Alma Mandjusri, S.S., M.Ikom.
Ada paradoks yang timbul ketika para akademisi mencoba mendefinisikan apa itu Islamic Advertising? Secara alami, periklanan lahir dari kebutuhan industri yang semata-mata bertujuan komersial. Lihatlah pengertian mengenai periklanan, Moriarty, Mitchell and Welss (2012), Advertising is a paid form of persuasive communication that uses mass and interactive media to reach broad audiences in order to connect an identified sponsor with buyers (a target audience), provide information about products (goods, services, and ideas), and interpret the product features in terms of the customer’s needs and wants. Iklan adalah bentuk komunikasi persuasif berbayar yang menggunakan media massa dan interaktif untuk menjangkau audiens yang luas untuk menghubungkan sponsor yang diidentifikasi dengan pembeli (audiens sasaran), memberikan informasi tentang produk (barang, layanan, dan ide), dan menafsirkan fitur produk dalam hal kebutuhan dan keinginan pelanggan.Atau definisi lain dari Shimp & Andrews (2013), Advertising is any paid form of non-personal communication of ideas, goods, or services by an identified sponsor. Iklan adalah bentuk komunikasi ide, barang, atau layanan non-pribadi yang dibayar oleh sponsor yang diidentifikasi dengan jelas.Dalam hal ini fokus utama periklanan adalah meningkatkan profitabilitas bisnis, yang seringkali mengabaikan banyak aspek sosial saat merancang kampanye iklan, karena bertujuan menanamkan rasa ingin dan butuh dalam pikiran konsumen terhadap suatu produk atau jasa. Apalagi jika dibenturkan dengan ajaran Islam. Di satu sisi mengejar profitabilitas, tapi tetap harus mengindahkan ajaran-ajaran agama.
Islam selalu memerintahkan Amar makruf nahi munkar yaitu menegakkan kebenaran/kebaikan dan melarang kemunkaran. Etika dalam Islam lebih dari sekedar apa yang didefinisikan sebagai benar dan salah oleh masyarakat, karena etika dalam Islam berpedoman pada ajaran Al-Quran dan Sunnah, yang mencakup semua faktor, baik fisik, emosional dan spiritual. Islam menganjurkan seseorang membantu pebisnis mendapatkan kehidupan yang layak melalui transaksinya. Tidak adil bagi bisnis apa pun untuk menjual produknya dengan klaim palsu dan dengan sengaja menyembunyikan informasi lengkap tentang produk atau layanan yang bersangkutan, seperti apa yang disampaikan Nabi Muhammad (SAW), “Tanda orang munafik ada tiga; 1. Setiap kali dia berbicara dia berbohong; 2. Kapanpun dia berjanji, dia selalu melanggarnya; 3. Jika kamu percaya padanya, dia terbukti tidak jujur ”(Al-Bukhari, 1.32) selain itu Nabi Muhammad (SAW) melarang penjualan buah-buahan sampai hampir masak. Anas ditanya apa yang dimaksud dengan “hampir matang”. Jawabnya, “Sampai menjadi merah” Rasulullah (SAW) selanjutnya berkata, “Jika Allah merusak buahnya, apa haknya untuk mengambil uang saudaranya.” (Al-Bukhari, 3.403). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam menempatkan kejujuran sebagai hal yang penting. Oleh karena itu, klaim yang menyesatkan dan janji palsu dilarang dan tidak boleh dilakukan dalam periklanan. Setiap muslim sangat memahami kategori halal dan haram yang merupakan sistem nilai yang secara jelas disebutkan baik dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Rice dan Al-Mousavi (2002) dalam upaya menghubungkan nilai-nilai dasar Islam dengan implikasi periklanan menjelaskan bahwa beberapa dari nilai-nilai yang harus diikuti oleh umat Islam adalah kebenaran, kejujuran, kesopanan serta kewajiban dan tanggung jawab sosial dan kolektif. Muslim harus menjauhkan diri dari kebohongan dan penipuan di mana-mana secara umum dan dalam perdagangan dan urusan keuangan dengan orang lain secara khusus. Mereka tidak bisa berbohong dan harus menghindari sikap berlebihan. Di satu sisi, pengiklan harus menyampaikan keunggulan produk dan layanan yang diiklankan sesuai tujuannya dengan gaya komunikasi yang jujur (Rice & Al-Mossawi, 2002). Oleh karena itu, umat Islam menganggap pesan yang berlebihan dalam iklan sebagai kebohongan yang dapat menyesatkan mereka.
Selain itu, issue pemanfaatan wanita sebagai objek periklanan juga menjadi perhatian. Dalam analisis konten iklan majalah pan-Arab, Mesir, Lebanon dan Emirati, Al-Olayan dan Karande (2000), menemukan bahwa 83% iklan di negara Arab Saudi yang menampilkan wanita sebagai model selalu mengenakan pakaian panjang menutup aurat, di Amerika Serikat hanya 29% iklan yang menampilkan model Wanita yang mengenakan pakaian Panjang. Sementara iklan di negara Arab Saudi menampilkan wanita, jika mereka berhubungan langsung dengan produk dan mengenakan gaun panjang serta penutup kepala yang tidak memperlihatkan sehelai rambut pun. Di Malaysia, Islam juga memberikan pengaruh besar pada peraturan periklanan. Prinsip Islam menutupi aurat (yaitu, bagian tubuh pribadi) untuk wanita dan larangan menggunakan wanita sebagai simbol seks dalam iklan diberlakukan secara ketat (Wah, 2006). Kode etik iklan Malaysia menetapkan bahwa model wanita yang ditampilkan dalam iklan harus sepenuhnya berpakaian hingga garis leher dan panjang rok harus di bawah lutut. Lengan boleh terekspos ke tepi bahu, tetapi tidak mengekspos ketiak. Bandingkan dengan Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia belum menerapkan kode etik tertentu untuk model wanita yang ditampilkan dalam iklan, baik mengenai etika berpakaian, maupun bagian-bagian tubuh Wanita yang boleh dan tidak boleh terekspos.
Namun umat Islam di Indonesia tak perlu berkecil hati. Di tengah berseliwerannya iklan yang mengumbar aurat, masih ada praktisi periklanan yang mengikuti kaidah-kaidah Islam dalam menampilkan model baik laki-laki atau perempuan dengan cara yang kreatif dan menarik, seperti contoh berikut:
Praktik periklanan Islami di Indonesia sepanjang pengamatan penulis, bisa dibagi menjadi beberapa kategori, 1. Iklan yang memanfaatkan daya tarik tokoh-tokoh agama Islam yang mempunyai kredibilitas, daya tarik dan karisma sebagai endorser, untuk memberikan asosiasi yang positif pada brand yang ditawarkan, misalnya iklan-iklan berikut:
2. Iklan yang menggunakan kata-kata dan atribut Islami yang populer seperti “Assalamu’alaikum, Bismillah, Alhamdulillah, Insya Allah”, atau beduk masjid, suara adzan dan lain-lain seperti contoh berikut;
3. Iklan yang memanfaatkan logo HALAL sebagai sebuah jaminan trust pada brand, walaupun yang ditawarkan bukan termasuk kategori produk makanan, seperti contoh berikut:
4. Iklan yang menggunakan gaya pakaian Islami sebagai daya tarik dan memberikan asosiasi yang positif terhadap brand, seperti contoh berikut:
Pada dasarnya periklanan Islami di Indonesia mulai memberikan daya tarik tersendiri bagi konsumen Indonesia, utamanya pasar muslim, di satu sisi menunjukkan adanya kesadaran, baik dari pemasar maupun konsumen muslim Indonesia untuk menjalankan gaya hidup sesuai kaidah-kaidah Islam. Tetapi di sisi lain, periklanan Islami belum mampu melawan arus budaya global, yang cenderung mengeksploitasi wanita, memropagandakan gaya hidup konsumerisme, hedonisme, dan saat ini yang sedang marak adalah mengeksploitasi ruang privat ke dalam ruang publik, sebagai sarana promosi, terutama di media digital.
Kita layak berharap, praktisi periklanan Indonesia kelak dapat memiliki kode etik Periklanan Islami yang menjadi acuan dunia periklanan dalam menyiapkan konten dan materi periklanan. Adalah tugas kita sebagai akademisi untuk memfasilitasi ketersediaan kode etik Islamic Advertising tersebut. Semoga. []
DAFTAR PUSTAKA
Arnould, Price and George Zinkhan, 2004, Consumers, 2nd ed. New Yoek, NT: Mc Graw Hill
Essays, UK, November 2018, Uses of Religion in Advertising. Retrieved from https://www.ukessays.com/essays/cultural-studies/use-of-religion-in-advertising-cultural-studies-essay.php?vref=1
Djamil, Fathurrahman, 2013, Hukum Ekonomi Islam : Sejarah, Teori, dan Konsep, Jakarta : Sinar Grafika, hal 154.
Hawkins et al.,2004, Consumer Behavior, New York: Mc Graw Hill
Moriarty, Sandra, Mitchell, Nancy, Wells, William, 2012, Advertising & IMC, Principles and Practice, PERSON : Prentice Hall, page 7.
Stefanie Knauss, 2016, Get to Know the Unkonw: Understanding Religion and Advertising, Journal of Media and Religion, vol.15, Issue 2
Schiffman, Leon G. Kanuk, Leslie Lazar, 2007, Consumer Behavior . 9 th ed. PrenticeHall. New Jersey: Upper Saddle River.
Terence Shimp and J.Craig Andrews, 2013, Advertising, Promotion, and Other Aspects of Integrated Marketing Communications, Ninth Edition, South Western: USA, page 8.