“Penjelajahan Eksistensi dan Fungsi Agama dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan”
Alhamdulillah, PKSNIK kembali menyelenggarakan FGD Epistemologi Islam seri yang kedelapan pada hari Rabu, 25 Juli 2021 lalu.
Pada FGD Epistemologi Islam seri kedelapan ini PKSNIK mengusung tema “Penjelajahan Eksistensi dan Fungsi Agama dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan” untuk melihat dan membandingkan pola hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh beberapa pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan di berbagai sistem pendidikan Islam di tiga negara yang masing-masing akan dijelaskan oleh ketiga narasumber yakni Prof. Ahmad Najib Burhani, M.A., M.Sc., Ph.D., selaku Plt. Kepala Pusat Masyarakat dan Budaya (PMB) – LIPI yang memaparkan materinya dengan topik Religious Studies dan Divinity School di Amerika, narasumber kedua Dr. K.H. Muhammad Aunul Abied Shah, M.A. selaku Doktor Filsafat Al-Azhar, Pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam Torjun Sampang yang memaparkan materinya dengan topik Peran Agama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pengalaman Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dan narasumber ketiga Dr. Syamsuddin Arif, MA., selaku Peneliti INSISTS, Dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor yang memaparkan materinya dengan topik Integrasi Agama dan Ilmu Pengetahuan: Pengalaman ISTAC dan Frankfurt Jerman. Acara diawali dengan pengantar oleh Kepala PKSNIK Prof. Dr. Nurhayati Djamas., M.A., M.Si., yang menjelaskan tentang 4 pola hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan, pola yang pertama adalah pola konflik (agama dan ilmu pengetahuan tidak boleh saling mencampuri), pola independent (agama dan ilmu pengetahuan berjalan masing-masing tidak saling mencampuri), pola dialog (mencari persamaan antara teori yang dihasilkan dengan sisi agama), pola yang terakhir yang saat ini dikembangkan oleh UAI adalah pola integrasi dimana UAI mencoba melihat titik temu antara dua sisi kebenaran yaitu kebenaran metaphysical transcendence dan kebenaran scientific empiric (ilmu pengetahuan).
Lalu dilanjutkan dengan dengan sambutan oleh Rektor UAI, dalam sambutannya beliau menyampaikan rasa terimakasihnya kepada ketiga narasumber, moderator, dan para peserta, serta kepada tim PKSNIK sebagai penyelenggara dari rangkaian FGD Epistemologi Islam, tema FGD Seri kedelapan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan apakah akan ada pertentangan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan atau justru dengan keberadaan ilmu pengetahuan semakin
menguatkan eksistensi Tuhan dan menguatkan tingkat keimanan.
Memasuki acara inti yaitu pemaparan materi oleh ketiga narasumber yang dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang di moderatori oleh Bapak Mohamad Ghozali Moenawar, Lc., M.M., selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia.
Materi pertama disampaikan oleh Prof. Ahmad Najib Burhani, M.A., M.Sc., Ph.D., yang menjelaskan materinya dalam tiga bagian yakni posisi agama dalam konteks ilmu humaniora secara umum, kemudian melihat posisi dari ilmu sosial humaniora di dalam konteks arsitektur ilmu pengetahuan Indonesia dan terakhir keagamaan di dalam arsitektur ilmu pengetahuan. Beliau juga menjelaskan tentang beberapa evolusi studi agama yang ada di dalam masyarakat Barat terutama di Amerika Serikat bahwa pertumbuhan studi tentang Islam menjadi sangat inggi setelah kejadian 9/11, dimana tahapan awal studi Islam yang ada di masyarakat Barat adalah studi yang bersifat historis dan pengetahuan dasar (bahasa, dsb), fase atau tahapan kedua adalah The Text-based analysis dan fase ketiga adalah Area Studies yang menghasilkan adanya studi tentang Timur Tengah, dalam pemaparannya beliau juga menunjukkan beberapa judul buku yang digunakan untuk studi tentang Islam yang ada di Barat serta para tokoh yang menulisnya.
Pemaparan materi kedua oleh Dr. K.H. Muhammad Aunul Abied Shah, M.A., dalam pemaparannya beliau menyampaikan bahwa Univeritas Al-Azhar Kairo Mesir merupakan universitas terkemuka yang juga difungsikan sebagai lembaga dakwah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang berarti Universitas Al-Azhar menganut fikih empat mazhab, berakidah asy’ariyah makuriah, dan menjalani suluk sufi sebagaimana yang digariskan oleh Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghozali. Dalam perkembangan selanjutnya, Universitas Al-Azhar membuka diri terhadap pembaharuan-pembaharuan dan pemikiran baru yang datang dari umat Islam itu sendiri, Universitas Al-Azhar Kairo bukan perguruan tinggi riset melainkan lebih sebagai lembaga pengajaran ilmu agama dan sains Islam, sebagai lembaga pengajaran Universitas Al-Azhar mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah terkodifikasi melalui proses verifikasi yang panjang dan berkesinambungan menurut para ahlinya bukan memfokuskan pada inovasi-inovasi baru yang dianggap belum memberikan kepastian dan keyakinan. Ada dua semboyan yang selalu diangkat oleh para professor di Al-Azhar bahwa “belajar agama harus mempunyai guru, siapa yang belajar agama tanpa guru setan lah yang menjadi gurunya”
Salah satu kriteria yang banyak diangkat oleh para professor di Al-Azhar adalah dalam belajar agama harus mempunyai “matarantai” transmisi keilmuan yang menjelaskan bahwa pemahaman agama yang didapatkan bersambung secara terus menerus dari guru, para sahabat nabi, dan Nabi SAW, di Al-Azhar memiliki budaya saling menghormati spesialisasi masing-masing, meskipun dikenal sebagai universitas yang memiliki konsentrasi kuat terhadap ilmu agama Islam klasik, Al-Azhar tetap membuka diri terhadap bidang ilmu pengetahuan lain, bertolak dari sebuah paradigma pandangan dunia Islam yang memandang segala sesuatu secara komprehensif (saling melengkapi tidak mendistingsi) bahwasanya agama meliputi segala aspek kehidupan, ilmu bukan hanya sekedar datang dari perantaraan wahyu tetapi sebagaimana ditegaskan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari bahwa ilmu pengetahuan mempunyai sumber-sumber lain seperti persepsi inderawi dan kontemplasi rasional.
Berdasarkan pengalaman beliau, pendidikan agama Islam di Universitas Al-Azhar menganut pandangan dunia yang memandang hubungan antara sains dan agama adalah hubungan yang integralistik.
Permasalahan yang timbul apabila agama tidak bisa menjadi inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dilihat dengan berkaca dari sejarah Al-Azhar sendiri maka akan didapatkan bahwa penghambat utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah faktor-faktor politik yaitu penjajahan asing dan despotisme penguasa setempat.
Topik pembahasan ketiga dipaparkan oleh Dr. Syamsuddin Arif, MA., dalam pemaparan materinya beliau menyampaikan pengalaman dan pengamatannya terhadap kedudukan agama di perguruan tinggi khususnya di University of Frankfrut Jerman serta IIUM dan ISTAC Malaysia yang tentu saja ada irisan-irisan dan juga perbedaan-perbedaan.
Beliau memaparkan bahwa Jerman merupakan negara yang menganut paham sekuralisme, sehingga perguruan tinggi di Jerman pun menganut prinsip sekularisme, dimana hal ini dibenarkan oleh Prof. Dr. Wolfgang Huber dari Institute for Public Theology, Berlin yang mengatakan dengan tegas bahwa di Jerman memang berada di negara sekuler, tetapi tidak berarti masyarakat Jerman mengikuti paham ini. Posisi agama di Universitas Frankfurt dapat dilihat dengan adanya dua fakultas agama yakni Fakultas Teologi Katolik yang terdiri dari beberapa prodi yakni prodi komunikasi agama, filsafat agama, etika sosial dalam urusan kesehatan, dan teologi antar budaya.
Yang kedua Fakultas Teologi Protestan yang terdiri dari beberapa prodi di antaranya prodi perjanjian lama dan baru, teologi sejarah, teologi sistematis, teologi praktis dan pendidikan agama.
Di Universitas Frankfurt agama dikaji sebagai objek dengan melakukan pendekatan ilmiah, agama Islam dipelajari sebagai budaya di fakultas ilmu Bahasa dan Budaya pada program studi orientalisches (orientalistik) Seminar di prodi inilah ditemukan kajian tentang filsafat Islam, teologi Islam, tasawuf dsb, tetapi prodi ini kemudian ditutup dan diganti menjadi prodi Islamische Studien.
Studi Islam di departemen orientalistik sebenarnya sudah lama sejak tahun 1915 tetapi ditutup pada tahun 2010, perubuhan kebijakan ini diputuskan pada tahun 2007 oleh kementrian Pendidikan dan kebudayaan negara bagian Hessen yang memutuskan untuk prodi orientalistik dipindahan ke Universitas Marburg. Sesudah ditutup didirikan Institue Fur Studien der Kultur und Religion des Islam, diprodi inilah menjadi pusat studi Islam di Universitas Frankfurt. Posisi teologi, juga dibahas oleh para sarjana disana dan menjadi perdebatan apakah masih perlu dipertahankan atau tidak.
Kemudian beliau juga memaparkan posisi agama dalam ilmu pengetahuan di Malaysia dual lembaga pendidikan yakni IIUM dan ISTAC, dua Lembaga ini adalah pengejawantahan hasil dari konferensi pendidikan di Mekkah pada tahun 1977 yang mengeluarkan gagasan bahwa umat Islam perlu memiliki universitas Islam, beliau juga menjelaskan bagaimana ilmu agama Islam berkembang di dua lembaga tersebut dengan mengutip pemikiran para tokoh yang diantaranya Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Dr. Abdul Hamid AbuSulayman, Ismail Raji Al Faruqi.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab, di sesi ini peserta baik Dosen UAI maupun peserta umum sangat antusias dalam memberikan pendapatnya serta mengajukan beberapa pertanyaan kepada para narasumber.
Diskusi ditutup dengan closing remark dari kepala PKSNIK, Prof. Dr. Nurhayati Djamas, M.A., M.Si., beliau menjabarkan pendekatan integrasi ilmu yang dilaksanakan di UAI sendiri, beliau juga menjelaskan bagan kerangka integrasi yang dijalankan di UAI, dan menjelaskan bahwa di UAI itu sendiri tidak melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tetapi mencari kebenaran melalui pendekatan theoantoposentris yang di dalamnya terdapat dua dimensi yakni dimensi illahiah yang menjadi kerangka pikir dan dimensi insaniah, yang menghasilkan integrated knowledge melalui riset-riset, terakhir beliau menyampaikan rasa terimakasihnya kepada ketiga narasumber, moderator dan khususnya para peserta yang hadir dan berpartisipasi di acara FGD Epistemologi Islam seri kedelapan hari ini.
Acara ditutup dengan pembacaan do’a Bersama. Semoga FGD Seri kedelapan ini bermanfaat dalam membangun konstruk pemikiran Islam lintas disiplin ilmu di UAI.[]