Balancing Standar Ilmiah dengan Nilai-Nilai Islam

Mohamad Ghozali Moenawar, Lc., MM.

Saya katakan kalau Tuhan YME panggil saya dan saya disuruh pilih 100 persen imtak (iman dan takwa) atau 100 persen iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), yang saya pilih adalah 100 persen imtak. Tapi, kalau saya boleh pilih, saya mau dikasih dua-duanya agar seimbang”,(Prof. BJ Habibie, 2017)

Prof. BJ Habibie pada hari Selasa, tanggal 22 Agustus 2017 di gedung MPR RI mengingatkan soal pentingnya balancing atau keseimbangan iman dan takwa (imtak) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Kedua hal tersebut, menurutnya saling berkaitan dan tak bisa dipisahkan. Bagi Prof. BJ Habibie ummat Islam harus meningkatkan kesadaran untuk keseimbagan imtak dan iptek. Hal ini dengan meningkatkan keyakinan berdasarkan Al Quran yang diwahyukan serta meningkatkan pemahaman mengenai kehidupan di alam semesta yang diciptakan. Di dalam keduanya terkandung ketentuan-ketentuan Allah bersifat absolut, yang satu disebut kebenaran Qurani dan yang lain disebut kebenaran Kauni. Kebenaran Quraniyyah dan Kauniyyah menurut Prof. BJ. Habibie hanya dapat didekati oleh manusia melalui proses aproksimasi yang bersifat terus-menerus dengan menggunakan model yang patut diteladani, yaitu sunnah Rasulullah sehigga semakin mendekati kebenaran absolut tersebut. Karena itu upaya manusia tersebut bersifat relatif terutama melalui proses pendidikan dan pembudayaan secara berkesinambungan (Prof. BJ. Habibie, 1994).

Pemikiran keseimbangan imtak dan iptek telah menjadi wacana yang genuin di kalangan cendekiawan dan saintis Muslim Indonesia di era 1990-an, dan masih menjadi warna tersendiri bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesiaia. Tidak berlebihan merujuk perspektif Ian G. Barbour, Indonesia memiliki akar sejarah teori ilmu pengetahuan atau epistemologi yang layak untuk dikembangkan. Epistemologi merupakan kajian yang berguna, karena ia membahas aspek kehidupan manusia yang amat fundamental yaitu ilmu pengetahuan. Epistemologi mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode, validitas dan tujuan ilmu pengetahuan. Ia menjelaskan apa yang disebut kebenaran serta kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat membantu diperolehnya kebenaran itu.

Epistemologi dalam perspektif Islam, tidak dikenal adanya dikhotomi antara ilmu agama dengan ilmu non-agama (umum). Ilmu adalah ilmu, Ia berasal dari sumber yang sama, kemudian berkembang sesuai dengan wilayah obyeknya masing-masing, baik menyangkut obyek material maupun obyek formal. Ia terus bersentuhan dengan fenomena alam, manusia dan apapun yang berada di luar keduanya. Melalui persentuhan itulah ilmu pengetahuan terus berkembang memasuki ruang sejarah dari waktu ke waktu. Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan filsafat ilmu, sehingga epistemologi telah menarik perhatian para pemikir baik di Barat maupun di bangunan pemikiran Islam modern (Dasar-Dasar Epistimologi Islam, 2012).

Dinamika epistemologi dalam pemikiran keagamaan terutama di dunia Islam telah berlangsung sejak periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-sekarang). Periode perkembangan pemikiran modern sebagai periode ketiga dipandang sebagai periode kebangkitan kembali umat Islam setelah tenggelam selama abad pertengahan.  Epistemologi yang telah tumbuh sejak ratusan tahun silam, kini berada pada posisi perkembangan yang semakin menggairahkan. Hampir semua disiplin ilmu yang saat ini berkembang baik di dunia pendidikan maupun di lingkungan para penggunanya, pada dasarnya bermula dari buah pemikiran para penggagas atau penemunya. Mereka telah memberikan sumbangan besar dalam proses transformasi budaya masyarakat dunia. Informasi para penggagas dan penemu teori yang telah memperkaya ilmu pengetahuan itu, kini tersebar dalam berbagai literatur khususnya berkaitan dengan sejarah perkembangan suatu ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan, baik di lingkungan lembaga pendidikan maupun dalam lingkup wilayah pemanfaatannya di dunia praktis, selalu membuka peluang untuk ditelaah, dikritik, atau bahkan dibantah sesuai dengan perbedaan perspektif yang digunakannya.

Berbagai temuan teori dalam bidang sains, teknologi dan seni telah ikut memperkaya khazanah intelektual, sekaligus memberikan kontribusi penting bagi kehidupan manusia. Menariknya, jika sains dan teknologi ditelusuri kembali ke masa-masa pertumbuhannya, hal itu tidak lepas dari sumbangsih para ilmuwan muslim. Tidak berlebihan asal-usul sains modern atau revolusi ilmiah berasal dari peradaban Islam. Khazanah ilmu yang sangat luas sebagai hasil para ilmuwan yang begitu luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan ini ternyata jika kita baca, mempunyai keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina. Dalam umurnya yang sangat muda, ia telah berhasil menguasai berbagai ilmu kedokteran. Karya monumentalnya al-Qanun fi al-Thib menjadi sumber rujukan primer di berbagai universitas Barat. Selain Ibnu Sina, al-Ghazali juga merupakan ilmuwan yang cukup diperhitungkan. Dia teolog, filosof, dan sufi. Al-Ghazali pula ternyata mempunyai paradigma yang begitu modern. Dia pernah memiliki proyek untuk menggabungkan, tidak mendikotomi, ilmu agama dengan ilmu umum. Baginya, kedua jenis ilmu tersebut sama-sama wajib dipelajari oleh umat Islam.

Untuk itu kehadiran Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dengan misinya, sebagaimana perguruan tinggi lainnya di Indonesia sesuai dengan fungsi utamanya adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu pula dengan mempertimbangkan hubungan timbal balik antara epistemologi dan sains, yang bergantung satu sama lain. Dimana menurut Einstein epistemologi tanpa kontak dengan sains menjadi skema kosong. Sains tanpa epistemologi akan primitif atau kacau. Hubungan timbal balik ini menjadi titik sentral berbagai ilmuwan dan saintis untuk mencari sistem epistemologi yang tepat, dengan mengedepankan penafsiran isi pemikiran sains dan menolak apa yang tidak sesuai. Terutama dengan mensistematikan epistemologi dengan mengembagkan analisis konseptual dalam perspektif eksternal (Einstein’s Philosophy of science, 2019).

Berangkat dari pandangan ini, menarik apa yang dintrodusir Prof Zuhal, dalam Visi Iptek Memasuki Milenium ke III, yang menawarkan pandangan yang cukup strategis dengan argumen yang dibangun atas refleksi Einstein dan relasi epistemologi dan sains yang bertunpu pada tiga elemen penting: Material science, Life science dan Intellegnce science. Dari ketiga elemen ini, Prof. Zuhal menyatakan sesuai dengan alur alami perkembangan ilmu, yag bermula dicetuskannya teori kuantum, minat para ilmuwan dan teknolog negara maju difokuskan untuk mengembangkan ilmu-ilmu bahan (material sciences) ilmu-ilmu seputar inteligensia buatan (intelligence sciences) yang bertumpu pada revolusi di bidang komputer dan mikroelektronika, serta ilmu-ilmu kehidupan (life sciences) yang dipacu oleh kemajuan di bidang biomolecular dengan bioteknologi sebagai primadona beserta rekayasa genetika yang penuh pesona. Ketiga pilar inilah diyakini akan membentuk perkembangan iptek modern

Prof. Zuhal lebih lajut mengemukakan sebagai bagian dari perkembangan intelligence science, komunikasi melalui pendekatan multimedia yang semakin pesat diduga akan merajai dan mengubah pola kehidupan manusia di masa depan. Di sisi lain, Prof. Zuhal mengingatkan sejarah umat manusia menunjukkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan suatu bangsa. Pengembangan dan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat terjadi dalam suatu kebudayaan yang tinggi. Yaitu kebudayaan dengan sistem kemasyarakatan bahasa, kesenian, sistem pengetahuan dan religi atau agama (Prof. Zuhal, 2008).

Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan   modernisme di segala bidang masih menyisahkan permasalahan dengan memunculkan respons yang beragam. Maka tak jarang terjadi ketegangan di kalangan umat Islam. Dengan adanya modernisasi di segala bidang Mesir memasuki masa liberal (liberal age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik. Dengan berkembangnya pemahaman liberatif di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-nahdah (renaissance), yang kemudian menghadirkan beberapa trend pemikiran. Di sisi yang lain, hubungan antara sains dan agama terjadi polarisasi yang memunculkan konflik dan permusuhan hingga harmoni dan kolaborasi.  Sementara berbagai pemikir berpendapat bahwa kedua konsep tersebut secara inheren bertentangan dan sepenuhnya terpisah, dan itu terjadi dalam masyarakat muslim diberbagai negara.

Untuk memahami cara sains terkait dengan agama menarik mencermati penelitian Pew Research Center (2019) terhadap sekelompok masyarakat Muslim di Malaysia, Thailand dan Indonesia sebagaimana dalam gambar diagram dibawah. Sementara wawancara mendalam dilakukan di Singapura dan Malaysia yang telah melakukan investasi yang cukup besar dalam penelitian dan pengembangan ilmiah untuk beberapa tahun terakhir serta merupakan rumah bagi populasi yang beraneka ragam secara agama.

Gambar: Diagaram Hubungan Sains dan Agama

Temuan penelitian tentang hubungan sains dan agama yang dilakukan Pew Research Center (2019) di Thailand, yang menyatakan tidak yakin sebesar 16%, terjadi konflik sebesar 32% dan tidak konflik sebesar 52 %. Sedangkan di Malaysia menyatakan tidak yakin sebesar 16 %, terjadi konflik sebesar 30 % dan tidak konflik sebesar 54%. Sementara di Indonesia, yang menyatakan tidak yakin sebesar 11%, terjadi konflik sebesar 26% dan tidak konflik sebesar 63%. Hasil penelitian ini memunculkan kesimpulan, tidak ada pandangan tunggal yang dapat dipegang secara universal tentang hubungan antara sains dan agama.

Disamping itu dari hasil wawancaran mendalam yang dilakukan Pew Research Center (2019) dengan responden di Singapura dan Malaysia teridentifikasi beberapa pola atau tema umum. Banyak Muslim yang berpandangan bahwa Islam dan sains pada dasarnya cocok, sementara pada saat yang sama terdapat gesekan di beberapa bidang, seperti teori evolusi yang bertentangan dengan keyakinan agama tentang asal-usul dan perkembangan kehidupan manusia. Evolusi juga menjadi titik perselisihan antara agama dan sains di Barat. Namun, beberapa anggota masyarakat mengungkapkan keprihatinan agama ketika diminta untuk mempertimbangkan jenis kajian bioteknologi tertentu, seperti rekayasa genetika untuk mengubah karakteristik genetik manusia dan upaya untuk mengkloning hewan.

Beberapa Muslim yang diwawancarai mengatakan kloning akan merusak kekuatan Tuhan, dan Tuhan harus menjadi satu-satunya yang menciptakan makhluk hidup. Pola serupa muncul ketika narasumber ditanyakan tentang kemungkinan topik yang dilarang dalam penelitian ilmiah karena alasan agama. Sebagian masyarakat Muslim yang diwawancarai mengatakan sains dan agama terkait, tetapi cara mereka melihat sifat hubungan itu berbeda-beda tentang hubungan antara sains dan Islam.

Merujuk ungkapan Eistein, “sains tanpa agama timpang, agama tanpa sains buta” dan dengan mencermati bangunan secara philosophy of science terutama hubungan sains dan agama, pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada gilirannya akan berujung pada nilai-nilai; kemanusiaan, kealam-semestaan, dan ketuhanan. Untuk itu ilmu pengetahuan membutuhkan interkoneksi dengan nilai-nilai. Sebagaimana upaya Barbour dalam mengewinkan dua kutub tradisi keilmuan yang selama ini dianggap berbeda. Tradisi ilmu alam dan tradisi ilmu humnaiora yang pertama diaggap obyektif dan terakhir subyektif. Dalam penelitian Barbour sendiri kutub-kutub itu sebenarnya tidak berbenturan secara tajam; yang obyektif ternyata juga melibatkan sesuatu yang subyektif dan yang subyektif juga dapat ditemuka sesuatu yang oyektif. Dalam arti membutuhkan komunikasi diantara dua kutub tradisi keilmuan tersebut. Dalam kaitan ini Barbour dalam karyanya, When Science Meets Religions: Enemies, Strangers, or Partner? Barbour membuat suatu tipologi hubungan antara sains dan agama pada empat pola; konflik, indenpenden, dialog dan integrasi (Barbour, 2000). 

Mencermati prediksi Prof. Zuhal bahwa komunikasi dengan pendekatan multimedia akan merajai masa depan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dibidang teknologi informasi (IT). Hal yang sama merupakan keniscayaan untuk mengkoneksikan berbagai ilmu pengetahuan yang muncul dan berkembang sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan di seputar kemanusiaan, kealam-semestaan, dan ketuhanan melalui berbagai teori. Termasuk teori-teori dalam sains komunikasi. Sementara teori harus objektif. Sebuah teori obyektif dapat dipercaya karena memenuhi tujuan kembar sains atau ilmu pengetahuan. Teori menjelaskan masa lalu dan sekarang, dan memprediksi masa depan (Griffin, 2012).

Teori sains diuji dengan kriteria yang tegas dan kesesuaiannya dengan data. Data sains tidak dipengaruhi oleh kecenderungan idividu dan budaya. Sebaliknya agama dipersepsikan tanpak sangat subjektif dan dipengaruhi oleh asumsi individu dan budaya. Sains menuntut pengamatan yag berjarak dan penalaran yang logis, sedangkan agama menuntut keterlibatan personal dalam tradisi tertentu dan seperangkat praktik Namun demikian beberapa sejarawan, filsof sains dan teolog mempertanyakan dua kutub tajam diatas. Bahka mereka berargumen bahwa sains tidaklah seobyektif dan agama tidaklah sesubyektif – sebagaimana yang diduga. Ada perbedaan titik tekan antara kedua bidang ini, tetapi perbedaan ini tidaklah mutlak. Data ilmiah bersifat sarat teori dan tidak bebas teori. Asumsi-asumsi teoritis mengalami pemilahan, pelaporan, dan penafsiran terhadap apa yang dianggap sebagai data.

Lebih jauh, teori tidak lahir dari analisis data secara logis, tetapi dari tindakan imijinatif kreatif yang didalamnya analogi dan model sering berperan penting. Bahkan menurut Barbour dalam refleksinya, analogi dan model merupakan sumber teori-teori ilmiah yang bermanfaat.  Model-model konseptual membantu kita membayangkan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung terutama di alam yang sangat besar (astronomi) dan sangat kecil (fisika kuantum) Perumusan teori dalam sains terjadi melalui dua proses, yaitu, dengan prinsip induktif dan deduktif. Dalam kesempatan lain Barbour mengajukan empat kriteria sebuah teori, yang meminjam istilah Kuhn, dianggal normal, yaitu: {1} kesesuaian dengan data (agreement with data) (2) Koherensi (cohenrence) (3) Skop (scope) dan (4) fertilitas (fertility) 

Disisi lain Ilmuwan sosial terutama sains komunikasi menyetujui enam kriteria sebuah teori harus menjadi lebih baik dengan beberapa standar: Penjelasan data, Prediksi peristiwa mendatang, Kesederhanaan relatif, Kemampuan untuk diuji, Kegunaan praktis, dan Penelitian secara kuantitatif.  Griffin (2012) mengelaborasi standar ilmiah atau obyektif dengan berupaya menyeimbangkan dengan perspektif interpretative. Hal ini dapat pula dijadikan pintu masuk dalam membingkai ilmu komunikasi sebagai sains dan menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islam secara eloboratif.

Standar pertama: Penjelasan data. Teori ilmiah yang baik menjelaskan suatu peristiwa atau perilaku manusia. Filsuf sains Abraham Kaplan mengatakan bahwa teori adalah cara untuk memahami situasi. Teori ilmu sosial yang baik menjelaskan prosesnya, memfokuskan perhatian hal yang penting, dan membantu mengabaikan hal yang membuat sedikit perbedaan. Dalam arti penjelasan tentang perilaku terutama dalam berinteraksi atau bermuamalah dapat mengarah pada pemahaman lebih lanjut untuk memotivasi perubahan sebagai bagian dari panggilan kehidupan.

Standar kedua: Prediksi peristiwa mendatang. Teori ilmiah yang baik memprediksi apa yang akan terjadi. Prediksi hanya mungkin ketika berkaitan dengan hal-hal yang dapat kita lihat, dengar, sentuh, cium, dan rasakan. Meski teori tentang perilku manusia sering kali memasukkan prediksi dalam istilah sebab-akibat. Namun kerendahan hati dan ketawadhuan dianjurkan. Bahkan teori terbaik hanya bisa untuk pembahasan tentang tema secara umum, bukan tentang individu tertentu — dan ini hanya dalam hal kemungkinan dan kecenderungan, bukan kepastian mutlak. Dalam arti baik prediksi maupun kejelasan nilai melihat ke masa depan. Yang pertama menyarankan apa yang akan terjadi; kedua, apa yang seharusnya terjadi sebagai tuntunan dan kepasrahan akan kaagungan dan keluhuran

Standar ketiga: Kesederhanaan relatif.  Teori ilmiah yang baik harus sesederhana mungkin — tidak lebih kompleks. Fisikawan Einstein mengatakan, “Dibutuhkan sentuhan jenius untuk bergerak ke arah yang berlawanan”. Einstein mempraktikkan apa yang ia khotbahkan. Formula elegannya (E 5 mc 2) menjelaskan hubungan antara energi, massa, waktu, dan kecepatan cahaya dengan hanya menggunakan tiga istilah. Teori kesederhanaan memiliki daya tarik estetika. Kesederhanaan menceriminkan keindahan dan kearifan.

Standar keempat: Hipotesis yang dapat diuji.  Teori ilmiah yang baik harus dapat diuji. Jika prediksi salah, pasti ada cara untuk menunjukkan kesalahan tersebut. Karl Popper menyebut persyaratan ini sebagai kemampuan falsi, dan melihatnya sebagai ciri penentu teori ilmiah. Tetapi beberapa teori menyatakan bahwa tidak mungkin membayangkan hipotesis hasil empiris yang dapat membantahnya. Dan jika tidak ada cara untuk membuktikan suatu teori salah, maka klaim itu benar tampaknya hampa. Untuk itu menguji hipotesis adalah cara untuk mencapai pemahaman dan kesepakatan.

Standar kelima: Kegunaan praktis seiring waktu. Teori ilmiah yang baik sangat ditentukan pada kegunaannya. Karena tujuan ilmu sosial adalah untuk membantu untuk memiliki lebih banyak kendali atas kehidupan sehari-hari. Persyaratan ini sesuai dengan klaim bahwa tidak ada apa-apa sepraktis teori yang baik. Apa yang bisa lebih praktis daripada teori yang mereformasi praktik yang tidak adil? Bukankah keadilan akan membawa ketenangan dan ketentraman.

Standar keenam: Penelitian secara kuantitatif. Sejak teori bertujuan menggambarkan realitas, secara rasional dalam pengukuran dan dilaporkan apa yang ditemukan, dalam istilah numerik yang tepat daripada dalam bentuk istilah linguistik, yang kadang terbuka untuk interpretasi. Dalam perkembangannya, baik pendekatan kuantitatif maupun pendekatan kualitatif serta upaya meintegrasikannya mencerminkan komitmen beinteraksi untuk menuju keutuhan dan paripurna.

Elaborasi ini memang belum mencerminkan bangunan keseimbangan standar ilmiah dengan nilai-nilai Islam secara paripurna, namun berangkat dari kesadaran akan keilmuan sosial terutama sains komunikasi, upaya balancing standar ilmiah dengan nilai-nilai Islam merupakan langkah strategis. Hal itu dapat dimulai dari langkah kecil diikuti dengan langkah lainnya yang lebih besar. Interaksi penulis dengan Prof.  Asep Saifuddin, Rektor UAI dan sebagai pembimbing tugas akhir di IPB banyak memberikan pandangan tentang balancing sains komunikasi melalui metode pengukurannya secara empiris termasuk menerapkan standar ilmiah diatas dalam bingkai communimetric. Pandangan ini menambah optimisme penulis untuk belajar dan berikhitiar terus menerus seiring spirit enterprising university UAI yang digelorakan oleh Dr. Ahmad H. Lubis saat mejalankan amanah sebagai Rektor UAI. Karena hal ini tidak hanya akan menjadi warisan ilmiah atas pencapaian, tetapi juga pandangan tersebut diharapkan dapat menjamin tidak ada konflik yang sulit dalam menciptakan keseimbangan standar ilmiah dan nilai-nilai Islam menuju keseimbangan dalam kehidupan secara luas.  Semoga Bermanfaat.