektif filsafat timur. Ia memberikan legitimasi atas kesadaran manusia akan hadirnya sebuah kekuatan Adi Kodrati yang terkadang sulit dijelaskan dalam pendekatan filsafat paripatetik yang berkarakter rasional. Tuhan dan kekuatan-kekuatan agung Adi Kodrati dalam dunia ketimuran tidak pernah lekang dan menghilang. Manusia mencoba untuk menjelaskan dalam rasionalitas akalnya atas hadirnya kekuatan tersebut. Bahwa ada yang disebut “Yang Ada” merupakan kekuatan utama penggerak alam semesta (Rahayu, 2011).

Dunia Timur tidak pernah secara penuh menjadi sebuah arena lingkaran pemikiran positivisme seperti yang digaungkan oleh Filsuf Perancis, Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa manusia telah mencapai sebuah peradaban positivis dengan menerapkan ilmu pengetahuan sebagai metode utama pencarian kebenaran. Nalar logika dibangun secara ilmiah untuk menggulingkan metode teologis dan metafisis yang selama ini menyelimuti pemahaman manusia. Bahwa manusia harus melandaskan pada sesuatu yang nyata dan riil, di sinilah natural science menjadi dasar pijak dalam berpikir (Chabibi, 2019).

Hukum tiga tahap yang ia dengungkan, bahwa pencapaian puncak manusia adalah logika ilmu alam, tidak mampu menghapus nalar metafisika sebagai sebuah ranah kebenaran manusia. Metafisika dan teologi menurut Comte tertolak, karena ia tak dapat dibuktikan melalui pengetahuan alam. Positivisme selalu berpedoman pada hadirnya fakta dan kepastian. Di luar yang dapat dibuktikan melalui fakta dan kepastian sulit untuk dapat dinyatakan benar.

Tuhan dan segenap ide ruhani dan keyakinan metafisis dikubur dalam-dalam oleh Auguste Comte sejak abad XVIII. Ujung dari upaya menghancurkan ide dan gagasan teologis dan metafisis adalah hadirnya sikap agnostik hingga ateis terhadap sosok yang kita sebut sebagai Tuhan. Matematika, Fisika dan segenap perangkat pengetahuan yang menghadirkan fakta-fakta berupaya merubah wajah kosmologi alam berpikir manusia.

Pada saat yang bersamaan juga muncul ide nihilisme yang digagas oleh Friedrich Nietzsche, ia menyatakan tegas bahwa segalanya adalah nihil (Pradana, 2020). Sistem etika, moralitas, dan bahkan Tuhan sendiri adalah nihil. Untuk itu manusia yang mencapai puncak keunggulannya (ubermensch) adalah ketika manusia yang mampu membebaskan dirinya dari perbudakan atas keyakinan akan Tuhan, sistem etika, dan segenap nilai-nilai moralitas, karena itulah yang membelenggu manusia selama ini dalam gerak bebasnya. Manusia yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai (Nanuru, t.t.).

Metafisika dalam Dunia Timur

Manusia dalam belahan bumi timur tidaklah kehilangan ide dan gagasan akan metafisika, bahwa di balik sesuatu yang berwujud ada sebuah ide, kekuatan, daya gerak yang menjadikan benda itu ada. Kekuatan Adi Kodrati (Tuhan) dipahami oleh manusia di Timur sebagai kekuatan yang menjadikan segala hal itu ada. Segala sesuatu yang berwujud atau ada diawali oleh sesuatu yang ada lebih dulu.

Sejak zaman Peradaban Babilonia, Mesir Kuno, Tiongkok kuno, Baghdad, Sriwijaya, Majapahit hingga memasuki milenium ketiga rupanya ide dan gagasan-gagasan filsafat metafisika transendental tidak lekang dalam kosmologi manusia. Tuhan dan segala yang dianggap memiliki kekuatan Adi Kodrati selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Manusia bukanlah subjek yang memiliki kekuatan untuk menentukan kehendaknya secara mutlak. Manusia sejatinya meyakini bahwa ia menjalankan amanah agung dari Sang Adi Kodrati itu. Manusia meyakini bahwa ia tidak saja memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis, melainkan ia juga memiliki kemampuan intuitif untuk memahami segala yang hadir di sekelilingnya. Manusia juga harus memahami dari mana ia berasal dan untuk apa ia ada, dan hendak kemana ia akan beranjak, semuanya tidak lepas dari hadirnya Tuhan dalam dirinya atau dikenal dengan istilah sangkan paraning dumadi (Samidi, 2016).

Kemampuan intuitif ini menjadikan manusia mampu merasakan hadirnya Sang Adi Kodrati. Bahwa rasionalitas akal bekerja bersama dengan intuisi untuk menjawab segala pertanyaan yang hadir. Rasionalitas bukanlah bukanlah dewa yang diagungkan, ia hanya sebagai salah satu sistem kerja tubuh yang berfungsi memberikan jawaban yang dibutuhkan.

Kesadaran sistem etika timur muncul karena dorongan-dorongan nalar intuitif yang berupaya membangun hubungan antar individu di dalam sebuah relasi kultural manusia. Menghilangkan intuisi rasa dapat mengancam relasi individu yang dibangun secara harmoni.

Objek fisik dan segenap benda yang ada tidak saja dilihat dalam wujudnya, melainkan dari makna kehadirannya. Makna yang dihadirkan dari adanya wujud itu jauh lebih penting dibandingkan wujud fisik benda itu sendiri bagi manusia. Manusia yang hadir bukan dilihat atas sosok wujudnya, melainkan fungsi rasa yang ia hadirkan. Sejauhmana ia mampu merasakan dan dirasakan oleh manusia-manusia lainnya yang hadir di sekelilingnya.

Kitab Suci hingga kini masih memperoleh tempat yang tinggi dalam lingkungan manusia Timur. Ia bukan buku biasa, melainkan buku yang mengajarkan sebuah perilaku manusia dalam genggaman gerak kuasa Adi Kodrati. Qur’an diletakkan dalam ruang ide kesucian, yang menunjukkan bagaimana relasi kosmologis antara Tuhan, manusia, dan semesta alam. Ia dibaca sebagai sebuah keagungan Ilahi, bukan sekedar norma melainkan juga menyentuh rasa manusia terdalam.

Inilah yang membedakan nalar kosmologi manusia di dunia Timur, bahwa segenap kehendak bukan saja ditentukan oleh ruang kebebasan rasionalitas mutlaknya, melainkan juga gerak kerja intuisi yang melengkapi tubuh menjadi utuh. Bahwa rasionalitas akal dan intuisi merupakan sebuah sistem kerja tubuh yang seimbang untuk mewujudkan kehendak.“Berkata Fir’aun kepada orang-orang di sekelilingnya: Apakah kamu tidak mendengarkan? Musa berkata: Tuhan kamu dan Tuhan nenek moyang kamu yang dahulu. Fir’aun berkata: Sesungguhnya Rasul yang diutus kepadamu sekalian benar-benar orang gila. Musa berkata: Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada diantara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu menggunakan akal” (QS. asy-Syu’ara [26]: 25-28) []

]]>
Prakata Rektor UAI https://al-bayan.uai.ac.id/?p=455 Fri, 26 Nov 2021 09:27:00 +0000 https://al-bayan.uai.ac.id/?p=455 Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc

Puji syukur kepada Allah atas  segala limpahan karunia-Nya kepada kita semua, semoga kita senantiasa dalam perlindungan Allah

dan tetap istiqamah menjaga diri dan keluarga kita dari wabah dengan menerapkan 5M.

Alhamdulillah, kembali hadir di tengah kita edisi kesepuluh e-buletin al-Bayan. Pada edisi kesepuluh ini, kita disuguhkan tulisan yang menarik dari saudara Fokky Fuad Wasitaatmadja berjudul “Metafisika dan Nalar Kosmologi”. Saudara Fokky dengan ringan mengantarkan pembaca ke alam filsafat Barat dan Filsafat Timur. Dunia Barat yang penuh rasionalitas memandang metafisika sebagai sesuatu yang tidak dapat dinalar. Sementara Filsafat Timur dengan kearifannya melihat adanya kekuatan Adi Kodrati dibalik semua yang tampak. Menurutnya nalar kosmologi manusia di dunia Timur lebih utuh berkaitan dengan sesuatu yang tidak tampak.

Inilah yang membedakan nalar kosmologi manusia di dunia Timur, bahwa segenap kehendak bukan saja ditentukan oleh ruang kebebasan rasional mutlak, melainkan juga harus didukung oleh gerak kerja institusi yang melengkapi tubuh agar menjadi utuh.

Dari kajian enterprising, Saudara Yoedo Shambodo, menyumbangkan tulisan yang menggugah berjudul “Memahami Komunikasi Bisnis Islam” yang mengulas tentang kiat-kiat komunikasi yang Islami. Penulis menyebutkan dan menjelaskan enam jenis model komunikasi Islami yakni, qaulan sadida, qaulan baligha, qaulan ma’rufa, qaulan karima, qaulan layyina, dan qaulan maysura .

Selanjutnya dari kajian Budaya Korporat dan Nilai-nilai Islami, tulisan kali ini berjudul “al-Mutakabbir: Yang Memiliki Kebesaran”. Tulisan ini mengulas tentang salah satu Asma ul Husna yang dimiliki Allah. Saudara Ridhwan berusaha mengangkat tema dalam upaya menjelaskan bahwa kesombongan hanyalah milik Allah semata. Selaras dengan core values UAI bahwa, civitas akademika UAI harus bersikap humility atau rendah hati, dan respect (saling menghormati).

Edisi kali ini ditutup dengan kolom Zawiyah yang berisikan refleksi kehidupan. Refleksi berjudul “Menyikapi Pujian” yang ditulis oleh saudara Abdullah Hakam Shah. Kita dibawa meneladani bagaimana mensikapi pujian yang terkadang justru menjadi ujian untuk kita agar tidak menjadi sombong. Wassalaam

Jakarta, Nopember 2021 Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc.

]]>