Muhammad Ridhwan, M.Ag.
Manusia adalah makhluk yang dibekali Allah dengan akal, nalar, dan logika. Gullen menyebutkan bahwa yang dimaksud fathanah adalah ‘mengungguli akal dengan akal’. Ia menyebutkan bahwa sifat fathanah ini adalah ‘logika kenabian’ (mantiq al-nubuwwah), fathanah bukanlah sekadar ‘akal’ dan ‘logika’ yang kering. Logika kenabian ini mampu menjangkau wahyu Tuhan serta selalu terbuka bagi perasaan, hati, akal, dan falsafah yang muncul dalam bentuk esensi-esensi batiniyah (lathaif) dan hukum. Logika kenabian tidaklah sama dengan logika biasa yang dikenal umum, Gullen menyebutnya sebagai Kecerdasan Teragung, al-Fathanah al-Uzhma.
Sifat fathanah yang dimiliki para nabi memungkinkan wahyu Ilahi dapat diterima oleh umat manusia melalui apa yang kita kenal dengan agama. Sedemikian pentingnya logika kenabian (al-manthiq an-nabawi) atau kecerdasan kenabian (al-fathanah an-nabawiyah) sehingga setiap nabi memiliki sifat fathanah dan kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki para nabi mengungguli semua kecerdasan makhluk lainnya begitu pun dengan logika yang dimilikinya mengungguli semua logika makhluk, dan inilah yang kita kenal dengan istilah ‘fathanah’.
Sifat Fathanah Rasulullah SAW
Dalam sirah nabawi sering kita baca bahwa Rasulullah SAW berdialog dengan para sahabat terkait berbagai masalah. Juga dikisahkan bagaimana Rasulullah menjawab pertanyaan atau keragu-raguan orang yang baru akan masuk Islam. Apalagi dengan ahlul kitab yang tentu saja karena kedengkiannya meragukan kenabian Rasulullah.
Rasulullah pun harus berhadapan dengan berbagai lapisan masyarakat dengan tingkat kecerdasan intelektual yang berbeda-beda. Di antara mereka terdapat agamawan, cendikiawan, pengusaha atau saudagar, panglima perang, juga orang-orang dari pelosok pedesaan (badui). Dengan sifat fathanah-nya Rasulullah dapat diterima di semua kalangan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah dapat diterima oleh kemampuan nalar mereka.
Banyak sekali kisah-kisah terkait sifat fathanah yang dimiliki Rasulullah. Dikisahkan bagaimana cerdasnya Rasulullah ketika hampir terjadi pertumpahan darah dari orang-orang musyrik Mekkah ketika usai merenovasi ka’bah. Mereka berselisih tentang siapa yang paling berhak mengembalikan hajar aswad pada tempatnya semula sampai-sampai mereka akan saling bunuh. Singkat kisah, Rasulullah menengahi mereka dengan cara membentangkan sehelai kain, lalu masing-masing perwakilan qabilah memegang sisi kain tersebut, membawa dari satu tempat ke dekat ka’bah. Dan Rasulullah memindahkan hajar aswad tersebut dari kain ke tempatnya semula. Rasulullah tidak berpikir keras untuk memberikan opsi cara memindahkan hajar aswad tersebut. Rasulullah memiliki nalar dan logika melampaui daya nalar orang kebanyakan. Juga kisah tentang bagaimana masuk Islamnya Hushain, juga kisah bagaimana Rasulullah dapat berdialog dengan orang Badui, yang terekam dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Tamimah al-Hujaimi r.a sesorang sesukunya, orang itu mendatangi Rasulullah SAW; atau orang itu berkata bahwa dia melihat seseorang mendatangi Rasulullah SAW lalu bertanya,
“Apakah kau Rasulullah?” atau dia berkata “Apakah kau Muhammad?”, Ya, jawab Rasulullah. Orang itu bertanya lagi, “Kepada apa kau menyeru?”. “Aku menyeru kepada Allah semata,” jawab Rasulullah, “Yaitu Dia yang jika kau memiliki kesulitan lalu kau berdoa kepada-Nya, Dia pasti akan mengenyahkan kesulitan itu darimu. Dia yang jika kau mengalami kekeringan lalu kau berdoa kepada-Nya, Dia pasti akan menumbuhkan (tanaman) bagimu. Dia yang jika kau berada di tengah tempat asing dan kau tersesat lalu kau berdoa kepada-Nya, Dia pasti akan mengembalikanmu ke jalan yang benar. Seketika orang itu langsung masuk Islam. (Imam Ahmad, al-Musnad, 4/65, 5/64 al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, 8/72), Gulen mengomentari hadits ini bahwa dengan kesederhanaan gaya bahasa yang benar-benar tidak mengandung kecanggihan struktur kalimat seperti yang dipakai para sastrawan, ternyata cocok dengan kondisi si Badui dan langsung dapat menyentuh relung jiwanya sehingga ia harus mengakui kebenaran Islam, atau kisah bagaimana Rasulullah berdialog dengan para sahabat Anshar di Hunain.
Dari sekian banyak kisah di atas, ada satu anugerah yang diterima Rasulullah yakni apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Jawami’ al-Kalim adalah kemampuan menyusun kalimat singkat yang mengandung makna yang amat luas. Allah benar-benar menganugerahi Rasulullah dengan kemampuan bertutur kata yang sanggup membuat siapa pun yang mendengar sabda beliau akan terpana dan diam membisu. Semua yang disampaikan Rasulullah selalu enak didengar.
Rasulullah SAW sangat mengetahui pentingnya anugerah Allah yang diberikan kepadanya dalam bentuk lathifah (esensi batiniyah) dan kesadaran spiritual yang tinggi. Cobalah perhatikan sabda-sabda Rasulullah yang dapat menjawab berbagai persoalan umat dengan hanya beberapa baris kalimat. Hal ini adalah bukti kecerdasan beliau karena anugerah Allah berupa Jawami’ al-Kalim.
Mengimplementasikan Sifat Fathanah dalam Kehidupan Kampus.
Adapun perilaku atau norma tata laku yang terbentuk dari sikap fathanah ini adalah:
- Berpikir sebelum bertindak
Dengan meneladani sifat fathanah Rasulullah, sivitas akademika UAI haruslah mengedepankan berpikir sebelum bertindak. Mengedepankan logika/akal sehat daripada perasaan dan prasangka, sehingga tidak akan salah dalam melangkah atau mengambil keputusan.
- Memahami kebutuhan lingkungan dan berbuat sesuai konteks
Kecerdasan jugalah yang mendorong kita dapat memahami kebutuhan lingkungan dan berbuat sesuai konteks.
- Peka dan responsif terhadap lingkungan
Kecerdasan menumbuhkan kepekaan. Peka akan kejadian di sekitar kita dan dapat responsive dengan perilaku positif adalah sesuatu yang harus dimiliki sivitas akademika.
- Kreatif dan Inovatif
Kecerdasan sebagai satu anugerah Allah kepada manusia. Dengan kecerdasan, manusia dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kecerdasan membuat manusia dapat kreatif menciptakan hal-hal baru, bahkan menemukan inovasi baru atas sesuatu.Kecerdasan dapat menuntun sivitas akademika dalam membuat terobosan-terobosan baru untuk memudahkan pekerjaan.
Semoga kita dapat meneladani sifat fathanah Rasulullah ini, dan mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupan kita, terutama di lingkungan kampus Universitas Al-Azhar Indonesia.[]