Dua Bahtera Hati

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

Wujud yang paling bagus, paling jelas, paling mulia, paling tinggi, dan paling luas adalah singgasana Allah SWT. Setiap sesuatu yang lebih dekat dengan singgasana itu lebih terang, lebih baik, dan lebih mulia daripada yang jauh. Surga Firdaus merupakan surga yang paling tinggi kedudukannya, paling mulia, paling terang dan paling agung, karena ia dekat dengan singgasana, bahkan singgasana itu menjadi atapnya. Sedangkan sesuatu yang lebih jauh darinya akan lebih gelap dan lebih sempit. Maka dari itu asfala safilin merupakan tempat yang paling jelek, paling sempit dan paling jauh dari segala macam kebaikan.

Allah telah menciptakan hati dan menjadikannya tempat untuk memahami, mencintai dan menjalankan iradah-Nya. Hati adalah singgasana yang paling tinggi, sarana untuk memahami, mencintai dan menjalankan iradah-Nya.

Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk, dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi, Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. An-Nahl: 60

Dan Firman-Nya, “Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya, dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ar-Rum: 27)

Dalam Surah As-Syura, 11 disebutkan, “Dia tidak menyerupai sesuatu apapun.”

Inilah perumpamaan yang paling bagus. Bagi orang beriman, hati adalah singgasananya. Jika hatinya tidak bersih, tidak suci, dan tidak jauh dari segala kotoran, maka tidak akan bisa menjadi singgasana baginya untuk menemukan pemahaman, kecintaan, dan keinginan. Jika demikian, akan turun derajatnya menjadi bagian yang paling bawah karena mencintai dunia, terlalu mengharapkannya, serta memuja-mujanya. Maka akan menjadi sempit dan gelaplah hatinya, sehingga jauh dari kesempurnaan dan keberuntungan.

Hati manusia terbagi menjadi dua macam:

Pertama, hati yang menjadi singgasana Allah, yang di dalamnya penuh dengan cahaya, kehidupan, kebahagiaan, kegembiraan, dan simpanan kebaikan.

Kedua, hati yang menjadi singgasana setan, yang sempit, gelap, mati, penuh kesedihan, duka cita dan kesengsaraan. Hati seperti ini senantiasa, meratapi kesedihan, baik pada masa lalu, yang akan datang dan akan selalu bersedih di sepanjang masa.

 At-Tirmidzi dan rekan-rekannya telah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Jika cahaya masuk ke dalam hati, maka ia akan menjadi terang dan luas. “Mereka bertanya, “Apa tanda-tandanya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mendekatkan diri kepada negeri yang abadi, menjauhkan diri dari negeri yang fana, serta mempersiapkan diri untuk mati sebelum kematian menjemput.”

Cahaya yang masuk ke dalam hati adalah cahaya Allah, sehingga hati menjadi luas dan terang. Jika hati tidak memahami Allah dan mencintai-Nya, ia akan menjadi gelap dan sempit.[]

Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah – Terapi Mensucikan Jiwa.