Menelaah Ilmu Membangun Peradaban

Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja

Manusia dan Hakikat Rasionalitas Akal

Manusia berkembang mengikuti perkembangan alam, ia tumbuh sebagaimana alam itu tumbuh. Kemajuan peradaban menuntut manusia untuk menggunakan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk mampu bertahan dan membangun sebuah kehidupan yang semakin baik. Perkembangan manusia ikut pula mempertajam konsep-konsep yang ia telah bangun selama ini. Bahwa pengetahuan manusia semakin tajam dan beragam, mencoba untuk menguak segenap rahasia yang Allah hamparkan di penjuru semesta alam.

Ilmu menjadi sebuah bekal utama untuk membangun sebuah kehidupan yang lebih dan baik dari apa yang telah dicapai manusia sebelumnya. Ilmu menjadi sebuah sarana bagi manusia untuk menguak hakikat-hakikat dirinya, alam semesta, hingga menguak eksistensi Tuhan. Mnausia tidak pernah merasa puas untuk selalu menggali pengetahuan, mengasahnya hingga mempertajamnya. Akalnya tidak pernah merasa puas atas apa yang sudah diperolehnya selama ini, dan ia ingin terus dan merasa selalu haus akan semua rahasia yang ada dihadapannya.

Kini manusai kemudian bertanya secara mendalam: hingga batas apa kita perlu menghentikan laju keingintahuan ini? Hingga sampai kapan kita selalu ingin mengetahui segala yang ada? Rupanya pertanyaan sederhana ini memiliki jawabannya tersendiri, bahwa keingintahuan atas rahasia semesta ini tidak pernah terhenti. Bahwa akal sebagai pemberian Allah terus megajak manusia untuk terus mempertanyakan sistem kerja yang telah dibangun olehNya. Rupanya akal sebagai sebuah cahaya yang mencerahkan manusia  pada satu titik tertentu juga mengalami beberapa keterbatasan di dalam metode rasionalitasnya. Ia hingga kini tidak mampu menjawab beragam problematika penderitaan manusia yang tiada henti.

Peperangan yang terjadi sejak era Yunani, Romawi, Perang Salib, hingga terciptanya Perang Dunia II yang menimbulkan penderitaan bagi jutaan manusia adalah juga hasil kerja akal. Akal telah secara sengaja menciptakan senjata yang lebih efisien dan efektif untuk memusnahkan peradaban manusia. Mulai panah hingga terciptanya bom atom hingga nuklir yang lebih efektif memusnahkan manusia. Kemajuan teknologi juga tidak mampu menjawab munculnya kemiskinan dan penderitaan manusia. Manusia terus menciptakan beragam alat, tetapi pada saat yang bersamaan ia tak mampu menciptakan kebahagiaan dengan rasionalitas akalnya.

Industri farmasi dunia juga terus memacu diri untuk menciptakan beragam obat yang dapat digunakan menyembuhkan beragam penyakit, tetapi pada saat yang bersamaan juga muncul beragam penyakit baru. Kekuasaan dan kehendak rasionalitas akjal sehat manusia mendapat tantangan semakin tajam atas munculnya beragam pandemic sejak munculnya Wabah Black Death di Abad Pertengahan, wabah Pandemi Flu Spanyol 1918, hingga kini muncul wabah Covid -19 yang telah menimbulkan penderitaan dalam peradaban manusia.

Rasionalitas akal manusia kini seakan terhenti dan terdiam dengan semakin kuatnya virus ini menghancurkan satu persatu system hidup manusia, tidak saja kesehatan tetapi hingga sistem ekonomi manusia modern. Manusia yang kini dipaksa bekerja dalam rumahnya, dibatasi dalam gerak sosialnya, telah terkungkung oleh hadirnya Covid-19. Kita kini kembali bertanya: kemanakah rasionalitas akal manusia yang selalu kita dengungkan sekaligus kita banggakan selama ini? Dimanakah keagungan akal itu kini berada?

Mencari & Membangun Peradaban Spiritual

Manusia kini perlu mendayagunakan kemampuan lainnya yang diberikan Allah, ia perlu menilik kepada kemampuan intuitif irfani untuk mempertahankan peradabannya dari kepunahan. Manusia perlu mencoba menggali kembali kemampuan metafisika yang terpendam, bahwa kita menyadari akal memiliki keterbatasan gerak langkah dalam menguak segala yang ada.

Irfani sebagai sebuah metode untuk menguak kebenaran, merupakan kemampuan terdalam manusia dalam menggali makna-makna kehendak Allah yang tak terbaca oleh empirisme pancaindera dan rasionalitas akal. Bahwa gerak semesta selalu berkait dengan apa yang Allah kehendaki, dan untuk itu manusia kini menelaah sejauhmana ruang intuisinya mengarahkan dirinya pada kemampuan untuk mengetahui dan memahami apa yang Allah kehendaki.

Bahwa Allah memiliki kehendak yang tak terbaca rasionalitas akal, yang itu hanya dapat diterima sebagai sebuah kehendak yang hanya dapat difahami oleh intuisi. Mendayagunakan kemampuan intuitif dengan metodologi irfani tidaklah menghapus peran akal dalam diri manusia. Kemampuan akal kini mendapat penguatan dengan mendayagunakan kemampuan batiniyah terdalam manusia. Metode ini membangkitkan kembali jiwa spiritualisme terdalam manusia untuk membaca kehendak-kehendak Allah dalam bentang alam semesta.

Bahwa metode ini mencoba menggetarkan kalbu manusia, sebuah pencapaian melalui kalbu manusia yang tersinari oleh cahaya Allah yang didasarkan oleh kecintaan kepadaNya (Nasrullah, 2013: 4). Metode ini tampaknya lebih berkarakter eksklusif, karena ia hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang menjalani proses pembersihan dan penyucian jiwa (Qs.[91]:9-10). Walaupun tampaknya berkarakter eksklusif, akan tetapi metode irfani bukan hal yang tidak mungkin dicapai oleh manusia. Membutuhkan sebuah proses yang tidak mudah, akan tetapi ia menjadi sebuah sarana untuk memahami rahasia yang tak terkuak oleh nalar rasionalitas akal manusia.

Metode irfani ini sangat mengutamakan keunggulan akhlaq melalui metode pembersihan jiwa manusia (al-Bustomi,t.t.)sebuah hal yang kini sudah jarang diperhatikan dalam proses metode pencarian kebenaran dalam arus modernitas manusia. Meletakkan metodologi Irfani, (salah satu bentuk nyata adalah dengan menggunakan pendekatan metodologi ilmu tasawwuf), maka manusia membersihkan serta membangkitkan jiwa spiritualnya dengan mendekatkan diri kepadaNya secara penuh. Sebuah metode untuk memahami melalui pendekatan qalbu (Ryandi, 2015).

Terdapat sebuah kekuatan untuk memahami semesta selain kekuatan rasionalias akal, yaitu melalui kekuatan jiwa spiritualitas manusia. Bahwa sebuah kebenaran tidak semuanya dapat ditampung dan diterima oleh rasionalitas akal semata seperti yang dianut oleh kaum paripatetik, melainkan juga jiwa spiritualisme manusia terdalam untuk memahami setiap kebenaran yang terhampar di hadapan manusia. Disinilah hakikat terdalam manusia yang berhimpun dalam kesatuan yang selalu melekatkan dirinya pada kehendakNya dalam sebuah peradaban spiritual.

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfal [8]: 17)