Dr. Rohmad Adi Yulianto, Lc., L.L.M.
Hukum sebagai sebuah bangunan ilmu pengetahuan merupakan salah satu rumpun dari ilmu pengetahuan sosial. Relasi Islam sebagai sebuah agama dengan ilmu sosial acapkali memiliki kesan saling berbenturan, bahkan sebagian memandang bahwa agama tidak dapat dipertahankan ketika keilmuan sosial mencapai pada tingkat kemapanan. Namun di sisi lain, penelitian Durkheim terhadap orang-orang Arunta di Australia menyimpulkan bahwa agama dapat menjadi semen sosial yang merekatkan kebutuhan masyarakat secara bersama-sama, sehingga menyimpulkan bahwa agama mempunyai fungsi kolektifdi dalam masyarakat, melahirkan suatu kebudayaan, dan menghasilkan kontrol sosial. Ketika masyarakat belum memiliki aturan tertentu, maka agama memiliki kuasa untuk mengatur mereka. Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa agama justeru mampu bertahan di saat keilmuan sosial mengalami kematangan, bahkan tidak jarang agama mampu memberikan sentuhan tersendiri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial. Eksistensi nilai agama sebagai norma yang mengatur nilai atas ilmu pengetahuan memiliki peran penting, karena sejatinya pembahasan di dalam agama dan pembahasan di dalam ilmu pengetahuan memiliki kesamaan dan kemiripan di banyak hal, sehingga menjadi titik tolak terjadinya integrasi agama dan ilmu yang non-dikotomik (Tata Septayuda Purnama, 2021; Nurhayati Djamas dkk., 2019).
Integrasi adalah produk yang dihasilkan dari proses negosiasi di dalam ranah sosial. Kesepakatan pihak negosiasi terhadap hasil negosiasi diekspresikan di dalam integrasi kepentingan bersama. Konsep integrasi di dalam masyarakat berhubungan erat dengan solidaritas sosial yang bermula dari kesepahaman emosional di dalam interaksi antarindividu. Integrasi terjadi ketika terdapat kohesi sosial. Integrasi adalah proses adaptasi dua arah dari masing-masing kelompok. Integrasi menuntut terjalinnya hubungan antara bagian-bagian (Marshall; 1994), saling mengandalkan dan melengkapi fungsi antara bagian-bagian di dalam struktur (Turner; 2006), saling menyesuaikan antara bagian-bagian di dalam kehidupan bermasyarakat. Berger dan Luckmann mengembangkan proses integrasi melalui analisa proses konstruksi pengetahuan untuk menjelaskan realitas sosial. Proses tersebut terjadi dalam tiga langkah timbal balik: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Berger dan Luckmann menyimpulkan bahwa terjadi dialektika dalam hubungan antara mikro dan makro yang saling mempengaruhi (Berger & Luckman; 1966). Dalam relasi agama dan ilmu pengetahuan Barbour menjelaskan bahwa integrasi dapat terjadi bila terjadi saling mempengaruhi sudut pandang antara nilai agama dan ilmu pengetahuan (Barbour).
Paradigma positivistik dalam hukum sebagai cabang dari ilmu sosial memiliki anggapan bahwa tidak ada hukum selain yang tercantum di dalam undang-undang. Paradigma positivistik melandasi pemikiran bahwa ilmu dapat dicapai, dapat dianggap, manakala ilmu tersebut dapat membuktikan kebenaran empiris rasional. Oleh karenanya, para ilmuan berupaya semaksimal mungkin membuka rahasia alam kebendaan secara obyektif dengan tanpa memperhatikan aspek keagamaan dan nilai keimanan. Jeremy Bentham sebagai salah satu pendukung utama aliran positivistik menjelaskan bahwa dasar kebahagiaan dapat tercapai manakala kebahagiaan tersebut dapat dinikmati oleh jumlah masyarakat yang paling banyak, semakin banyak anggota masyarakat dapat menikmati kebahagiaan, maka semakin tolok ukur kebahagiaan dapat tercapai (Jawahir: 2011).
Hans Kelsen melalui teori hukum murni mengutarakan salah satu gagasan positivistik bahwa hukum adalah mengenai aturan yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya, sehingga memiliki kesan kurang menganggap norma yang diusung oleh selain hukum positif, termasuk di antaranya adalah norma agama (Swardhana: 2010). Dalam perkembangannya pemikiran Hans Kelsen justeru dianggap oleh sebagian sarjana sebagai jalan tengah yang menjadi media antara norma yang seharusnya dengan aturan yang terjadi di masyarakat melalui pemikirannya tentang nomodynamics dan nomostatics, aspek dinamis dan aspek statis, atau dalam kajian Islam mengenal antara al-tsubut dan al-mutaghayyirat, antara al-ushul dengan al-furu’. Hans Nawiasky memberikan penjelasan pemikiran Kelsen tentang aspek dinamis dan aspek statis melalui pembagian hirarki peraturan, mulai dari aturan dasar hingga aturan-aturan di bawahnya yang merupakan penjelasan dari aturan dasar. Norma fundamental (Staatsfundamentalnorm), aturan dasar (Staatsgrundgesetz), Undang-undang (formellgesetz), hingga aturan pelaksana (verordning Satzung). Dalam ranah hukum nasional hirarki ini dijelaskan oleh Hamid S. Attamimi yang menyusun urutan dari norma fundamental direpresentasikan oleh Pancasila, aturan dasar diduduki oleh Undang Undang Dasar, Undang-undang baik yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif maupun eksekutif, hingga aturan pelaksana yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat hingga daerah.
Islam sebagai sebuah agama yang memiliki cakupan di setiap ruang dan waktu, sebagai way of life, memiliki potensi integratif dengan kajian paradigma positivistik ilmu hukum. Salah satu unsur utama dalam integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan adalah terdapatnya kemiripan unsur yang dapat diperbandingkan, dikomparasikan (Djamas, dkk.; 2019, 56). Beberapa landasan utama sebagai berpijaknya hukum yang positivistik adalah asas manfaat, aspek dinamis dan statis, dan terdapatnya hirarki peraturan sebagai wujud dari hukum positif. Asas manfaat di dalam kajian Islam berada pada pembahasan kemaslahatan (al-mashlahah) yang merupakan tujuan dari syariah dengan menerbitkan manfaat, menghindari mafsadat, tidak bertentangan dengan syariah. Kemaslahatan di dalam kajian Islam memiliki klasifikasi yang variatif, namun yang menjadi acuan utama adalah bahwa kemaslahatan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan syariah dan menghadirkan manfaat bagi makhluk alam semesta (Al-Raysuni; 2013, 9).
Pada penjenjangan norma positivistik antara nomodynamics dan nomostatics di dalam kajian Islam memiliki ruang komparatif dengan pembahasan al-ushul yang memuat asas-asas umum dan al-furu’ yang memuat peraturan-peraturan konkret yang menjelaskan asas umum. Penjenjangan hirarki norma hukum dalam paradigma positivistik direpresentasikan oleh kajian Islam di dalam hirarki antara al-qiyam al-Asasiyyah sebagai bentuk fundamentalnorm, al-ushul al-kulliyyah sebagai perwujudan dari grundgesetz, dan al-Ahkam al-Far’iyyah diposisikan sebagai formell gesetz dan verordning.
Djamas dkk. Menjelaskan bahwa integrasi Islam dan ilmu pengetahuan adalah langkah untuk mencari titik temu antara kebenaran pesan wahyu di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan bukti-bukti empirik dari ilmu pengetahuan modern (Djamas, dkk.: 2019, 11). Titik temu tersebut dapat diketahui melalui pesan pesan Ilahi baik yang tertulis secara eksplisit di dalam ayat-ayat Qauliyah maupun pesan yang disampaikan melalui bukti-bukti saintifik yang berupa ayat-ayat Kauniyah. Pemahaman terhadap ayat Qauliyah dilakukan dengan menggunakan metode deduktif berdasarkan kebenaran berbasiskan intuisi melalui ketajaman qalbu dan nurani manusia, sedangkan pemahaman terhadap ayat Kauniyah dilakukan dengan metode induktif berdasarkan kebenaran berbasiskan eksperimentasi tajribi melalui ketajaman akal dan fikiran manusia sebagai medianya.
Konsep integrasi tersebut dapat dipahami melalui gambar 2 berikut.
Menggunakan konsep integrasi sebagaimana dijelaskan oleh Djamas dkk. Pada bagan di atas, maka konsep integrasi antara Islam dengan ilmu hukum dalam kerangka paradigma positivistik dapat digambarkan melalui konsep berikut. (Gambar 3)
Menggunakan konsep integrasi Islam dan Ilmu pengetahuan sebagaimana dirumuskan oleh Djamas dkk pada gambar 2, maka gambar di atas (Gambar 3) menjelaskan bahwa maqashid syariah, yaitu unsur kebermaksudan di dalam kajian Islam merupakan perspektif moral yang bersumber dari ayat qauliyah dipahami melalui pendekatan deduktif untuk mengintegrasikan perspektif eksternal berupa gejala sosial dengan perspektif internal berupa regulasi hukum positif yang mengaturnya. Perspektif internal dan perspektif eksternal dipahami menggunakan pendekatan induktif dengan media akal dan rasio, sedangkan perspektif moral dipahami melalui pendekatan deduktif dengan media qalbu sebagai perantaranya (Yulianto: 2019).
Pada akhirnya konsep integrasi Islam dan Ilmu Pengetahuan dengan berbagai macam pola dan variannya mengalami penyesuaian. Sesuai pemetaan Barbour tentang integrasi Agama dan Ilmu Pengetahuan maka dapat saja integrasi dimulai dengan fase konflik, fase independensi, fase dialog, hingga fase integrasi, maka arah integrasi Islam dengan ilmu pengetahuan, baik sains alam maupun sosial harapannya mengarah kepada integrasi yang bersifat mutual impact, yaitu bagaimana Islam dapat mempengaruhi diskursus ilmu pengetahuan maupun bagaimana Ilmu pengetahuan dapat meresap di dalam diskursus kajian Islam. Wallahu A’lam.