Muhammad Ridhwan, M.Ag.
Empat belas abad yang lalu, baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana orang lapar menghadapi meja penuh hidangan”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian seperti buih di lautan. Allah akan cabut rasa takut dari dada musuh kalian dan Allah akan mencampakkan penyakit wahn dalam hati kalian. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” Hadits ini diriwayatkan olehAbu Daud no. hadits 4297 dan Ahmad 5: 278, ditashih oleh Syaikh Al Albani.
Al-wahn adalah satu terminologi yang menjelaskan tentang sifat cinta dunia dan takut mati. Apakah cinta dunia adalah satu kesalahan? Bukankah manusia memang dihiasi dengan berbagai perhiasan dunia sebagaimana dalam QS. Ali Imran [3]: 14. Ayat ini menjelaskan bahwa adalah manusiawi ketika seseorang itu cinta akan hal-hal yang disebutkan yakni berupa wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta benda (emas, perak), kendaraan pilihan, dan sawah/lading (investasi). Namun di akhir ayat, Allah menegaskan bahwa Allah adalah tempat kembali.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah –murid Ibnu Taimiyyah – mengatakan: “Cinta terhadap dunia adalah induk segala kesalahan serta perusak agama.” Mereka yang terpesona dengan hiruk pikuk kehidupan dunia tentulah sangat mengagungkan dunia ini, sehingga dapat memalingkan dirinya dari kecintaan kepada Allah SWT. Lalu ia akan terjerembab, jatuh ke dalam kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan keindahannya, lupa akan tujuan penciptaan. Bukankah manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah? Rujuklah kembali QS. Al-Dzariyat [51]: 56, Dan tidaklah kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.
Dalam QS. Hud [11]: 15-16, Allah menjamin kehidupan mereka yang mengejar dunia. Maka jangan tertipu dengan keindahan dunia, karena dunia adalah permainan dan senda gurau. Akhirnya mari kita renungkan kembali hadits Nabi SAW. Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai empat hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan. HR. Ibnu Hibban dan Tirmidzi. Semoga kita dapat kembali merenungkan tujuan penciptaan dan tidak terpedaya dengan hiruk pikuk dan gemerlap kehidupan dunia ini, semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung. [RD]