Muhammad Yudi Ali Akbar, M.Si
Dalam mencukupi kehidupannya manusia akan berusaha untuk mendapatkan rezeki yang dihasilkan dari kerja. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa jalan untuk mendapatkan rezeki tersebut bisa dari pihak ketiga atau bekerja kepada orang lain dan mendapatkan upah, sementara yang lainnya adalah berusaha sendiri atau bekerja sendiri.
Keharusan bekerja dan berusaha dapat digali dari QS. al-Mulk [67]: 15.
“Dia-lah yang menjadikan buat kamu bumi (ini) mudah maka berjalanlah di penjuru-penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah Kebangkitan.” QS. al-Mulk [67]: 15
Quraish Shihab menyebutkan bahwa QS. al-Mulk [67]: 15 ini adalah rumpun tentang tauhid rububiyah – diawali dengan ayat 15 dan berakhir di ayat 22– yang menjelaskan tentang betapa besar kuasa Allah dan wewenang Allah dalam mengatur alam raya ini.
Allah dengan ke-Maha Lembut-annya menjadikan bumi sebagai tempat yang nyaman dihuni oleh manusia. Menjadikan bumi ini mudah untuk diekplorasi, berjalan, bertani, berniaga, dan usaha-usaha lainnya. Ia ciptakan bumi ini berbentuk bulat, namun kemana pun kaki berjalan, bumi akan terhampar luas. (Shihab, 2009)
Dalam menjelaskan tentang makna ‘dzalul’, Sayyid Quthub menyebutkan bahwa pensifatan bumi dengan sifat yang biasa dilekatkan kepada binatang adalah untuk menunjukkan bahwa bumi ini dibuatkan mudah oleh Allah untuk dihuni manusia. Hal ini didukung dengan adanya peredaran bumi dan kecepatannya yang menunjukkan bahwa bumi ini Allah buat menjadi nyaman untuk manusia.
Lebih lanjut Quraish Shihab menyimpulkan bahwa ayat ini merupakan ajakan, bahkan dorongan kepada manusia secara umum dan kaum muslimin khususnya agar memanfaatkan bumi sebaik mungkin dan tidak mengabaikan generasi setelahnya. Bahkan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitabnya, al-Majmu menyatakan bahwa umat Islam hendaknya mampu memenuhi dan memproduksi semua kebutuhannya -walaupun jarum – agar mereka tidak mengandalkan pihak lain. (Shihab, 2009)
Dari penafsiran ayat tersebut kita dapat memahami bagaimana sikap atau konsep Islam terhadap usaha. Dalam Surah yang lain, QS. al-Jumu’ah [62]: 10, Allah menegaskan bahwa manusia harus mengutamakan ibadah dan bersegera dalam melaksanakannya. Baru ketika ibadah tersebut telah ditunaikan, manusia diperintahkan bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” QS. al-Jumu’ah [62]: 10
Hal senada juga bisa kita lihat pada QS. al-Nur [24]: 37-40 yang memberikan gambaran perbandingan bagaimana kerja seorang muslim yang tidak meninggalkan ibadah dan mengingat Allah sehingga kelak akan beroleh tambahan karunia bagi mereka.
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (hari Kiamat). Mereka melakukan itu agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Ia kehendaki tanpa batas.” QS. al-Nur [24]: 37-38
Setidaknya terdapat tiga hadits Nabi yang menjadi rujukan bahwa bekerja dan berusaha sebagai jalan untuk mendapatkan rezeki. Yang pertama Riwayat dari Imam Bukhari, “Tidak seorangpun memakan satu makanan yang lebih baik daripada yang dia makan dari hasil kerja tangannya, dan sesungguhnya Nabi Daud itu makan dari hasil kerja tangannya.” (H.R. Bukhari)
Di riwayat yang lain, Allah memberi penghargaan berupa pahala bagi mereka yang berusaha dengan tangannya sendiri. “Barang siapa menjadi beban dari kerja tangannya sendiri, diampunilah ia (dosanya).” H.R. Bukhari dan Muslim.
Islam sangat menghargai hasil jerih payah seseorang dengan bekerja. Dalam Riwayat yang lain, Rasulullah memberikan motivasi dengan keutamaan bagi mereka yang bekerja dibandingkan dengan mereka yang meminta-minta. “Apabila seseorang di antara kamu menyiapkan talinya, lalu datang membawa segulungan kayu bakar di atas punggungnya dan menjualnya, sehingga karenanya ia dapat menahan wajahnya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada semua orang, baik mereka beri atau tolak.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Informasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi sudah cukup jelas bagi kita bahwa bekerja dan berusaha adalah jalan utama dalam mencari rezeki. Dengan bekerja dan berusaha berarti seseorang itu telah melibatkan diri dalam satu proses produksi. Sehingga ia turut dalam menambah nilai kekayaan masyarakat (value added) yang selanjutnya menambah kemakmuran masyarakat.
Islam dan Enterpreneur
Setelah mengetahui bagaimana konsep Islam tentang bekerja, kita akan mengenal bagaimana konsep Islam tentang kewirausahaan/entrepreneur. Sebagaimana diketahui bahwa dalam mencari rezeki seseorang dapat memperolehnya dari pihak ketiga atau bekerja dengan orang lain, dan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri (wirausaha).
A.M Saefuddin dalam tulisannya menyebutkan bahwa walaupun manusia dilahirkan sama, namun dalam perkembangannya bisa berlainan tergantung dengan bakat, kesempatan, lingkungan dan lain sebagainya. Bakat dan kesempatan yang ada pada diri masing-masing juga berpengaruh pada kemampuan yang berbeda pula. Perbedaan kemampuan ini juga akhirnya menimbulkan adanya pembagian kerja dalam masyarakat. Adanya pembagian kerja dalam masyarakat menimbulkan bidang kerja dan usaha yang berbeda-beda, dan akan memberikan pendapatan yang tentu saja berbeda-beda pula bagi setiap individu. (Mubyarto, 1988)
Salah satu materi dari perkuliahan JK3 di UAI adalah Talents Mapping yang memetakan minat dan bakat seseorang yang dapat dikembangkan agar lebih mudah baginya dalam pengembangan diri. Lalu mahasiswa diasah untuk dapat menjadi entrepreneur yakni seseorang yang dapat menciptakan lapangan kerja, bukan bekerja pada pihak ketiga.
Semangat entrepreneur dapat kita gali dari prinsip Islam bahwa tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Hadits ini dapat dipahami bahwa seseorang yang membawa manfaat bagi orang lain adalah lebih baik dari mereka yang sebaliknya, menjadi beban bagi yang lain.
Dalam satu Riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim disebutkan, Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan Sebaik-baik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya dan barang siapa merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.” (H.R. Muttafaq Alaihi)
Hadits ini mendorong kita agar lebih baik memberi daripada menerima. Lebih baik menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain daripada bekerja kepada orang lain. Dalam Riwayat yang lain pula dapat kita simpulkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.
Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (H.R. Thabrani dan Daruquthni)
Al-Qur’an menggambarkan figure Nabi Isa as sebagai manusia yang memberi manfaat bagi orang lain. QS. Maryam [19]: 31, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.”
Dan banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk menjadi ‘agen kebaikan’, menebar manfaat untuk orang banyak. Menolong mereka yang kesusahan, mengangkat derajat mereka yang ada di bawah dengan pemberdayaan ekonomi umat. Mari kita berlomba-lomba menjadi entrepreneur, agen kebaikan.[]