Tata Septayuda Purnama, S.S., M.Si.
Lulusan dari upaya proses integrasi ini, yakni berilmu–amaliah, karena esensi memiliki ilmu adalah pengamalan. Juga, lulusan ini memiliki wawasan beramal–ilmiah, karena amalnya berdasarkan ilmu.
Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era revolusi industri 4.0, memunculkan gejala artificial intelligence, yang berkonotasi serba digital dalam pola kehidupan masyarakat. Kompleksitas berdasarkan kecerdasan buatan itu, dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran sebuah bangsa pada sektor pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Pada era ini dapat disaksikan perubahan pola hidup manusia yang bergantung pada teknologi. Perubahan tersebut, selain membawa hal-hal positif bagi kehidupan manusia, juga memiliki kecenderungan negatif yang berimplikasi pada dehumanisasi dan despiritualisasi.
Institusi pendidikan sebagai tempat menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan profesional dan keahlian sesuai bidangnya, harus bertarung dengan perkembangan teknologi yang semakin unpredictable. Azyumardi Azra (2016) menyebut perubahan yang berlangsung sangat cepat pada abad ini mengharuskan respon cepat pula dalam bidang pendidikan Islam. Respon perubahan itu menyangkut filsafat pendidikan, kurikulum, lembaga, manajemen, SDM, dan metode pembelajaran, sehingga menjadi goal pendidikan Islam yang progresif.
Ungkapan tersebut dipahami bahwa perkembangan teknologi telah berhasil mewadahi ilmu pengetahuan dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain perkembangan teknologi itu belum menjamin moralitas luhur yang selama ini menjadi perhatian serius pendidikan Islam. Dalam konteks ini penulis mendasarkan pada pendapat H.P. Daulay (2004) yang menyebutkan bahwa pendidikan Islam terbagi dalam tiga ciri. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya lembaga pendidikan Islam secara eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai bidang studi diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran wajib yang diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (velue) yakni ditemukannya nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan.
Tradisi Intelektual Islam
Di Indonesia, perguruan tinggi (keislaman) negeri ataupun swasta masih belum kokoh memelopori fakultas-fakultas sains dan humaniora yang berbasis epistemologi Islam. Sebab, ada beberapa kendala untuk mewujudkan itu. Pertama, karena masalah SDM yang belum memadai, yaitu dosen yang mengerti sains dan pada saat yang sama juga mengerti ilmu-ilmu keislaman. Kedua, karena masalah dana, yaitu dana untuk mengadakan laboratorium sains yang pada umumnya cukup mahal. Yang kedua lebih bersifat teknis dan dapat diatasi asal kecukupan anggaran. Namun untuk mencetak doktor-doktor yang memiliki kedua bidang ilmu secara simultan belum ada wadah lembaga pendidikannya (Zarkasyi, 2010). Jika pun ada universitas berlabel Islam, namun basis epistemologinya belum dilarutkan pada kajian keislaman. Bahkan ekonomi syariah atau ekonomi Islam saat ini belum lahir sebagai disiplin ilmu yang utuh. Jika kedua halangan ini dapat diselesaikan, diharapakan nanti lahir sarjana-sarjana studi Islam yang integratif.
Sebagaimana ditulis Marshall G.S. Hodgsondalam The Venture of Islam (2002), aspek yang kerap dijadikan standar kesuksesan peradaban Islam adalah pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Baghdad merupakan pusat rujukan ilmu pengetahuan dunia karena sarjana muslim saat itu, telah memelopori karya-karya fenomenal dari kedokteran, matematika, dan khususnya astronomi. Kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, ditopang pula oleh berdirinya perpustakaan besar Islam pertama dan lembaga bernama Bayt al-Hikmah. Di era digital sekarang, justru masyarakat lebih mudah memperoleh informasi tanpa perlu datang ke gedung perpustakaan, namun persoalannya bagaimana meningkatkan daya baca di tengah gempuran informasi multimedia yang melanda masyarakat kita?
Secara historis, Islam memainkan peranan penting bagi perkembangan ilmu, bahkan memiliki sistem pendidikan yang paling terkemuka di belahan dunia pada abad pertengahan tersebut. Situasi ini mestinya menjadi role model pendidikan Islam, bahwa beberapa institusi di dunia Islam menjadi pusat unggulan bagi kemajuan dan perkembangan sains. Para ilmuwan muslim tidak hanya mengadopsi warisan Yunani helenistik dan tradisi ketimuran, tetapi juga telah berjasa mengantarkan sains dan ilmu pengetahuan kepada kemajuan dan perkembangan yang sangat mengagumkan.
A.M. Saefuddin dalam bukunya, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi (1998), membagi pengetahuan dalam tiga kelompok, yakni; pertama, pengetahuan inderawi (knowledge). Pengetahuan ini meliputi semua fenomena yang dapat dijangkau secara langsung oleh pancaindera. Batas pengetahuan ini ialah segala sesuatu yang tidak tertangkap oleh pancaindera. Pengetahuan indera ini merupakan tangga untuk melangkah ke ilmu. Kedua, Pengetahuan keilmuan (science), meliputi semua fenomena yang dapat diteliti dengan riset dan eksperimen, sehingga apa yang berada dibalik knowledge bisa terjangkau. Batas pengetahuan ini ialah segala sesuatu yang tidak terjangkau lagi oleh rasio dan pancaindera. Ketiga, pengetahuan falsafi, mencakup segala fenomena yang tidak dapat diteliti, tapi dapat dipikirkan. Batas pengetahuan ini ialah alam, bahkan juga bisa menembus apa yang ada di luar alam, misalnya Tuhan.
Belajar dari tradisi intelektual Islam, ketika umat muslim menghadapi ide-ide asing, mereka selalu integrasikan ke dalam khazanah pemikiran Islam. Di sini, terdapat perbedaan antara ulama masa lalu dan pemikir muslim sekarang dalam menghadapi situasi seperti ini. Di masa lalu ulama berkedudukan sebagai pembimbing dalam proyek penelitian ilmiah, sedangkan pemikir Muslim sekarang dianggap sebagai pengikut yang menjadi korban paradigma peradaban Barat. Hasilnya, ilmuwan Muslim kini tidak mengintegrasikan ide-ide asing dengan pengetahuan turats Islam. Melainkan hanya menerima pengetahuan dari peradaban asing tanpa proses seleksi yang ketat (Zarkasyi, 2010). Apalagi setelah abad kesembilan belas, ketika pemikiran sekularisme mulai masuk ke ranah pendidikan Islam. Pemerintahan Muslim membangun sekolah-sekolah dengan model Eropa. Tujuan awalnya adalah untuk mengatasi keterbelakangan Muslim dan untuk mendapatkan apa yang telah dicapai oleh para intelektual Eropa. Akibatnya umat Islam memiliki dua model pendidikan; lembaga pendidikan yang sekular dan lembaga pendidikan yang agamis.
Non-dikotomi
Sedianya konsep yang belakangan disebut integrasi ilmu, nyatanya telah terwujud lama semenjak Muhammad Saw diutus sebagai Nabi dan Rasul lebih 1.400 tahun yang lalu. Dalam masa turunnya wahyu selama 23 tahun, baginda Rasulullah telah mengubah paradigma jahiliyyah pelbagai sudut kehidupan manusia ke prinsip rabbaniyyah dan tauhid kepada Allah Swt. Proses keutuhan ilmu keislaman lebih tampak pada era pemerintahan Abbasiyah ketika kegemilangan Islam memuncak. Sarjana-sarjana Islam pada zaman tersebut diberi amanah dan kepercayaan untuk menerjemahkan dan mengembangkan karya-karya Yunani ke dalam Bahasa Arab. Pada masa-masa awal Islam, diskursus keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi sehingga mampu memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan dunia di masa-masa sesudahnya.
Ironisnya, senada diungkapkan N.F. Nasir (2008) ketika ilmu-ilmu sekular diperkenalkan ke dunia Islam (Indonesia) lewat imperialisme Barat, terjadilah dikotomi yang sangat kentara antara ilmu-ilmu agama yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di satu pihak; dan ilmu-ilmu umum sekular sebagaimana diajarkan di lembaga pendidikan umum yang diprakarsai pemerintah di pihak lain.
Dalam pada itu, umat Islam pernah mengalami kenestapaan akibat adanya dikotomi yang berlangsung lama antara apa yang disebut sebagai rumpun “ilmu agama” dengan rumpun “ilmu umum”. Pasca-kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi abad pertengahan, dominasi umat hanya mementingkan ilmu agama dan mengabaikan ilmu umum. Akibatnya, umat Islam tertinggal dalam sains dan teknologi, sehingga negara-negara di Dunia Muslim tidak siap setelah tercapainya kemerdekaan pada masa pasca-Perang Dunia II. Padahal jauh-jauh hari, al-Quran sudah mengingatkan melalui Surah al-Qashash ayat 77 yang menyebutkan kewajiban manusia bukan hanya mencari kebahagiaan akhirat, melainkan juga ikhtiar dalam memberikan sumbangsih bagi kemaslahatan hidup di dunia.
Perpaduan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dengan nilai agama (Imtaq) akan menjadi bersifat aktif, apabila disampaikan melalui pendidikan. Karena pendidikan berfungsi melakukan pengalaman tingkah laku melalui proses belajar-mengajar, latihan dan keteladanan, yang sesuai dengan etika pendidikan agama (Saefuddin, 1998). Lulusan dari upaya proses tersebut, kata Saefuddin, yakni berilmu amaliah, karena esensi memiliki ilmu pengetahuan adalah pengamalan. Dan lulusan ini memiliki juga wawasan beramal ilmiah, karena amalnya berdasarkan ilmu.
Memang keadaan sekarang tidak mudah memadukan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi dengan nilai agama. Tetapi, hal itu tidaklah mustahil, karena cara ini –pengintegrasian nilai agama, sejak proses penemuan, pengembangan, dan pemanfaatan– akan dapat menembus substansi ilmu. Kesadaran bahwa nilai agama terangsang oleh proses industrialisasi, telah membuka perhatian kampus dan masyarakat kepada masalah bagaimana menyelamatkan ilmu dan teknologi dalam rangka menyelamatkan manusia.[]