Kesehatan Mental dan Pendekatan Terapinya dalam Pandangan Ulama Muslim Klasik

Rizqi Maulida Amalia, S.Hum., M.Si.

Kesehatan mental menurut Islam identik dengan ibadah atau pengembangan potensi diri dalam rangka penghambaan kepada Allah SWT untuk mendapatkan an nafs al muthmainah. Dalam Al Quran dan As Sunnah, tidak ditemukan istilah sihhat an nufus (kesehatan mental), kesehatan mental dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah Qalbun Salim, sebagaimana QS Asy Syuara ayat 89. Maknanya yaitu: jiwa merasa tenang dan tentram dalam menjalankan ibadah kepada Allah sehingga mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat. (Mujib, 2017)

Sehat secara fisik diperkuat oleh gizi seimbang, gaya hidup sehat, olahraga dan lingkungan sehat. Sedangkan jiwa yang sehat adalah jiwa yang memiliki iman, taqwa, akhlak mulia serta ibadah. Faktor penting bagi usaha pembinaan mental yang baik berdasarkan ajaran Islam yaitu keimanan dan ketaqwaan yang diikuti amal shaleh dan amar maruf serta menjauhi perbuatan keji dan munkar. Bila prinsip tersebut diterapkan dengan baik maka akan timbul kestabilan jiwa dalam diri seseorang terlihat melalui ciri ciri: tahan menghadapi problema hidup (sabar); mengakui dan berterima kasih atas jasa pihak lain (syukur); menerima kenyataan hidup (qanaah); rela atas ketetapan Tuhan (ridho); dan tawakkal.

Penyakit mental disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu berupa genetik atau keturunan, biologis, lingkungan, dan/atau masalah spiritual. Di samping itu semua, tokoh ilmuwan muslim telah lama membahas masalah ini, dan menjadi pionir dalam pengembangan yang hari ini dilakukan oleh ilmuwan Barat, termasuk bagaimana mengatur dan merawat kesehatan mental, yaitu Abu Zayd Al-Balkhi dan Ibn Sina. (Skinner, 2020)

Abu Zayd Al-Balkhi, seorang ulama di abad 9 yang menekuni berbagai bidang seperti geografi, filosofi, psikologi, sains, literasi, teologi islami, dan medis. Meskipun beliau tidak mempraktikkan keseluruhan dari bidang yang digeluti, beliau sangat memberikan kontribusi terutama dalam bidang medis. Al-Balkhi mendirikan sekolah bernama “Balkhi School” di Baghdad. Salah satu bukunya yang terkenal di bidang psikologi adalah “Masalih al-Abdan wa al-Anfus” yang diterjemahkan oleh Prof. Malik Badri. Dalam buku tersebut ia sangat menganjurkan agar memahami bagaimana penyakit mental dalam psikologis, terutama tentang depresi. Al-Balkhi mencetuskan ide yang membedakan antara depresi sebagai pengaruh faktor lingkungan dengan depresi yang bersifat endogen, berikut dengan terapi yang perlu dilakukan terhadap keduanya. Menurutnya, terapi yang menggunakan obat efektif dilakukan untuk penderita depresi endogen, sementara terapi bicara atau berdialog dapat dilakukan bagi penderita depresi yang disebabkan lingkungan. Al-Balkhi juga mengawali pengamatan jiwa manusia termasuk tentang obsesi yang hari ini dikenal dengan obsessive-compulsive-disorder, baik itu dari klasifikasi, diagnosis, dan juga perawatan yang dapat dilakukan terhadapnya. Ini merupakan cetusan yang baik pada masa itu, dimana pada sekitar abad ke-17 baru dilanjutkan oleh ilmuwan Barat lainnya. (Badri, 2013)

Selanjutnya adalah Ibnu Sina yang terkenal dengan karya-karyanya di bidang medis, salah satunya adalah Al-Qaeda al-Qanuun, yang menjadi sumber rujukan bagi seluruh sekolah medis di Eropa. Ibnu Sina juga membahas masalah kelainan mental dengan serius, salah satunya adalah tentang psikosis termasuk skizofrenia yang akhirnya baru ramai diperbincangkan pada abad ke-19. Ia mengatakan bahwa term psikosis disebabkan kondisi neurobiological di bagian otak tengah. Al-Balkhi dan Ibnu Sina adalah contoh dua ulama besar Islam yang secara keilmuwan dapat memberikan pandangan bahwa penyakit mental termasuk depresi bukan hanya disebabkan oleh lemahnya semangat atau godaan setan yang mempengaruhi kondisi jiwa, sementara dunia Barat baru membicarakannya paling tidak pada abad ke-19, ini membuktikan bahwa ilmuwan Islam jauh berkembang dan memberikan sumbangsih pemikiran yang amat nyata dalam peradaban dunia, termasuk dalam dunia psikologi. (Awaad & Ali, 2015)

Beberapa ulama muslim terkenal yang ternyata menjadi pelopor berbagai pendekatan dan perawatan pikiran, tubuh dan jiwa untuk ketenangan hati dan kestabilan jiwa. Beberapa diantaranya adalah Al-Kindi, ulama pertama di abad 9 yang menulis tentang depresi pada manusia. Al-Kindi mengatakan bahwa fungsi dari proses yang ada dalam jiwa dan kognitif dengan sugesti yang ada adalah untuk memerangi depresi yang dialami manusia. Al-Kindi juga mengatakan bahwa manusia perlu menyesuaikan pencapaian yang sekiranya dapat diraih agar kita tidak berlarut dalam kesedihan dari peristiwa yang sudah dilewati. Hal tersebut sejalan dengan Q.S Al-Hadid ayat 23 yang artinya, “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Hal ini menjadi terobosan baru yang mendeskripsikan bagaimana kognitif atau pola pikir dalam diri manusia sangat berperan penting dalam mengendalikan perasaan, termasuk depresi.(Awaad & Ali, 2015)

Selain itu, ada pula Al-Balkhi, seorang pionir psikoterapi, psikologi dan pengobatan melalui psikosomatis. Menurutnya, penggambaran mental illness tidak dapat dipahami dengan gangguan syaithan, tetapi dengan penjelasan biologi dan kognitif. Al-Balkhi percaya bahwa keseimbangan emosi dapat mengatasi ketakutan yang dialami manusia, hal ini dikenal dengan reciprocal inhibition atau hambatan timbal-balik. Menurut Al-Balkhi, keaktifan kita mampu memberikan pertahanan psikis dan dapat digunakan dimana pun. Sehingga Al-Balkhi dikenal sebagai ulama muslim yang mengawali pengembangan keseimbangan antara tubuh dan pikiran untuk menjaga kesehatan. (Badri, 2013)

Ibnu Sina –yang mendapat julukan bapaknya para dokter– meyakini bahwa manusia memiliki kekuatan utuh untuk dapat menyeimbangkan tubuh dan pikirannya sendiri. Ia merangkumnya dengan berbagai pendekatan yang mampu membantu perwujudan keseimbangan itu, diantaranya adalah dengan meditasi, mengonsumsi obat, meningkatkan kesadaran diri, berdialog, mengembangkan imajinasi, dan berbagai pengondisian psikologi lainnya. Ibn Sina juga mencetuskan obat-obatan herba yang dapat digunakan untuk merawat dan mengatur depresi yang akhirnya saat ini dikenal sebagai obat anti depresan. (Awaad & Ali, 2015)

Al-Ghazali, yang menjelaskan sedikit tentang beberapa gangguan hati yang menimbulkan penyakit dalam tubuh manusia, seperti cemburu, arogan, atau pun pola pikir dan kebiasaan yang saling mempengaruhi. Ia memandang kepribadian manusia merupakan sebuah bentuk integrasi antara kondisi tubuh dan tingkat spiritual, mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah hal yang amat normal, sedangkan menjauh dari Allah lah yang masuk dalam kategori abnormalitas bagi seorang muslim, al-Ghazali menegaskan bahwa gangguan psikis yang ada dalam diri manusia dapat diatasi dengan terapi kognitif, seperti dengan reinforcement negative. Dalam menyikapi gangguan psikis, banyak hal yang dapat dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, dalam hal ini juga melalui beberapa tips para pakar muslim, yaitu dengan makan makanan yang halal dan thayyib, tidur teratur, puasa, berbagi dengan sesama, menggunakan aroma terapi sebagai penenang, melakukan latihan-latihan fisik di rumah, dan sebagainya. Melalui beberapa hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa memang Islam berintegrasi dengan konsep psikoterapi yang ada untuk menyeimbangkan antara tubuh, badan dan pikiran seseorang. (Skinner, 2020)

Referensi:

Awaad, R., & Ali, S.. Obsessional Disorders in Al-Balkhi’s 9th Century Treatise: Sustenance of the Body and Soul. Journal of Affective Disorders, 180, 2015

Badri, Malik, Abu Zayd al-Balkhi’s Sustenance of the Soul: The Cognitive Behavior Therapy of a Ninth Century Physician., International Institute of Islamic Thought (IIIT).2013

Mujib, Abdul., Teori Kepribadian: Perspektif Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press., 2017 Skinner, Rasjid., A Beginner’s Guide to the Concept of Islamic Psychology. Journal of the British Islamic Medical Association. 2020