Bermental Kaya

Dari Zaid bin Tsabit ra beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“. (HR. Ibnu Majah)

Adalah suatu kewajaran bagi manusia untuk selalu mengejar harta karena manusia dihiasi dengan kecintaaan terhadap harta kemewahan. QS. Ali ‘Imran [3]: 14 mengindikasikan bahwa Allah menghiasi manusia dengan kecintaan terhadap wanita, anak-anak, harta benda berupa emas dan perak, kendaraan, dan sawah ladang atau binatang ternak.

Potensi manusia yang selalu mengejar kesenangan duniawi sering kita dengar berdalih ajaran agama. Banyak yang beralasan bahwa dengan menjadi orang kaya, mereka dapat membantu sesama dengan zakat harta, dapat melaksanakan haji, berpakaian yang bagus ketika beribadah ke masjid, dan berbagai alasan lain yang melegitimasi perlunya mereka mengejar duniawi/harta. Ada pula yang menyandarkan perlunya menjadi orang kaya adalah karena perintah jihad yang pertama adalah dengan harta, baru diikuti dengan jiwa.

Namun Islam juga memberikan panduan dan rambu-rambu dalam mencari harta misalkan adanya perintah untuk selalu mengejar harta yang halal dan baik, tidak berbuat zolim, tidak berlaku gharar, dan berbagai perilaku positif lainnya yang menjadi dasar muamalah. Dan Islam pun mengajarkan agar kita tidak menjadikan harta sebagai tujuan karena harta dapat memperdaya manusia. Harta hanya sebagai sarana untuk menyempurnakan ibadah bukan dijadikan tujuan hidup apalagi dijadikan berhala yang dipuja.

Islam mengajarkan umatnya agar menjadi orang yang bermental kaya, yaitu orang yang menguasai harta kekayaan di tangannya bukan di hatinya. Karena jika ia memiliki harta di tangannya, ia dapat membagikan kepada siapa pun yang inginkan, namun jika ia memiliki kaya di hatinya ia akan diperbudak oleh harta tersebut. Figur seperti ini kita dapati dari Sahabat Rasulullah yakni Abdurrahman bin Auf. Begitu hebatnya Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat yang kaya raya lagi termasuk dari sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW. Abdurrahman bin Auf adalah sosok panutan. Seorang sahabat yang kaya raya, namun bisa mengendalikan harta kekayaan, bukan sebaliknya, harta kekayaannya yang mengatur dirinya. Inilah yang dimaksud dalam doa ‘jadikan dunia di tangan dan jangan jadikan dunia di hati’.

Abdurrahman bin Auf memberi keteladanan agar kita hanya bergantung kepada Allah SWT. Dalam berbisnis, ia selalu menyandarkan diri kepada Allah SWT. Ia adalah seseorang yang selalu bersedekah, bahkan sahabat Usman bin Affan ra –yang dikenal sebagai saudagar yang kekayaannya masih ada sampai saat ini – sekali pun pernah menerima pembagian harta dari Abdurrahman bin Auf. Ia tidak pernah merasa berat hati untuk membagikan hartanya kepada orang lain. Ia sadar bahwa harta kekayaan yang dimiliki hanya sekadar titipan Allah SWT. Ia pun adalah sosok sahabat yang hidup sangat sederhana, walaupun kekayaannya melimpah. Tidak boros dan tidak suka berfoya-foya. Hatinya tidak pernah cenderung kepada harta tersebut. Ia tidak pernah diperbudak oleh hartanya. [al-faqir]