Rahman dan Rahim: Sifat yang Wajib Dihayati

Muhammad Ridhwan, M.Ag.

Setiap memulai pekerjaan, kita selalu diingatkan agar menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah dengan cara berucap, Bismillahirrahmanirrahiim. Dengan selalu mengawali pekerjaan dengan ucapan tersebut, sivitas akademika UAI diharapkan menjadikan Allah sebagai tujuan dan selalu menjadikan pekerjaan tersebut bernilai ibadah. Hal ini merupakan wujud pengakuan kita akan eksistensi Allah yang memiliki sifat Rahman dan Rahim.

Ketika kita membaca basmalah akan membawa pada kesadaran akan kelemahan diri dan kebutuhan kepada Allah. Dengan membaca basmalah, seharusnya kita menghayati kekuatan dan kekuasaan Allah, serta rahmat dan kasih sayangnya yang tercurah kepada seluruh makhluk. Kalau yang demikian tertanam dalam jiwa, pastilah nilai-nilai luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan atau perilaku. (M. Quraish Shihab, 2009)

Tidaklah salah ketika para founding father menjadikan kasih sayang sebagai sifat yang perlu dihayati oleh sivitas akademika. Kasih sayang yang dalam bahasa Arab kita kenal dengan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dawam Rahardjo dalam menjelaskan makna ar-Rahman dan ar-Rahim ini mengutip pendapat Muhammad Ali dalam The Holy Quran bahwa Rahman dan Rahim adalah dua sifat Allah. Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah konsekuensi dari Allah sebagai Rabb, yang memelihara, mengasuh, mendidik dan menyempurnakan ciptaan-Nya sendiri. Ar-Rahman adalah Tuhan yang Maha Pemurah yang cinta kasih-Nya diwujudkan dalam terciptanya dunia ini untuk seluruh umat manusia. Sedangkan ar-Rahim, adalah Tuhan yang Maha Kasih, yang cinta kasih-Nya diwujudkan di hari kemudian.

Lebih jauh Dawam mengutip Muhammad Ali dari bukunya The Religion of Islam bahwa Rahman mengandung arti, bahwa cinta kasih Allah itu begitu melimpah, sehingga Allah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia, sekalipun mereka tak berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka pantas memperoleh rahmat. Pemberian segala kebutuhan hidup untuk memperkembangkan jasmani mereka, dan pemberian wahyu untuk mempertumbuhkan rohani mereka, ini semata-mata berkat adanya cinta kasih Allah yang tak terhingga. (Dawam Rahardjo, 1996)

Karena Rahman Allah, manusia harus saling menyayangi di antara mereka, dan saling tolong menolong dengan sesama. Wahbah az-Zuhaili dalam menjelaskan tentang menyayangi makhluk hidup adalah cara manusia untuk mencontoh akhlak Allah SWT. dan meneladani sifat-sifat Allah yang Agung yakni Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua makhluk-Nya. Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan QS. Al-A’raf [7]: 156, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” Menjelaskan bahwa Karunia Allah merata dan meliputi seluruh makhluk-Nya dari sejak lahir sampai matinya. (Wahbah az-Zuhaili, 2014)

QS. Al-A’raf [7]: 156 berisi dialog Nabi Musa dengan Allah SWT di mana Nabi Musa berdoa mengharapkan kebajikan di dunia dan di akhirat dengan bargaining bahwa mereka telah bertobat atas dosa. Lalu Allah menjelaskan bahwa Siksa Allah akan ditimpakan baik di dunia maupun di akhirat pada siapa saja yang Allah kehendaki, sebaliknya rahman atau anugerah Allah meliputi segala sesuatu yang ada di jagat raya ini. Di sini Allah memberikan bocoran bahwa Rahman Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang bertaqwa, yakni bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, terutama bagi mereka yang menunaikan zakat –membantu meringankan beban orang-orang yang lemah, melalui zakat dan sedekah—dan bagi mereka yang senantiasa membenarkan dan beriman dengan ayat-ayat Allah. (M. Quraish Shihab, 2009)

Ayat ini pula menunjukkan pengejawantahan dari kasih sayang kepada kaum papa. Ini adalah isyarat bahwa rahmat Allah akan dianugerahkan kepada yang merahmati makhluk-Nya, karena yang tidak merahmati, tidak akan dirahmati. Sekaligus menegaskan bahwa ketaqwaan itu harus diikuti dengan adanya kepedulian sosial, adanya tanggung jawab sosial yang diemban.

Manusia harus saling menyayangi di antara mereka, dan saling tolong menolong antarsesama. Menyayangi sesama memicu limpahan kasih sayang Allah SWT. Dalam satu riwayat dari Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Yang Maha Penyayang maka sayangilah yang ada di bumi, engkau akan disayang oleh yang ada di langit.” Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan pula menyayanginya.

Sedemikian besarnya perhatian Islam terhadap nilai-nilai kasih sayang, sehingga kita harus menyebarkan kasih sayang kepada semua makhluk. Diriwayatkan ath-Thabrani dengan rawi-rawi yang shahih dari Abu Musa al-Asy’ary r.a, Nabi SAW bersabda, “Kalian tidaklah beriman hingga kalian saling menyayangi.” “Wahai Rasulullah, kami semua adalah penyayang. Jawab mereka. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kasih sayang yang dimaksud bukanlah kasih sayang seseorang kepada sahabatnya, tetapi kasih sayang secara menyeluruh.” Jadi kita baru dikatakan memiliki rasa kasih sayang ketika menyayangi dan menyantuni semua ciptaan Allah SWT.

Implementasi Rahman dan Rahim Dalam Kehidupan Kampus

Menumbuhkan kasih sayang dalam kehidupan kampus bisa dimulai dari bagaimana kepedulian kita terhadap sesama. Kepedulian yang merupakan salah satu dari nilai dasar (core values) yang kita anut harus menjadi sikap yang melekat dalam diri setiap civitas akademika UAI.

Dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 132 Allah berfirman, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul, agar kamu memperoleh kasih sayang.” Kasih sayang yang dimaksudkan pada ayat ini adalah kasih sayang Tuhan kepada manusia yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa pun yang mendapat kasih sayang dari Allah, niscaya akan tumbuh pula kasih sayang dalam diri orang tersebut kepada orang lain.

Hal ini bisa dikatakan bahwa kasih sayang adalah perwujudan dari keadaan spiritual seseorang yang tentunya orang yang taat menjalankan agama. Dari ketaatan itu, akan tercermin dalam wujud keseharian dengan adanya sifat sayang terhadap makhluk lain. Lalu dari ketaatan tersebut akan menimbulkan rasa ketaqwaan. Ciri-ciri orang yang bertaqwa ada dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 134 yakni, mereka yang menafkahkan hartanya di waktu lapang dan sempit, mereka yang menahan amarah, dan mereka yang memaafkan kesalahan orang lain. Maka Dawam Raharjo menyimpulkan bahwa manifestasi dari rasa kasih sayang atau rahim tersebut diwujudkan dalam 3 tindakan tersebut. (Dawam Raharjo, 1996)

Dalam menerapkan rahman dan rahim ini, civitas akademika UAI dapat meningkatkan kepeduliannya terhadap sesama, berempati terhadap rekan yang tengah ditimpa kesusahan, bahkan bukan hanya kepada sivitas akademika UAI saja, tapi juga kepada umat manusia secara umum. Kerelaan untuk membantu secara materi baik di waktu ada maupun tiada. Kepandaian dalam menahan amarah juga harus dijadikan budaya di lingkungan UAI. Lalu memaafkan kesalahan orang yang berbuat salah dengan tidak membalas dengan perbuatan serupa, atau malah menjadi dendam atas perbuatan orang tersebut.

Memaafkan adalah sesuatu hal berat bagi sebagian orang. Berat tidaknya memaafkan tergantung kepada besar kecilnya rasa kesal, bahkan dendam pada seseorang. Semakin dalam rasa kekesalan, kebencian, permusuhan pada seseorang, maka akan semakin berat untuk memaafkannya. Terlebih lagi jika akhirnya memunculkan rasa benci. Rasa benci yang dipelihara dan dipupuk akan berubah menjadi dendam. Dan dendam yang tidak terlaksana akan menyakitkan hati. Di sinilah Islam mengajarkan kita untuk memaafkan. (Komarudin Hidayat, 2011)

Selain tiga hal di atas, dalam satu riwayat dari Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas r.a, Nabi SAW bersabda, ”Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, menyayangi yang kecil (muda), memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran.”

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa civitas akademika UAI harus memiliki sifat respect atau hormat terhadap yang tua. Mahasiswa hormat kepada dosennya, karyawan yang muda hormat terhadap pemimpin atau sesama karyawan yang lebih tua. Dan sebaliknya mereka yang tua harus menyayangi yang kecil (muda). Tentu saja hormat dan sayang tersebut harus proporsional dengan memerintahkan/mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran. Manakala yang orang tua terlihat mulai keluar dari koridor Islam, yang muda tetap berkewajiban memerintahkan atau mengajak kepada kebaikan yang tentu saja dengan tidak menghilangkan sifat respect atau hormat. Begitupun sebaliknya, yang tua harus dapat mengingatkan yang muda manakala berbuat kemunkaran.

Rasa kasih sayang yang tercipta dalam kehidupan, yang tercipta kala berinteraksi dengan sesama manusia tentulah akan membuahkan balasan yang serupa dari Allah. Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, “Ketika itu, Rasulullah mencium Hasan dan Husain putra Ali, sedangkan di sisinya ada al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Lalu al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki sepuluh anak, dan aku tidak pernah mencium salah satu pun dari mereka.” Maka Rasulullah SAW memandang kepadanya, kemudian beliau bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.”

Semoga civitas akademika UAI dapat meneladani sifat Rahman dan Rahim ini dan mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupan di kampus.[]

DAFTAR BACAAN

Komarudin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat: Menangkap Makna-makna Tersembunyi di Balik Perintah Ibadah, (2011), Jakarta: Dian Rakyat

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (1996), Jakarta: Penerbit Paramadina

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (2009), Jakarta: Lentera Hati

Wahbah az-Zuhaili, Ensiklopedia Akhlak Muslim; Berakhlak terhadap Sesama dan Alam Semesta, (2014), Jakarta: Penerbit Noura Books