Muhammad RIdhwan, M.Ag.
Amanah (Percaya/dipercaya)
Sifat kedua yang harus diteladani dari Rasulullah SAW adalah amanah. Secara etimologis ‘amanah’ berarti aman, tenteram, atau tenang. Amanah bisa juga berarti ‘pinjaman’ atau ‘hutang’ sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 283, atau ‘beban agama/taklif’ (perintah agama yang harus dijalankan manusia) sebagaimana dalam QS. al-Ahzab [33]: 72, atau bermakna akal sehat. Amanah juga bisa bermakna ‘segala sesuatu yang dititipkan baik perkataan, perbuatan ataupun keyakinan’ lihat QS. al-Nisa [4]: 58, atau ‘titipan’ lihat QS. al-Anfal [8]: 27, ‘kepercayaan sesama’ lihat QS. al-Mu’minun [23]: 8, atau makna lain ‘segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik oleh Allah maupun oleh sesama manusia.’
Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah menyatakan bahwa kata yang berasal dari huruf hamzah, mim, dan nun memiliki dua makna, yang salah satunya adalah bermakna al-amanah –yakni lawan dari kata al-khiyanah – tenteram hatinya.
Kata ‘amanah’ adalah derivasi dari kata al-iman. Hal ini mengindikasikan bahwa amanah memiliki keterkaitan yang erat dengan keimanan. Sifat amanah pun melekat pada Nabi dan Rasul. Al-Quran menggambarkan bagaimana sifat amanah ini dimiliki oleh para Nabi, di antaranya lihat QS. asy-Syu’ara [26]: 105 – 108 menjelaskan sifat amanah yang dimiliki nabi Nuh as, QS. asy-Syu’ara [26]: 123 – 125 menceritakan bagaimana amanah yang dimiliki Nabi Hud as kala Kaum ‘Ad mendustakannya, QS. asy-Syu’ara [26]: 160 – 162 yang menceritakan sifat amanahnya Nabi Luth as di tengah Kaum Luth yang mendustakannya.
Dalam satu kesempatan, Fethullah Gulen menjelaskan bahwa Allah adalah Zat yang menjadi sumber bagi segala kepercayaan dan ketenangan (al-tsiqoh wa al-ithmi’nan). Allah memberi manusia sifat ‘tepercaya’. Dan Allah anugerahkan sifat tepercaya (al-amn) dan tenang (al-aman) kepada para nabi. Sehingga sifat al-amn, al-aman, dan al-iman menjadi pengikat kita dengan para nabi, dan sifat-sifat itu juga mengikat para nabi dengan Allah. Ikatan ini menjadi penghubung antara manusia sebagai ciptaan dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Menurutnya, ini merupakan makna dari adanya satu dari 99 sifat Allah (asmaul husna) yakni ‘al-mu’min’.
Amanah sebagai sifat utama para Nabi dan Rasul, juga melekat pada sifat Malaikat Jibril, lihat QS. at-Takwir [81]: 21. Tentu saja, hal ini berkaitan dengan pilihan Allah kepada Rasulullah SAW sebagai manusia tepercaya untuk mengemban risalah-Nya. Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah khawatir bahkan gelisah ketika menerima wahyu yang disampaikan melalui malaikat Jibril. Pada saat malaikat Jibril masih melafalkan wahyu, bahkan belum tuntas, Rasulullah SAW mengulang dengan cepat apa yang baru disampaikan oleh malaikat Jibril. Hal ini terekam dalam QS. al-Qiyamah [75]: 16 – 19, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kami lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami lah penjelasannya.”
Kekhawatiran Rasulullah ini bukanlah tidak beralasan, beliau sangat khawatir kalau tidak dapat memikul amanah suci ini. Dan dengan indahnya Allah menenangkan Rasulullah SAW bahwa beliau adalah orang tepercaya dan akan tetap menjadi pribadi tepercaya.
Dalam kesempatan yang lain pula, yakni saat Haji Wada’, ketika Rasulullah menyadari bahwa perjalanan hidupnya akan segera berakhir. Beliau menegaskan kepada sahabat-sabahatnya akan tanggung jawab memikul amanah. Rasulullah SAW meminta kesaksian dari sahabat-sahabatnya bahwa beliau memang telah menunaikan amanah suci tersebut sehingga dapat kembali dengan tenang kepada Zat yang menghidupkannya.
Al-Mubarakfuri dalam ar-Rahiq al-Makhtum menggambarkan Rasulullah SAW sebagai sosok yang paling adil, paling mampu menahan diri, paling jujur perkataannya, dan paling kuat memegang amanah. Sahabat, bahkan musuh sekalipun mengakui kebenaran hal ini. Sebelum nubuwah beliau sudah mendapat julukan al-amin (orang yang tepercaya). Pun sebelum Islam dan pada masa jahiliyah Rasulullah juga ditunjuk sebagai orang yang berwenang mengambil keputusan pengadilan. Bahkan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah bahwa Abu Jahal sekali pun pernah berkata kepada Rasulullah “Kami tidak mendustakan dirimu, tapi kami mendustakan apa yang engkau bawa. Hal ini lah yang menjadi asbabun Nuzul QS. al-An’am [6]: 33. “(Janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”
Dan banyak lagi kisah-kisah bagaimana Rasulullah SAW memegang amanah yang diberikan kepadanya. Rujuklah Kitab Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, atau ar-Rahiq al-Makhtum Bahtsun fii Siratin Nabawiyyah ‘ala Shohibiha Afdholussholati Wassalaam karya Syaikh Syafiyurrahman al-Mubarakfuri, atau Cahaya Abadi Muhammad SAW Kebanggaan Umat Manusia karya Muhammad Fethullah Gulen.
At-Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada sholat bagi orang yang tidak suci.” Hal ini mengindikasikan bahwa iman seseorang dapat dikatakan batal jika tidak memiliki sifat amanah atau bisa juga disimpulkan bahwa Nabi SAW menafikan iman dalam diri seseorang yang khianat dan curang, sebagaimana sholat yang tidak sah jika tidak berwudhu.
Seseorang yang tidak mampu menjaga amanah yang dibebankan padanya tidak dapat dianggap memiliki iman yang sempurna. Hubungan antara keimanan dan amanah adalah hubungan kait mengkait yang tidak dapat dipisahkan.
Fazlur Rahman menjelaskan makna amanah adalah ‘damai dengan dirinya sendiri’ atau secara harfiah amanah dimaknai dengan ‘tempat menyimpan uang aman’ (safe deposit) atau juga bermakna ‘kepercayaan’ (trust). Rujuklah QS. Ali Imran [3]: 75:
۞ وَمِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَـٰبِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍۢ يُؤَدِّهِۦٓ إِلَيْكَ وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍۢ لَّا يُؤَدِّهِۦٓ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَآئِمًۭا ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا۟ لَيْسَ عَلَيْنَا فِى ٱلْأُمِّيِّـۧنَ سَبِيلٌۭ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan di antara ahli kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikan (amanah itu) kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang yang buta huruf (tidak berpendidikan).” Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui.”
Atau lihat juga QS. al-Anfal [8]: 27
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَـٰنَـٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui (persoalannya).”
Selanjutnya, al-Mubarakfuri menggambarkan pribadi Rasulullah SAW sebagai orang yang paling konsisten dalam memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan, paling menyayangi dan bersikap lemah lembut pada orang lain, paling baik pergaulannya, paling lurus akhlaknya, terhindar dari akhlak buruk atau tercela, tidak pernah berbuat keji, tidak pernah mengumpat dan mengutuk. Beliau adalah sosok yang tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa, tapi memaafkan dan berlapang dada.
Sebagaimana besarnya perhatian Rasulullah SAW akan sifat amanah, demikian pula beliau sangat memperhatikan agar umatnya tidak melakukan perbuatan khianat atas amanah. Dalam satu riwayat disampaikan bahwa “Ketika Allah telah menghimpun umat manusia dari yang awal sampai yang akhir di hari kiamat, bagi setiap pengkhianat akan diangkat sehelai bendera lalu malaikat berkata, “Ini adalah pengkhianat si fulan bin fulan.” HR. Bukhari
Di riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah SAW sering berdoa “Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari lapar karena ia adalah teman tidur yang terburuk, dan aku berlindung kepada-Mu dari khianat karena ia adalah pakaian terburuk.”
Dan Allah melekatkan predikat munafik kepada mereka yang memiliki sifat-sifat dusta, ingkar janji, dan khianat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, ketika berbicara ia dusta, ketika berjanji ia tidak menepati, ketika diberi amanah ia mengkhianatinya.”
Dari Sifat Amanah Menuju Kepasrahan Total
Rasulullah SAW selalu menyeru kepada umatnya untuk memegang amanah. Selain hidup sebagai sosok tepercaya, Rasulullah SAW selalu tenang dan percaya kepada Allah. Sikap selalu mengembalikan segala sesuatu kepada Allah merupakan cerminan dari sikap amanah.
Sifat mengembalikan segala sesuatu kepada Allah –baca: tawakkal—adalah juga tauladan dari para nabi. QS. Yunus [10]: 71 menjelaskan tentang bagaimana sikap tawakkalnya Nabi Nuh as, juga dalam QS. Hud [11]: 54-56 menjelaskan tentang sikap tawakkalnya Nabi Hud as. Al-Quran juga menceritakan tentang sikap tawakkalnya Nabi Ibrahim as dalam QS. al-Mumtahanah [60]: 4.
Sedemikian banyaknya kisah tentang tawakkal para Nabi, lalu bagaimana sikap tawakkal sayyidul anbiya, Rasulullah SAW. Ingatlah saat Rasulullah SAW dikepung puluhan orang bersenjata yang siap menghabisi beliau. Lalu diriwayatkan beliau membaca QS. Yasin [36]: 9 sambil menebarkan segenggam debu. Kalau bukan karena kepercayaan dan kepasrahan kepada Allah, niscaya beliau dapat melewati kepungan tersebut. Pun mendaki Gua Tsur yang terletak di puncak gunung yang sangat sulit dicapai sementara usia beliau tidak muda lagi (53 tahun).
Tawakkal adalah memberikan kuasa kepada orang lain karena ia tidak mampu melakukannya. Karenanya dapat dikatakan tawakkal adalah menjadikan Allah sebagai wakil atau pelindung sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Nisa [4]: 81 “…dan bertawakkallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi wakil (pelindung).”
Seorang yang diberi amanah –apapun bentuknya– harus bertawakkal atau menyerahkan segalanya kepada Allah SWT tentunya setelah ia telah berusaha secara maksimal. Hal ini dapat mendatangkan ketenangan jiwa, meningkatkan kepercayaan diri, dan menimbulkan kepasrahan terhadap hasil yang kelak akan diraih.
Menyerahkan Amanah pada Ahlinya
Dalam QS. al-Nisa [4]: 58, Allah memerintahkan agar kita memberikan amanah kepada pemiliknya (ahli) sehingga tercipta hubungan baik dan saling percaya di antara manusia. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.”
Amanah adalah salah satu prinsip kepemimpinan. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tiap kamu adalah penggembala dan tiap kamu diminta pertanggungjawaban dari gembalaannya itu. Maka seorang pemimpin yang memimpin orang banyak adalah gembala yang diminta pertanggungjawaban atas gembalannya itu, seorang isteri adalah gembala atas rumah tangga suaminya dan ia diminta pertanggungjawabannya atas gembalaannya itu, anak adalah gembala pada rumah tangga bapaknya dan ia bertanggungjawab atas penjagaannya, hamba sahaya adalah gembala di dalam rumah majikannya dan ia harus bertanggungjawab atas penjagaannya. Ketahuilah, maka tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu dimintakan pertanggungjawabannya dalam kepemimpinannya.”
Nilai dasar kepemimpinan adalah amanah. Karena amanah meminta pertanggungjawaban. Pemimpin adalah seorang pemegang amanah dari Tuhan dan dari rakyatnya. Seorang manajer adalah pemegang amanah dari kantor yang menugaskannya.
Juga dalam QS. al-Mu’minun [23]: 8 Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.” sebagai ciri-ciri seorang mu’min.
Amanah adalah sesuatu yang sangat serius. Menyerahkan amanah kepada ahlinya – baca: orang yang berhak – atau dalam bahasa lain bisa dikatakan yang berkompeten adalah salah satu bentuk dari amanah sendiri. Penyia-nyian atas amanah akan mengganggu kehidupan. Sedemikian pentingnya amanah, Rasululah SAW pernah bersabda, “Tidak ada iman bagi seseorang yang tidak memiliki sifat amanah.” Hal ini berarti seseorang yang tidak mampu memegang amanah yang diberikan kepadanya tidak dapat dianggap memiliki iman yang sempurna. Terlebih lagi ia akan dimintakan pertanggung jawabannya kelak di hari kemudian.
Wahbah az-Zuhaili dalam Ensiklopedi Akhlak Muslim menuliskan bahwa amanah mengindikasikan sosok orang yang berkeyakinan dan berkeperibadian kuat, teguh, serta bisa diandalkan, berbeda dengan khianat sebagai sosok yang memiliki moral yang buruk, imannya tipis, dan akhlak yang rendah. Perilaku khianat sebagai lawan dari amanah adalah perilaku hina dan tercela. Orang yang berkhianat akan amanah yang diberikannya pastilah dengan mudah akan menyepelekan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Dalam satu riwayat diberitakan bahwa Rasulullah SAW pernah mengingatkan para pemimpin, “Siapa saja yang dianugerahkan Allah sebagai pemimpin, tetapi dia tidak berbuat sesuatu untuk kebaikan umatnya (malah sebaliknya menipu dan menzalimi umatnya), Allah akan mengharamkan surga untuknya.” HR. Bukhori, dalam redaksi yang berbeda Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang yang paling sakit siksaan di hari kiamat adalah pemimpin yang zalim (curang).” HR. Thabrani.
Seorang pemegang amanah harus memiliki integritas yang tinggi, yakni memiliki kesesuaian antara perkataan, termasuk janji dengan perbuatannya, karena sangat besar dosa bagi orang yang tidak sesuai antara perkataan dengan perbuatannya. Rujuklah QS. ash-Shaf [61]: 2-3, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Amanah dalam bentuk apapun baik kepemimpinan, jabatan, maupun pekerjaan, harta dan lainnya, akan terlaksana dengan baik ketika pemegang dan pelaksananya adalah orang yang kompeten.
Implementasi Amanah dalam Kehidupan Kampus
Sifat amanah sebagai suri tauladan dari Rasulullah SAW yang dijadikan nilai yang harus diteladani oleh sivitas akademika UAI tentulah harus dijabarkan secara jelas. Banyak sekali perilaku yang dapat dijadikan model dalam mengimplementasikan sikap amanah ini.
Al-Qur’an memberikan penjelasan tentang sifat amanah ini dengan menceritakan kehidupan para Nabi. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat amanah ini bisa disaripatikan dari kisah kehidupan Nabi Yusuf as, Nabi Musa as, dan kisah Thalut.
Dari kisah-kisah di atas, lalu disusunlah dimensi amanah dan bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan di kampus. Pribadi yang amanah adalah orang yang beriman dan bertaqwa, ia menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, melaksanakan apa yang telah diamanahkan padanya, dan tentunya menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan fahsya (tercela/keji). Pribadi yang amanah adalah mereka yang dapat bersikap adil, menegakkan hukum seadil-adilnya, tidak berat sebelah, tidak tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Pribadi amanah adalah pribadi yang disiplin, disiplin dalam mengelola waktu, beribadah, menggunakan fasilitas. Pribadi yang amanah adalah pribadi yang tegas, berani menyampaikan kebenaran dan bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan padanya, dan berorientasi untuk memberikan yang terbaik bagi si pemberi amanah. Pribadi yang amanah adalah mereka yang memiliki integritas, jujur, sesuai antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, dan dapat menjadi tauladan bagi yang lain. Pribadi yang amanah adalah mereka yang professional dalam pekerjaannya, dapat diandalkan, mengerti produk, dan tentu saja bijaksana dalam mengambil keputusan. Pribadi yang amanah adalah mereka yang sabar, pemaaf, dan pandai bersyukur. Tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, mau mendengar masukan/kritik, tidak gampang menyerah dalam kesulitan. Bersabar ketika dikritik (open minded), bersabar ketika muncul godaan untuk menyelewengkan amanah yang diberikan. Demikian beratnya amanah yang harus diemban, baik secara umum yakni amanah dari Allah kepada umat manusia sebagai mukallaf, maupun amanah secara khusus yang diberikan kepada para pemimpin, para karyawan atau tendik, para dosen dan mahasiswa. Semoga kita dapat menjadi figur yang dapat dipercaya dalam mengemban amanah.[]