Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, S.H., M.Hum
Paradoksal Identitas
Identitas menjadi penting dari unsur pembentuk tubuh dan pikiran manusia. Subjek manusia ingin selalu dikenal atau diketahui berdasarkan atribut yang melekat di dalam dirinya. Seseorang dikenal berdasarkan identitas: keagamaan, kebahaasaan, kebangsaan, pendidikan, dan atribut apapun yang melekat pada subjek manusia. Identitas ini membentuk sebuah sosok manusia. Identitas yang tampak berdasarkan atribut ini menjadi hilang ketika ia melebur bersama dengan banyak ragam manusia. Ia bersama untuk menyatu dengan manusia lainnya dan ia menjadi kehilangan identitas atas dirinya sendiri. Otonomi diri manusia dengan segenap atributnya menjadi tidak berarti ketika melebur dalam sekumpulan manusia dalam jumlah yang besar. Maka kini muncul atribut yang baru dimana setiap subjek manusia kehilangan identitas awalnya ketika melebur dengan manusia lainnya. Ia membentuk sebuah identitas yang baru yaitu: sekelompok kumpulan manusia baru sebagai subjek.
Identitas individu terkadang mampu membentuk sebuah ego, baik yang terbentuk atas basis keilmuan, kedudukan, kederajatan dan lainnya. Identitas ini membentuk sebuah hubungan realita antara aku disini dan engkau di sana, bahwa aku dengan segenap atribut identitas yang kumiliki, dan engkau dengan segenap identitas yang kau miliki. Paradoksal muncul karena diawal identitas bertujuan untuk mengenal sosok setiap subjek, akan tetapi identitas ini membentuk sebuah sikap ego antroposentris bahwa aku mungkin lebih baik dibanding kamu dengan segenap atribut yang melekat. Identitas telah mampu menumbuhkan ego, walau hakikat awalnya adalah pengenalan subjek.
Hilangnya identitas lama dan membentuk sebuah identitas yang baru meleburkan keakuan, karena aku dan kamu kini menyatu dalam sebuah identitas yang baru. Lalu bagaimana aku dan dirimu menerima identitas yang baru sebagai kami? Keterbukaan mungkin menjadi jawaban atas paradoksal identitas yang ada. Sikap terbuka untuk menerima segala keberbedaan antara aku dan kamu yang kini telah menjadi kami, sekaligus sikap membangun proses dialogis diantara aku dan dirimu.
Manusia harus membentuk dirinya untuk mampu berfikir secara terbuka, sekaligus menerima kebenaran secara terbuka tanpa adanya unsur ego yang berkarakter ideologis yang seringkali membunuh nalar. Maka keterbukaan untuk saling memberi sekaligus menerima kebenaran perlu didengungkan. Kita perlu membangun kembali keterbukaan kita untuk mau menerima. Mungkin manusia mudah untuk memberikan kebenaran, tetapi ketika hendak menerima kebenaran akan memunculkan ketegangan-ketegangan sosial. Maka kita perlu mencoba untuk menerima kebenaran yang datang secara eksternal ke dalam dirinya dengan sikap terbuka.
Manusia berkumpul dan membentuk kelompok arena sosial, setiap arena yang kita ikuti pada hakikatnya mengajarkan kepada kita tentang ragam perbedaan yang ada. Setiap arena yang kita ikuti tentunya memiliki kekhasan tertentu yang tidak sama. Maka disini kita diajarkan untuk mau belajar menerima kekhasan tertentu di setiap arena yang kita ikuti. Semakin banyak arena sosial yang kita ikuti, maka semakin banyak nilai-nilai yang dapat kita pelajari. Maka ikutlah beragam arena sosial yang tampak, disitulah kita mencoba menelaah ragam epistemologi yang ada. Kita belajar untuk mampu menerima sekaligus membangun proses dialogis diantara individu manusia yang berbeda.
Proses keterbukaan akal untuk saling menerima dimulai dengan keaktifan kita memahami ragam ruang sosial yang berbeda. Setiap ruang adalah arena yang memiliki nilai serta norma yang kaya ragam. Manusia perlu membangun kesadaran di dalam dirinya untuik mampu beradaptasi dalam ruang yang berbeda. Maka disini kita kembali melihat ke dalam; sejauhmanakah saya mendapatkan nilai lebih dari arena yang kita ikuti? Mampukah saya mengembangkan sikap adaptif dalam ruang yang berbeda?
Akal & Proses Adaptasi Kearifan
Akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran pada hakikatnya merupakan sebuah kehendak Allah atas diri manusia, yang dengan itu ia menyandang atribut sebagai pemakmur (khalifah) di bumi (Qs.[2]:30). Atribut sebagai pemimpin yang bertugas mengemban ide kemakmuran ini menggunakan segenap potensi akal dan rasa untuk membangun sebuah manusia yang penuh dengan nilai-nilai keadaban. Ide manusia sebagai pemakmur menuntut sebuah kerja akal budi, mendorong sebuah proses kemajuan nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah prinsip manusia yang memanusiakan, bertindak atas dorongan nilai kemanusiaan dan tentunya nilai ketuhanan.
Proses ini tidak mudah dijalankan karena kejumudan pemikiran, juga ketertutupan atas kebaruan ide lebih mendominasi alam berfikir manusia, dibandingkan sebuah keterbukaan. Kemajuan menuntut sebuah keterbukaan atas masuknya pemikiran juga nilai-nilai baru. Dogmatika yang berkarakter ideologis tanpa proses berfikir lebih mengemuka. Kebenaran diterima sebagai apa adanya tanpa melalui proses uji kebenaran dan uji falsifikasi. Agama dihadirkan sebagai ruang dogmatika yang menuntut manusia sekedar untuk menerima tanpa menerapkan proses dialogis. Ia ditempatkan semata dalam ruang teologi tanpa syarat.
Pada sisi yang berbeda terdapat proses dialogis antara agama dan filsafat, bahwa kebenaran filsafat dapat digunakan untuk memahami naskah tekstual kitab suci, sedangkan teks kitab suci sebaliknya juga memberikan pemahaman dan pengkayaan atas pemikiran filsafat. Dalam peradaban Islam tumbuhnya dinamika pemikiran filsafat dan tasawuf (walau keduanya sempat berhadapan) memperkaya khazanah pemikiran keilmuan manusia. Narasi-narasi kitab suci memperkaya produktivitas keilmuan, sehingga mampu memberikan sebuah pencerahan bagi manusia di belahan Eropa. Peradaban barat akan sangat berterimakasih terhadap gagasan emansasi Ibn Sina dan rasionalisme Ibn Rusyd, metafisika al Ghazali hingga Ibn Arabi dan Suhrawardi. Sedangkan di belahan timur justru muncul kegelapan pemikiran, sehingga yang tersisa hanyalah kaum teolog dan ideolog.
Ranah pemikiran filsafat berupaya untuk mengajak manusia menerima kebenaran secara rasional, bernalar dan logis, dan mampu melakukan kritik terhadap dirinya sendiri. Kesalahan dalam berfikir adalah sebuah kewajaran, tetapi menjadi sebuah kesesatan jika mendiamkan sebuah pemikiran yang salah. Bahwa dengan proses auto kritik itulah manusia memperbaiki kapasitas dan kualitas dirinya. Dinamika pemikiran manusia selalu berkembang mengikuti perkembangan ruang dan waktu. Disitulah sejatinya manusia menumbuhkan sebuah kesadaran bahwa ia masih tetap manusia dan bukan menjadi Tuhan. Manusia melalui kritik atas dirinya akan selalu menyadari adanya potensi kesalahan dan kelemahannya, untuk itu ia terus bergerak dinamis untuk berubah secara dinamis melalui proses auto kritik yang ia lakukan.
Peran pengetahuan di tangan kaum yang berfikir adalah mampu menginjeksi kebenaran-kebenaran dalam setiap diskursus. Bahwa para ilmuwan mencoba untuk terus membangun kesadaran manusia untuk selalu bertindak secara benar atas nama kemanusiaan. Kesadaran untuk selalu bersikap terbuka menjadi sebuah syarat utama bagi terciptanya kemajuan dan keadaban manusia. Bahwa ilmu pengetahuan membangun sebuah jiwa kemanusiaan, bukan untuk meruntuhkannya.
Manusia dengan kesadaran akan dunia dan sekelilingnya, mencoba memahami dengan gerak akalnya. Bahwa dirinya adalah bagian dari manusia yang lain yang selalu mencoba memahami eksistensi diri di tengah kaumnya. Kini bukan ia sendiri dengan segenap ego pengetahuannya serta ego antroposentrisnya, tetapi ia telah bersama dengan manusia lainnya yang mengaburkan segenap identitas yang dimilikinya. Bahwa aku bukan seorang akademisi atau juga bukan dirimu yang memiliki kedudukan atau kekayaan. Aku dan kamu telah melebur bersama. Maka berfikirlah kini, bahwa aku dan kamu bukanlah apa-apa dan siapa-siapa karena kita telah melebur bersama manusia yang lain. Aku dan dirimu yang tak berwujud, bukan siapapun. Identitas yang kita banggakan selama ini bahkan bukanlah apapun dihadapan-Nya. Firman Allah:
“Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki.” (Qs. [30]: 54)