Nilai Luhur Islam Dalam Budaya Korporat UAI

Muhammad Ridhwan, M.Ag.

Era revolusi industri 4.0 — yang ditandai dengan ketatnya persaingan antarperusahaan — menuntut dunia usaha dapat berinovasi baik atas produk, proses dan inovasi lainnya. Tak jauh berbeda dengan dunia korporat, dunia pendidikan tinggi pun bersaing sedemikian ketatnya. Perguruan tinggi –baca: universitas — dituntut memiliki daya saing yang tinggi. Para pengelola universitas harus memutar otak agar tidak hanya keunggulan akademis saja yang mereka miliki namun juga harus memiliki kekhasan atau keunikan yang akan menjadi pembeda dari universitas lainnya. Diharapkan dengan kekhasan tersebut, universitas dapat meningkatkan nilai jual dan memiliki pangsa pasar yang jelas.

Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) sebagai satu-satunya universitas yang lahir dari masjid tentulah menjadikan nilai-nilai Islam sebagai nilai dasar yang menjiwai gerak dan langkahnya. Rokeach – satu dari sekian banyak psikolog sosial – menjelaskan definisi tentang nilai adalah keyakinan abadi (enduring belief) yang dipilih oleh seseorang/sekelompok orang sebagai dasar untuk bertindak (mode of conduct) atau sebagai tujuan akhir tindakannya (end state of existence). Nilailah yang menjadi penggerak dalam beraktifitas. Lalu nilai-nilai tersebut dikristalisasi menjadi satu budaya yang kita kenal sebagai budaya korporat. Hal senada juga disampaikan oleh sarjana-sarjana lainnya seperti Allport, Vernon and Lindzey (1960), Kluckhohn (1951), Williams (1968), mereka melihat nilai-nilai sebagai motivasi yang tak nampak yang menjadi petunjuk, membenarkan, dan menjelaskan sikap-sikap, norma-norma, pendapat-pendapat dan tindakan-tindakan. Setiap orang ataupun organisasi pastilah memiliki sistem nilai yang unik.

Selain nilai-nilai dasar tersebut, UAI juga memiliki keunikan lain yang dikenal dengan 7 Elemen Dasar. Tujuh elemen dasar ini menjadi senjata pelengkap yang harus dijiwai oleh setiap insan UAI. Lantas bagaimana menanamkan nilai-nilai dasar dan tujuh elemen dasar sehingga dapat menjadi budaya di kalangan civitas akademika UAI?

Budaya Korporat UAI

UAI sebagai an Enterprising University menjadikan tiga unsur utama dari enterprising sebagai budaya organisasinya. Excellent dimaknai sebagai sifat yang selalu mengejar keunggulan. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk mengejar keunggulan, Hayya ‘alal falaah merupakan cerminan budaya seorang muslim yang senantiasa mengejar keunggulan/kemenangan. Equity diartikan sebagai dasar pelaksanaan langkah yang selalu memperhatikan ke-adil-an. Sedangkan entrepreneurship sebagai unsur yang ketiga diartikan sebagai naluri kewirausahan atau dalam bahasa Prof. Harsono sebagai naluri ‘keber-ikhtiar-an, naluri untuk selalu berusaha. Keberanian UAI menegaskan identitas korporatnya dengan slogan an enterprising university bukanlah hanya gagah-gagahan semata. UAI langsung memberikan contoh konkrit sebagai universitas yang menerapkan prinsip-prinsip entrepreneurial dalam proses pembangunan gedung universitas kala itu.

Stephen R. Covey menulis “There is no such thing as corporate culture or organization behavior – only personal behavior reflected and repeated throughout an organization” lalu dipertegas lagi dari definisi yang dirumuskan oleh Yaumil C.A. Achir bahwa corporate culture is a set of value, beliefs and behavior pattern that form the core identity of an organization, hold in common by its members (as individual, sub ground or group), and that they use as behavior and work-problem solving guides.

Pada tahun 2009, Djokosantoso Moeljono, Wakil Rektor III UAI mengetuai tim penyusunan Budaya Korporat yang beranggotakan (alm) Palgunadi T. Setyawan, Murni Djamal, dan (alm) Harsono Wiryosumarto untuk merumuskan budaya korporat UAI yang diambil dari berbagai kajian. Tim ini melakukan kajian dan riset yang tidak bisa dikatakan sederhana, bahkan sampai menerapkan prinsip-prinsip penyusunan budaya sebagaimana yang diterapkan atau diajarkan oleh organisasi/lembaga yang dibentuk Pak Djokosantoso — baca: Narayya Pusat Pengembangan Budaya Organisasi dan Kepemimpinan–.

Budaya korporat yang telah dirumuskan tim tersebut diinternalisasi melalui sifat-sifat yang ditanamkan pada sivitas akademika. Terdapat empat model yang ditanamkan, yakni sifat Rasul yang harus diteladani, sifat manusiawi yang harus dihayati, sifat siaga diri yang harus dimiliki, dan terakhir tujuh elemen dasar yang harus dijiwai. (lihat gambar visualisasi proses)

Semua sifat Rasul yang wajib diteladani, sifat manusiawi yang perlu dihayati, sikap siaga yang harus dimiliki termasuk tujuh elemen dasar yang harus dijiwai ditempuh dalam proses pembudayaannya, sehingga akan terefleksilah budaya UAI yang unggul adil dan ikhtiar dalam hidup dan kehidupan civitas akademika UAI.

Sifat Rasul yang harus diteladani

Di banyak literature kita mengetahui bahwa ada 4 Sifat Rasul yakni Shiddiq (bertindak benar atau berkata jujur), Amanah (Percaya/Dipercaya), Tabligh (menyampaikan kebenaran), dan Fathanah (cerdas). Sifat-sifat ini banyak menjadi landasan sifat atau nilai dasar diberbagai organisasi bahkan dunia korporat.

Shiddiq (bertindak benar)

Fethullah Gulen dalam menjelaskan tentang sifat Shiddiq ini sebagai sifat yang melekat pada Nabi. Bahkan ketika menjelaskan keutamaan Nabi, al-Qur’an menyebutkan sifat yang satu ini.

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَـٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًۭا نَّبِيًّا

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang shiddiq (yang sangat membenarkan) lagi seorang Nabi.” QS. Maryam [19]: 41 dalam redaksi yang berbeda, al-Qur’an menceritakan bahwa shiddiq juga sifat yang dilekatkan pada Nabi Ismail yakni dalam QS. Maryam [19]: 54.

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَـٰبِ إِسْمَـٰعِيلَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًۭا نَّبِيًّۭا

Pada ayat 54 ini Allah menggunakan redaksi shadiq al-wa’d (orang yang benar janjinya). Masih di surat yang sama, pada ayat 56, al-Qur’an menceritakan tentang Nabi Idris as yang disebutkan sebagai seseorang yang sangat membenarkan (shiddiq). Begitu pun dalam menceritakan tentang kisah Yusuf as, al-Qur’an juga menggunakan redaksi as-shiddiq (orang yang amat dipercaya) yang disandangkan kepada Nabi Yusuf as.

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَـٰبِ إِدْرِيسَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًۭا نَّبِيًّۭا

Dan Allah menyeru kepada seluruh orang yang beriman untuk berlaku shiddiq. Sebagaimana dinyatakan dalam QS. At-Taubah [9]: 119 “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (as-shadiquun). “

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّـٰدِقِينَ

Bahkan Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah adalah orang-orang yang shadiq. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” QS. al-Hujurat [49]: 15.

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَـٰهَدُوا۟ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّـٰدِقُونَ

Rasulullah SAW sebagai figur kejujuran, beliau juga mengajak orang lain untuk bersikap jujur. Pernah beliau bersabda, Jaminlah enam hal dari diri kalian, maka aku akan menjamin surga untuk kalian: jujurlah ketika berbicara, tepatilah ketika berjanji, laksanakan ketika diberi amanat, jagalah kemaluan kalian, tundukkan pandangan kalian, dan kendalikanlah tangan kalian.”

Di hadits yang lain dikatakan, “Tinggalkanlah

apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya sifat jujur itu menenangkan, sedangkan dusta membuat gelisah.”

Rasulullah SAW juga bersabda, “Hendaklah kalian bekerja jujur, karena ia menuntun ke arah kebajikan; sementara kebajikan menuntun ke arah surga. Ketika seseorang selalu bersikap jujur sampai sifat itu menyatu dengan dirinya maka akhirnya dia pun akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang shiddiq. Hendaklah kalian menjauhi dusta, karena ia menuntun ke arah kejahatan, sementara kejahatan menuntun ke arah neraka. Ketika seseorang selalu berdusta sampai sifat itu menyatu dengan dirinya maka akhirnya dia pun akan ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Dan tidak diragukan bahwa sejak dilahirkan, Rasulullah memang telah menjadi sosok yang sangat jujur, terpecaya, dan terpilih. Itulah sebabnya orang-orang langsung menyatakan beriman kepada risalahnya setelah Rasulullah mengumumkan kenabian beliau.

Selain diartikan sebagai bertindak benar, shiddiq juga diartikan jujur, baik jujur dalam ucapan, sikap dan tindakan.

Implementasi sifat shiddiq dalam kehidupan kampus

Setelah mengetahui bagaimana pentingnya sifat shiddiq ini, perlulah dirumuskan bagaimana mengimplementasikan sifat ini dalam hidup dan kehidupan civitas akademika UAI. Sivitas akademika diharapkan dapat berlaku jujur dalam kesehariannya. Para staf dan karyawan harus mengutamakan sifat ini sehingga tujuan Good University Government dapat direalisasikan. Para mahasiswa dituntun untuk berlaku jujur dan tidak melakukan tindakan-tindakan manipulative. Jujur saat pelaksanaan ujian dengan tidak mencontek, jujur dalam penyusunan karya tulis sehingga tidak melakukan plagiat, atau menghilangkan budaya titip absen kepada teman, tidak melakukan pemalsuan data, hal-hal tersebut merupakan sebagian contoh sikap jujur yang dapat ditanamkan kepada mahasiswa.

Dengan menjadikan perilaku jujur ini sebagai budaya korporat, integritas civitas akademika UAI dapat dipertanggungjawabkan. UAI dapat menciptakan insan akademis berintegritas.[]