Muhammad Ridhwan, M.Ag
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang agung” QS. al-Qalam [68]: 4
QS. al-Qalam ayat 4 ini menjelaskan tentang bagaimana agungnya Pribadi Rasulullah SAW. Quraish Shihab dalam Tafsir Misbahnya menjelaskan bahwa keluhuran budi Rasulullah ini bisa dilihat dari bagaimana al-Quran menyampaikannya di surah ini. Kata innaka (sesungguhnya engkau) diikuti dengan kata ‘ala yang didahului dengan lam untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasi kata ‘ala (la’ala) sehingga mengukuhkan bagaimana khuluqin menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Lalu Allah sifati akhlak Rasulullah dengan kata adzim/agung yang menegaskan bahwa akhlak Rasulullah ini bersifat agung. (Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 2009)
Sayyid Qutb mengungkapkan keagungan akhlak Rasulullah tampak dari bagaimana Rasulullah dapat menerima pujian dari Yang Maha Agung itu tanpa luluh dari besarnya pujian tersebut. Tidak pula guncang kepribadiannya sehingga membuatnya menjadi angkuh. Bahkan sebaliknya, beliau menerima pujian itu dengan ketenangan dan kesimbangan.
Sayyidah ‘Aisyah r.a ketika ditanya tentang bagaimana akhlak Nabi, beliau menjawab: Akhlak beliau adalah al-Quran” (H.R Ahmad). Selanjutnya ‘Aisyah membaca awal surah al-Mukminun untuk menggambarkan sekelumit akhlak Rasulullah SAW. Hal ini mengindikasikan bahwa ayat-ayat tentang perintah dan anjuran, pastilah ada penerapannya dalam hidup dan kehidupan Rasulullah SAW.
Hal senada juga ditemukan dalam Tafsir al-Wajiz karya Wahbah az-Zuhaili. Ayat-ayat yang memiliki esensi yang sama dengan QS. al-Qalam ayat 4 adalah QS. al-A’raf [7]: 199 yang memerintahkan Nabi untuk menjadi pemaaf dan mengajak orang untuk berbuat baik dan meninggalkan orang-orang yang bodoh, atau di QS. Ali ‘Imran [3]: 159 yang memerintahkan Nabi untuk berlaku lemah lembut, memaafkan, dan memohonkan ampun bagi orang-orang serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan lalu bertawakkal atas hasil musyawarah tersebut.
Masih banyak berbagai ayat-ayat lainnya yang menunjukkan sifat mulia Rasulullah dan perintah-perintah untuk berbuat baik. Rasulullah memiliki akhlak yang paling sempurna, berada di puncak tertinggi dari masing-masing akhlak baik.
Quraish Shihab mengungkapkan bahwa keluhuran budi pekerti Rasulullah berada di atas tingkatnya dari budi pekerti luhur saja. Allah akan menegur Rasulullah manakala hanya bersikap baik sebagaimana manusia biasa. Menurutnya keterbatasan kemampuan kita untuk memahami atau mendalami semua pesan al-Quran menjadikan kita tidak akan mampu melukiskan betapa luhur akhlak Rasulullah SAW. Apa yang selalu diupayakan untuk mengungkap sifat/karakter/akhlak Rasulullah, hanyalah sebagian kecil. Quraish Shihab menganalogikan upaya ini dengan menunjuk gunung menggunakan jari telunjuk, karena lengan tak akan mampu merangkulnya. Dan tepat ungkapan syair al-Bushiri, “Batas pengetahuan kita tentang beliau (Rasulullah) bahwa beliau adalah seorang manusia dan bahwa beliau adalah sebaik-baik dari seluruh makhluk Allah.” (Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 2009)
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” HR al-Baihaqi
Potongan hadits di atas menjelaskan tentang tujuan Allah mengutus Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa akhlak baik meliputi semua jenis kebajikan. Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan al-Tirmidzi dari Nawwas bin Sam’an r.a ia menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebajikan dan dosa. Beliau lalu bersabda, “Kebajikan ialah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa ialah sesuatu yang menyesakkan dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya.”
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa semua budi pekerti yang baik adalah kebajikan. Kebajikan adalah berbuat baik terhadap sesama makhluk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Buya Hamka dalam bukunya Akhlaqul Karimah menjelaskan bahwa budi pekerti yang baik dapat diraih dengan melakukan atau menjaga keseimbangan, yakni i’tidal antara kekuatan akal dan nafsu atau syahwat. Terdapat dua faktor yang membentuk i’tidal yakni, pertama berkat anugerah dari Allah SWT dan kesempurnaan dari fitrah manusia. Manusia yang diciptakan dengan dilengkapi perangkat berpikir yakni akal di satu sisi, tapi juga memiliki syahwat atau nafsu di sisi lain. Keseimbangan antara akal dan nafsu inilah yang dapat membawa seseorang berbudi pekerti yang baik. Kedua, ketinggian budi pekerti didapat melalui kesungguhan dan latihan batin (riyadhah). Seseorang akan mendapatkan dirinya berbudi pekerti yang baik atau luhur adalah karena membiasakan dirinya kepada pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan budi pekerti luhur tersebut. (Hamka, 2017)
Menjaga lisan
Kebaikan budi pekerti yang dapat dilihat adalah bagaimana seseorang dapat mengendalikan lidahnya. Diantara berbagai perbuatan baik adalah terjaganya lisan. Dalam satu riwayat dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a. Ia mengatakan, “Nabi SAW tidak pernah sekali pun melakukan perbuatan kotor dan keji, apalagi dengan sengaja melakukannya. Beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
Di hadits yang lain diriwayatkan dari Abu al-Darda’ r.a. ia menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dalam timbangan orang mukmin pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah amat murka terhadap orang yang kotor dan keji.” Yakni yang kotor dan keji ucapannya.
Akhlak baik membawa seseorang meraih surga, hal ini disampaikan dalam Shahih Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a ia menceritakan, “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hal-hal yang paling banyak membuat seseorang masuk surga. Beliau pun menjawab, “Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak baik.” Dan ketika beliau ditanya tentang hal-hal yang menyebabkan seseorang masuk neraka, maka ia menjawab mulut dan kemaluan. Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa yang dimaksud mulut dalam hadits tersebut adalah memakan barang haram, menggunjing, memfitnah, mengumpat, dan mencaci sedangkan kemaluan adalah melakukan perbuatan zina. Na’uzubillahi min dzalik.
Hadist lain yang mengungkapkan bahwa surga juga dapat diraih dengan kebajikan adalah hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dari kakeknya. Ia mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, katakan padaku sesuatu yang bisa membuatkku masuk surga! Rasulullah lantas berkata, “Yang bisa membuatmu masuk surga adalah bersedekah makanan, menyebarkan salam, dan bertutur kata yang baik.”[]
Bibliography
Az-Zuhaili, W. (2014). Ensiklopedia AKhlak Muslim. Jakarta: Noura Books.
Hamka. (2017). Akhlaqul Karimah. Jakarta: Gema Insani.
Rahardjo, D. (1996). Ensiklopedi Al-Quran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.