Muhammad Ridhwan, M.Ag
“Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertaqwalah kepada Allah dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah pula) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu.” QS. al-Nisa [4]: 1
Surah al-Nisa ayat pertama ini menyeru kepada seluruh umat manusia untuk bertaqwa kepada Tuhan yang menciptakan manusia. Berlaku umum, baik kepada orang yang beriman maupun tidak, yang secara langsung menegaskan Tauhid Rububiyah yakni keimanan kepada Tuhan yang menciptakan manusia. Barulah pada perintah kedua, secara spesifik manusia diseru untuk bertaqwa kepada Allah yang dengan menyebut nama-Nya manusia saling meminta dan dilanjutkan dengan seruan untuk memelihara hubungan silaturahim. Dan di akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Ia mengawasi semua gerak-gerik manusia.
Dalam memahami ayat ini, Quraish Shihab melihat bahwa objek seruan yang kedua adalah jelas nama Allah (Bertaqwalah kepada Allah) karena perintah bertaqwa ini adalah dalam konteks syariat. Dengan kata Allah diharapkan akan lahir rasa takut, yang akhirnya membuat manusia mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya karena Allah adalah satu-satunya dambaan dalam memenuhi kebutuhan manusia. (Shihab, 2009)
Kata ‘arham’ dalam surah al-Nisa tersebut adalah bentuk jamak dari kata ‘rahim’ yang berarti tempat peranakan. Dari sinilah kata ‘rahim’ dikaitkan dengan makna menghubungkan seseorang dengan yang lain. Hubungan kekerabatan dalam kaitan dengan peranakan/rahim adalah hubungan keluarga. Islam menyeru umatnya untuk menebarkan kasih sayang dan melarang mereka memutuskan tali silaturahim/persaudaraan. Keluarga yang kuat adalah keluarga yang saling menjaga, saling membantu, dan saling menyayangi.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa silaturahim adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan keadaan orang yang menghubungkan dan yang dihubungkan. Bisa menggunakan harta, adakalanya memberi bantuan tenaga, terkadang dengan kunjungan atau memberi salam, dan banyak perbuatan baik lainnya. (an-Nawawi, 1930)
Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah SAW bersabda: ”Orang yang menyambung silaturahim bukanlah yang memenuhi (kebutuhan), melainkan orang yang menyambung hubungannya kembali ketika tali silaturahim itu sempat terputus”. (HR. Bukhari)
Selanjutnya, kata silaturahim ini diserap dalam bahasa Indonesia menjadi silaturahmi. Walaupun ada yang membedakan makna kedua kata tersebut dengan menyebutkan bahwa silaturahim adalah hubungan persaudaraan sedarah, sedangkan silaturahmi adalah hubungan kekerabatan umum tanpa melihat apakah ia sedarah atau tidak, namun tulisan ini tidak membedakan kedua makna tersebut.
Sedemikian pentingnya menjaga silaturahmi sehingga perbuatan ini dikaitkan dengan keberkahan, baik dalam hal rezeki maupun keberkahan dalam usia seseorang. Dalam satu riwayat dari Muslim melalui Aisyah, “Rahim tergantung di singgasana Ilahi (arsy), di sana ia berkata: “Siapa yang menyambungku akan disambung Allah (dengan Rahmat-Nya) dan siapa yang memutuskanku akan diputuskan Allah (Rahmat-Nya)”. Dari riwayat ini, sering kita dengar banyak ulama yang menegaskan bahwa Allah mengancam siapa saja yang memutuskan silaturahmi dan menjanjikan keberkahan dan usia yang panjang bagi siapa saja yang memeliharanya. Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang usianya, hendaklah ia menyambung hubungan rahim/kekeluargaannya”. (H.R. Bukhari melalui Abu Hurairah).
Silaturahmi merupakan salah satu karakter kebajikan yang penting. Hal ini berdasarkan hadits riwayat At-Thabrani dan Ibnu Hibban dari Abu Dzar ra. Ia mengatakan, “Kekasihku (Rasulullah) pernah menasihatiku tentang beberapa karakter kebajikan. Beliau berpesan agar aku tidak memandang orang yang di atasku, tetapi memandang orang yang di bawahku. Beliau berpesan agar aku mencintai orang miskin dan yang mendekati miskin. Beliau berpesan agar aku menyambung tali silaturahmi meski telah diputuskan. Beliau berpesan agar aku tidak gentar menghadapi kecaman bilamana aku berada di jalan yang benar. Beliau berpesan agar aku selalu mengatakan yang benar meskipun pahit. Beliau berpesan agar aku banyak mengucapkan: Laa hawla walaquwwata illabillah (tiada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah) karena itu merupakan salah satu perbendaharaan surga.”
Wahbah az-Zuhaili menyampaikan hal senada namun berbeda dalam redaksinya, ia menjelaskan tentang bentuk silaturahmi dengan meringkaskannya dari kata ihsan yakni berbuat kebajikan. Ihsan adalah bertutur kata yang baik, berkunjung, memberi hadiah, membesuk orang sakit, membantu di saat krisis, dan berbagai bentuk pergaulan yang bisa menimbulkan kasih sayang, baik dalam suka maupun duka. (Az-Zuhaili, 2014)
Lebih lanjut, Wahbah az-Zuhaili mengutip satu riwayat dari al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ubadah bin As-Shamit r.a Rasulullah SAW pernah bertanya, “Maukah kalian aku tunjukkan pada hal-hal yang bisa membuat Allah mengangkat derajat kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja, Wahai utusan Allah.” Rasulullah lantas bersabda, “Mengasihani orang yang bertindak bodoh terhadapmu, memaafkan orang yang menzalimimu, bersedekah kepada orang yang tidak mau bersedekah kepadamu, dan menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskannya.” Wahbah Az-Zuhaili menggaris bawahi bahwa keempat sikap ini adalah budi pekerti yang luhur. (Az-Zuhaili, 2014)
Maka sangat tepat sekali ketika para founding father UAI memasukkan unsur menjaga silaturahmi sebagai satu dari sifat manusiawi yang harus diteladani.
Menjaga Silaturahmi Di Lingkungan Kampus
Sivitas akademika UAI adalah keluarga besar yang berlandaskan pada ukhuwah Islamiyah. Persaudaraan Islam adalah ikatan yang menjadi perekat sesama anggota keluarga. Antarmahasiswa, antardosen, antarkaryawan sudah sepatutnya diikat dalam persaudaraan tersebut.
Dengan ikatan ini, kita saling menguatkan, saling menjaga, menghibur di kala duka dan berbagi suka dan duka. QS. al-Hujurat ayat 10 menggambarkan bagaimana persaudaraan sesama Muslim.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudara kalian dan berbaktilah kepada Allah, supaya kalian diberi Rahmat”. QS. al-Hujurat [49]: 10
Ayat ini juga mengindikasikan bahwa sebagai orang yang beriman harus menjaga persaudaraannya. Dan kita diperintahkan untuk menyambung tali persaudaraan yang sempat putus –mungkin karena perseteruan -, dan perintah ini berlaku umum kepada siapa saja agar mendamaikan mereka yang berseteru. Dan kita diperintahkan untuk bertaqwa agar kita diberi Rahmat.
Di ayat yang lain pula Allah menegaskan bahwa sesungguhnya Rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan, lihat QS. al-A’raf [7]: 56. Maka tidaklah salah manakala Wahbah az-Zuhaili mengartikan bentuk silaturahmi sebagai ihsan (perbuatan baik).
Perintah berbuat baik –dalam artian menjaga silaturahmi—tidak saja menjadi domain orang yang beriman saja. Islam juga mengajarkan agar umatnya bersilaturahmi dengan mereka yang tidak beriman. Dalam satu riwayat diceritakan bagaimana hubungan silaturahim Asma binti Abu Bakar dengan ibundanya yang bernama Qutaylah binti Abdul Uzza, yang tidak beriman (musyrik). Dikisahkan saat gencatan senjata antara orang muslim dan kafir Quraisy karena perjanjian Hudaibiyah. Karena kerinduan yang mendalam, Qutaylah berkunjung ke Madinah dan membawakan makanan untuk puterinya Asma. Setibanya di Madinah, Asma ragu untuk bertemu dan menerima makanan pemberian Ibunya sehingga mendorongnya untuk bertanya kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah, ibuku datang dan dia sangat ingin aku berbuat baik padanya, apakah aku harus tetap menjalin hubungan baik dengan ibuku?” Rasulullah menjawab, “Ya, sambunglah hubungan silaturahim dengannya.” Kisah ini menjadi asbab al-nuzul QS. al-Mumtahanah [60]: 8. (As-Suyuthi, 2014)
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” QS. al-Mumtahanah [60]: 8
Hal ini dapat menjadi rujukan Universitas Al Azhar Indonesia sebagai kampus inklusif. Menyambung tali silaturahmi dengan berbuat baik kepada semua dapat diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling mengunjungi satu sama lain, menjenguk rekan kerja atau rekan mahasiswa yang tengah sakit, bertutur kata yang baik, memberi hadiah, dan berbagai perilaku baik lainnya. Dan tentunya budaya menyambung silaturahmi ini sejalan dengan core values UAI.
Mari kita jadikan budaya silaturahmi ini mengakar di kalangan sivitas akademika UAI. Dengan silaturahmi, suasana akan kondusif, core values dapat teraplikasi dengan baik. Dan akhirnya Rahmat Allah akan tercurah untuk kita semua, sivitas akademika UAI. Semoga kita senantiasa menjaga silaturahmi di antara kita.[]
References
an-Nawawi, A. Z. (1930). Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi. Qahirah: Al-Matba’ah al-Mishriyah bil-Azhar.
As-Suyuthi, I. (2014). Asbabun Nuzul: Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Quran. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Az-Zuhaili, W. (2014). Ensiklopedia Akhlak Muslim: Berakhlak Terhadap Sesama dan Alam Semesta. Jakarta: Noura Books.