Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja
Metafisika bermakna sesuatu yang ada di balik fisik. Jika kita berpikir tentang benda sebagai objek fisik: kursi, meja, sepeda, mobil, rumah, tanah, gedung, dan lainnya maka kita melihat dan memikirkan benda dalam wujud hadir fisiknya. Berapa berat benda itu, bagaimana bentuk benda itu, bagaimana kekuatan benda itu, seberapa mampu benda itu menahan berat beban, dan masih banyak lagi pertanyaan tentang segala hal yang terlintas dalam pandangan pancaindera kita atas hadirnya sebuah objek. Inilah metafisikan aliran naturalisme yang melihat gerak objek atas dasar kausalitas dan bukan atas keyakinan atas hal yang gaib (Wijaya, 2016).
Dari sisi metafisika, sebuah objek benda dapat dilihat secara berbeda. Apakah sebuah benda memang layak menyandang peran dan makna tertentu? Contoh: jika anda melihat sebuah kursi, maka timbul pertanyaan mengapa benda itu kita nyatakan sebagai kursi? Kualifikasi apa saja sehingga kita layak nyatakan benda itu sebagai kursi? Jika benda apapun dapat diduduki, mengapa benda lain tidak dinyatakan sebagai kursi? Sebuah makna tertentu yang kita sematkan sebagai basis sadar manusia atas makna sebuah objek.
Metafisika mencoba menguak secara mendalam atas persepsi yang kita wujudkan dan tentukan atas kualifikasi objek tertentu. Konsep kita bangun untuk menentukan makna atas sebuah objek. Metafisika memberikan kesadaran bahwa sebuah objek tidak semata hadir secara wujudnya, melainkan juga atas makna yang kita tanamkan ke dalamnya.
Metafisika juga mampu melangkah jauh dalam perspektif filsafat timur. Ia memberikan legitimasi atas kesadaran manusia akan hadirnya sebuah kekuatan Adi Kodrati yang terkadang sulit dijelaskan dalam pendekatan filsafat paripatetik yang berkarakter rasional. Tuhan dan kekuatan-kekuatan agung Adi Kodrati dalam dunia ketimuran tidak pernah lekang dan menghilang. Manusia mencoba untuk menjelaskan dalam rasionalitas akalnya atas hadirnya kekuatan tersebut. Bahwa ada yang disebut “Yang Ada” merupakan kekuatan utama penggerak alam semesta (Rahayu, 2011).
Dunia Timur tidak pernah secara penuh menjadi sebuah arena lingkaran pemikiran positivisme seperti yang digaungkan oleh Filsuf Perancis, Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa manusia telah mencapai sebuah peradaban positivis dengan menerapkan ilmu pengetahuan sebagai metode utama pencarian kebenaran. Nalar logika dibangun secara ilmiah untuk menggulingkan metode teologis dan metafisis yang selama ini menyelimuti pemahaman manusia. Bahwa manusia harus melandaskan pada sesuatu yang nyata dan riil, di sinilah natural science menjadi dasar pijak dalam berpikir (Chabibi, 2019).
Hukum tiga tahap yang ia dengungkan, bahwa pencapaian puncak manusia adalah logika ilmu alam, tidak mampu menghapus nalar metafisika sebagai sebuah ranah kebenaran manusia. Metafisika dan teologi menurut Comte tertolak, karena ia tak dapat dibuktikan melalui pengetahuan alam. Positivisme selalu berpedoman pada hadirnya fakta dan kepastian. Di luar yang dapat dibuktikan melalui fakta dan kepastian sulit untuk dapat dinyatakan benar.
Tuhan dan segenap ide ruhani dan keyakinan metafisis dikubur dalam-dalam oleh Auguste Comte sejak abad XVIII. Ujung dari upaya menghancurkan ide dan gagasan teologis dan metafisis adalah hadirnya sikap agnostik hingga ateis terhadap sosok yang kita sebut sebagai Tuhan. Matematika, Fisika dan segenap perangkat pengetahuan yang menghadirkan fakta-fakta berupaya merubah wajah kosmologi alam berpikir manusia.
Pada saat yang bersamaan juga muncul ide nihilisme yang digagas oleh Friedrich Nietzsche, ia menyatakan tegas bahwa segalanya adalah nihil (Pradana, 2020). Sistem etika, moralitas, dan bahkan Tuhan sendiri adalah nihil. Untuk itu manusia yang mencapai puncak keunggulannya (ubermensch) adalah ketika manusia yang mampu membebaskan dirinya dari perbudakan atas keyakinan akan Tuhan, sistem etika, dan segenap nilai-nilai moralitas, karena itulah yang membelenggu manusia selama ini dalam gerak bebasnya. Manusia yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai (Nanuru, t.t.).
Metafisika dalam Dunia Timur
Manusia dalam belahan bumi timur tidaklah kehilangan ide dan gagasan akan metafisika, bahwa di balik sesuatu yang berwujud ada sebuah ide, kekuatan, daya gerak yang menjadikan benda itu ada. Kekuatan Adi Kodrati (Tuhan) dipahami oleh manusia di Timur sebagai kekuatan yang menjadikan segala hal itu ada. Segala sesuatu yang berwujud atau ada diawali oleh sesuatu yang ada lebih dulu.
Sejak zaman Peradaban Babilonia, Mesir Kuno, Tiongkok kuno, Baghdad, Sriwijaya, Majapahit hingga memasuki milenium ketiga rupanya ide dan gagasan-gagasan filsafat metafisika transendental tidak lekang dalam kosmologi manusia. Tuhan dan segala yang dianggap memiliki kekuatan Adi Kodrati selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Manusia bukanlah subjek yang memiliki kekuatan untuk menentukan kehendaknya secara mutlak. Manusia sejatinya meyakini bahwa ia menjalankan amanah agung dari Sang Adi Kodrati itu. Manusia meyakini bahwa ia tidak saja memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis, melainkan ia juga memiliki kemampuan intuitif untuk memahami segala yang hadir di sekelilingnya. Manusia juga harus memahami dari mana ia berasal dan untuk apa ia ada, dan hendak kemana ia akan beranjak, semuanya tidak lepas dari hadirnya Tuhan dalam dirinya atau dikenal dengan istilah sangkan paraning dumadi (Samidi, 2016).
Kemampuan intuitif ini menjadikan manusia mampu merasakan hadirnya Sang Adi Kodrati. Bahwa rasionalitas akal bekerja bersama dengan intuisi untuk menjawab segala pertanyaan yang hadir. Rasionalitas bukanlah bukanlah dewa yang diagungkan, ia hanya sebagai salah satu sistem kerja tubuh yang berfungsi memberikan jawaban yang dibutuhkan.
Kesadaran sistem etika timur muncul karena dorongan-dorongan nalar intuitif yang berupaya membangun hubungan antar individu di dalam sebuah relasi kultural manusia. Menghilangkan intuisi rasa dapat mengancam relasi individu yang dibangun secara harmoni.
Objek fisik dan segenap benda yang ada tidak saja dilihat dalam wujudnya, melainkan dari makna kehadirannya. Makna yang dihadirkan dari adanya wujud itu jauh lebih penting dibandingkan wujud fisik benda itu sendiri bagi manusia. Manusia yang hadir bukan dilihat atas sosok wujudnya, melainkan fungsi rasa yang ia hadirkan. Sejauhmana ia mampu merasakan dan dirasakan oleh manusia-manusia lainnya yang hadir di sekelilingnya.
Kitab Suci hingga kini masih memperoleh tempat yang tinggi dalam lingkungan manusia Timur. Ia bukan buku biasa, melainkan buku yang mengajarkan sebuah perilaku manusia dalam genggaman gerak kuasa Adi Kodrati. Qur’an diletakkan dalam ruang ide kesucian, yang menunjukkan bagaimana relasi kosmologis antara Tuhan, manusia, dan semesta alam. Ia dibaca sebagai sebuah keagungan Ilahi, bukan sekedar norma melainkan juga menyentuh rasa manusia terdalam.
Inilah yang membedakan nalar kosmologi manusia di dunia Timur, bahwa segenap kehendak bukan saja ditentukan oleh ruang kebebasan rasionalitas mutlaknya, melainkan juga gerak kerja intuisi yang melengkapi tubuh menjadi utuh. Bahwa rasionalitas akal dan intuisi merupakan sebuah sistem kerja tubuh yang seimbang untuk mewujudkan kehendak.“Berkata Fir’aun kepada orang-orang di sekelilingnya: Apakah kamu tidak mendengarkan? Musa berkata: Tuhan kamu dan Tuhan nenek moyang kamu yang dahulu. Fir’aun berkata: Sesungguhnya Rasul yang diutus kepadamu sekalian benar-benar orang gila. Musa berkata: Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada diantara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu menggunakan akal” (QS. asy-Syu’ara [26]: 25-28) []