Ada Dalam Ketiadaan

Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, S.H., M.Hum

Manusia dalam Ada

Manusia terbentuk dan eksis dalam sosok yang menyejarah. Manusia menjadi subjek yang menentukan perubahan, ia bebas berkehendak untuk berbuat, menentukan segala yang ia kehendaki berdasarkan pada basis kebebasan dan rasionalitasnya. Eksistensi manusia bagi Sartre adalah kesadaran untuk mampu memahami dirinya sendiri, bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Ia hadir atas dirinya sendiri dan berupaya untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Manusia bukanlah sekadar sebuah objek benda yang tidak memahami siapa dirinya (Sunarso, 2010). Manusia memiliki sebuah kehendak bebas untuk mengatur, memilih, dan memberi makna atas segenap realitas (Yunus, 2011).

Manusia menjadi subjek makhluk yang berperan dalam terjadinya beragam peristiwa dalam sejarah peradaban umat manusia itu sendiri. Akal yang mendorong ia berbuat telah melahirkan sebuah peristiwa baik dan buruk. Penciptaan mobil oleh Henry Ford, pesawat terbang oleh Wright bersaudara hingga kehendak berperang dan menciptakan kehancuran melalui terjadinya peristiwa Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), beragam perang lainnya, hingga ancaman Perang Dunia III. Kesemua ide kreasi mencipta hingga menghancurkan adalah bentuk dari sebuah sistem kehendak bebas yang melahirkan proses destruksi dan dehumanisasi.

Dehumanisasi dan kehancuran massif memiliki sebuah makna yang hendak ditampilkan yaitu sebuah penyangkalan atas eksistensi manusia (Nugroho, t.t.). Sebuah paradoks atas eksistensi manusia itu sendiri, di satu sisi manusia hendak menunjukkan segenap kehendak bebasnya, tetapi pada sisi lainnya sekaligus ia tidak mengakui kehendak bebas manusia lainnya. Realita sebuah perang dan bencana mencoba untuk melihat sebuah eksistensi manusia yang dengan kehendaknya telah merubah tata hidup manusia. Teknologi membunuh dan merusak secara lebih efektif tercipta melalui sebuah kehendak dan akal mendorong percepatan kehendak tersebut. Ini adalah sebuah kehendak yang melahirkan kerja sistem tubuh manusia hingga melahirkan peristiwa kehancuran hingga dehumanisasi. Pada sisi lain manusia yang lelah berperang berkehendak mencipta sebuah upaya perdamaian, membangun kembali semangat kemanusiaan yang telah pudar akibat perang dan destruksi.

Kerjasama antara manusia diarahkan untuk menahan laju terciptanya sebuah kerusakan, agar peristiwa perang di masa lalu tidak terulang kembali. Pada dua keadaan yang berbeda ini, manusia menjadi sebuah subjek yang secara optimum telah menentukan gerak perubahan dari kedamaian menuju kerusakan, hingga kembali menuju sebuah kedamaian. Ia berputar bagai sebuah sistem rotasi yang membuktikan adanya sebuah dinamika kehendak, dari damai menuju perang, dan kemudian menuju damai kembali dan selanjutnya berpotensi menuju perang kembali. 

Manusia yang menentukan eksistensi dirinya atau memusnahkan dirinya sendiri, melalui akal yang menopang kehendaknya. Akal seringkali tidak mampu bekerja untuk dapat menentukan hal yang benar dan salah. Ia terkadang sering tertutupi oleh ego kehendak, sehingga akal kemudian hanya mampu bekerja untuk menciptakan atau memuluskan kehendak-kehendak destruktif yang telah tertanam. Akal tak kuasa untuk membendung kehendak manusia untuk mencipta kehancuran. Akal menjadi budak dari kehendak untuk saling merusak dan menghancurkan. Akal dan segenap kehendak manusia untuk merusak atau mencipta, berperang ataupun berdamai adalah sebuah bukti eksistensi manusia, bahwa ia ada dan secara antroposentris menjadi titik utama dalam sistem gerak aktif dunia ini.

Manusia dalam ada, manusia yang bebas menentukan isi sebuah peradaban. Ia yang membentuk dan membangun sebuah sistem hidup, dari kedamaian hingga kehancuran. Di sinilah sistem norma dengan hukum-hukum manusia dibangun, dibentuk agar mampu membatasi kehendak bebas yang mengakibatkan proses kehancuran dan bencana kemanusiaan.

Manusia dalam Ketiadaan

Ketiadaan berarti hilangnya sebuah eksistensi (non-eksistensi), dan ketidakmampuan bertindak. Manusia dengan segenap komponen tubuhnya ternyata juga berada dalam sebuah ketiadaan. Ketiadaan bagi manusia adalah non-eksistensinya dengan segenap komponen yang ia miliki. Hadirnya Wabah Hitam di abad 13, Flu Spanyol di tahun 1918, hingga virus Covid-19 di Tahun 2020 menjadi sebuah bentuk non-eksistensi manusia, ia yang tidak lagi mampu bertindak bebas karena virus itu mampu membatasi hingga melumpuhkan sisi kehendak gerak manusia. Manusia yang selama ini eksis dalam keadaanya, kini menjadi wujud-wujud ketiadaan. Eksistensi yang selalu didengungkan dan menjadi simbol keagungan manusia kini runtuh, ilmu pengetahuan dan daya kreasi teknologi sebagai alat manusia untuk eksis mengalami kelumpuhan kerja hingga waktu dan batas tertentu.

Terdapat sebuah ruang non-eksistensi ketika manusia terdiam tak mampu bertindak ketika badai Covid mengamuk di seluruh belahan bumi. Teknologi dan segenap kehendak manusia tertahan dan hanya mampu menerima keadaan. Inilah saat dimana manusia kehilangan eksistensinya, manusia yang berada dalam ketiadaan. Ia yang kehilangan sisi antroposentrisnya dan saat ini bagai objek sasaran. Manusia kini disadarkan bahwa ia hakikatnya hanyalah bayang semu, eksistensinya adalah sekaligus non-eksistensi. Ia bukanlah makhluk atau subjek yang berkehendak semata, melainkan juga objek yang dikehendaki oleh Sang Berkehendak. Hakikat dari “yang ada” hanyalah Sang Pengada itu sendiri, selain-Nya adalah ketiadaan. Syahadat adalah bentuk pengakuan manusia atas ketiadaan dirinya sendiri, dan sekaligus mengakui bahwa yang ada hanya Dia (Najib, 2018).

Hakikat manusia adalah ketiadaan, ia hanya melangkah bagai bayang-bayang. Wujud yang hadir adalah wujud-wujud ketiadaan, ia yang dulu tidak ada, lalu dihadirkan kemudian akan dihilangkan atau ditiadakan dalam sebuah kematian oleh Sang Pengada. Eksistensi manusia begitu singkat dibandingkan alam semesta. Manusia yang umumnya hanya mencapai usia antara 60-90 tahun begitu tak bermakna sama sekali dihadapan alam yang telah berusia lebih dari 5 milyar tahun. Sembilan puluh tahun yang dijalani adalah totalitas usia yang dijalani, sedangkan usia yang betul-betul digunakan untuk kemajuan dan kebermanfaatan peradaban tentunya akan lebih singkat lagi. Manusia menjadi tak bermakna dihadapan semesta, apalagi dihadapan sang Pengada.

Manusia adalah tubuh ketiadaan, ia tak bermakna ketika ia hanya menghadirkan segenap kemampuan untuk mendestruksi hingga mendekonstruksi peradaban yang terajut dengan indah. Kehadiran dan tubuh yang mengada dilihat dari sejauh mana ia memberikan kebermanfaatan bagi sesama. Kehendak atas dasar ego untuk menjadi eksis selayaknya diarahkan pada proses pembentukan peradaban yang humanis, tanpa menghilangkan sisi spiritualismenya. Manusia yang terdorong untuk menyemaikan nilai-nilai keadaban, nilai-nilai yang menjadikan manusia adalah tetap sebagai subjek manusia dan bukan objek yang dikendalikan.

Inilah manusia yang hakikatnya adalah ketiadaan, ia yang tak memiliki makna apapun bahkan hanya untuk dihadapan semesta. Dalam wujud yang tak eksis inilah, manusia mencoba untuk memberi setitik makna, bahwa ia akan memiliki kebermanfaatan bagi kemajuan peradaban manusia melalui setitik ilmu pengetahuan dari Sang Pengada. Ia yang berupaya menyebarkan kebaikan dan bermanfaat, tidak mendorong terciptanya kerusakan dan kehancuran. 

Segenap ilmu pengetahuan yang dihadirkan tidak lain adalah untuk memanusiakan manusia, sekaligus mendistribusikan segenap nilai yang membangun kehidupan. Relasi dan ruang keterhubungan antarsubjek, maupun relasi religius transendental adalah dalam upaya menumbuhsuburkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah kehendak unjuk ego untuk meruntuhkan bahkan menghancurkan peradaban manusia. Di sinilah manusia layak menyandang predikat selaku khalifah ketika ia dengan ilmunya mampu memproduksi dan menyemaikan nilai kebajikan.  “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Qs. Yunus [10]: 57)