Puasa Ramadhan Dalam Suasana Pandemi Covid-19

Radhiya Bustan, M.Soc, Sc, P.Si.

Pandemi Covid-19 sudah memasuki tahun ke-2 melanda dunia. Sehingga puasa Ramadhan 1442 H kembali harus kita jalani dalam suasana pandemi. Kondisi pandemi ini tidak hanya berkaitan dengan fisik, tapi juga berdampak pada spiritualitas dan psikologis kita. Meskipun saat ini sudah ada vaksin untuk Covid-19 masuk ke Indonesia, namun kondisi ini belum bisa dikatakan aman karena masih memerlukan waktu agar vaksin dapat diberikan kepada seluruh masyarakat dengan berbagai pertimbangan kondisi kesehatan. Sehingga, protokol kesehatan harus tetap dijalankan dengan baik.

Secara fisik, ketika berpuasa dalam kondisi pandemi ini kita harus lebih menjaga pola makan sahur dan berbuka puasa yang bernutrisi dan tentunya yang halal lagi baik. Kemudian diikuti dengan berolah raga, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, istirahat yang cukup, serta beraktivitas yang positif dan dinikmati. Kemudian dengan melaksakan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, maka akan terbentuk pembiasaan hidup bersih yang merupakan bagian dari ajaran Islam, dimana kebersihan adalah sebagian dari iman.

Secara spiritual, dengan situasi pandemi ini suasana Ramadhan yang biasanya diisi dengan shalat tarawih dan witir berjama’ah, mendengarkan ceramah agama dan tadarus bersama di mesjid tidak dapat dilakukan karena harus menjaga physical distancing dan social distancing agar virus tidak menyebar. Di sisi lain, situasi seperti ini dapat kita manfaatkan agar lebih peduli satu sama lain, dengan saling membantu, bersedakah, bersilaturahmi, sehingga kita dapat bermanfaat bagi orang lain dan memberikan kebermaknaan hidup. Kita tetap bisa melakukan ibadah wajib dan sunnah secara maksimal dari rumah masing-masing, mengikuti kajian online, dan melakukan dzikrul maut sehingga dapat meningkatkan kesehatan mental kita agar lebih dekat dan tawakkal atas ujian Allah ini. Sebagaiman Firman Allah dalam surat Al Mulk ayat 1-2: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatunya. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Pada ayat tersebut jelas bahwa Allah menciptakan kehidupan dan kematian hanyalah untuk menguji kita, untuk melihat amal yang paling baik. Kemudian pada surat Al Imran ayat 139 juga Allah berfirman: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. Jadi janganlah kita merasa sedih, tertekan dan terpuruk yang berlebihan, karena sebagaimana janji Allah bahwa derajat orang-orang yang beriman adalah derajat yang paling tinggi di sisiNya.

Selain itu, suasana Ramadhan yang berbeda ini tentunya juga memberikan efek Psikologis bagi kita, karena merupakan suatu hal yang tidak biasa. Manusia ketika dihadapkan pada suatu kejadian yang tidak biasa, tekanan, ancaman, atau perubahan maka tubuh kita akan memberikan reaksi terhadap hal tersebut dan bisa menjadi sumber stres bagi kita atau disebut juga dengan stressor. Menurut Thoits (1994), stressor dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu (1) life events (peristiwa- peristiwa kehidupan), (2) chronic strain (ketegangan kronis), dan (3) daily hassles (permasalahan-permasalahan sehari-hari). Situasi pandemi saat ini merupakan kategori life events, dimana terdapat peranan perubahan-perubahan kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu yang singkat sehingga meningkatkan kerentanan pada penyakit (Lyon, 2012). Suatu peristiwa kehidupan bisa menjadi sumber stres terhadap seseorang apabila kejadian tersebut membutuhkan penyesuaian perilaku dalam waktu yang sangat singkat (Thoits, 1994). Ketika seseorang gagal menyesuaikan dengan situasi atau perubahan-perubahan yang secara ekstrim tersebut, maka timbullah dampak buruk, misalnya perasaan cemas. Kita mulai berpikir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, merasa gelisah, tidak nyaman, was-was, karena yang selama ini kita nikmati tiba-tiba hilang dan harus menghadapi situasi baru yang mungkin sangat sulit untuk diterima. Walaupun kondisi pandemi sudah berjalan cukup lama, dan sebagian orang sudah mulai dapat menyesuaikan diri, namun kemudian muncul sumber tekanan baru lagi dimana kita harus siap untuk kembali kepada aktivitas seperti semula yang membutuhkan adaptasi. Permasalahan psikologis seperti stress, depresi, cemas dan lainnya akan muncul apabila kita tidak mampu melewati masa adaptasi tersebut dengan baik.

Kenapa kita merasa mengalami permasalahan atau tekanan dalam hidup kita? Karena adanya tuntutan untuk menjadi sempurna. Padahal sebagaimana yang kita ketahui bahwa kesempurnaan itu hanyalah milik Allah. Sehingga, ketika kita sudah berusaha maksimal, maka kemudian kita harus menerima takdir Allah tersebut dengan hati yang Ridha dan tawakkal. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 216, yang menjelaskan bahwa boleh jadi sesuatu yang sangat kita benci, padahal ia amat baik bagi kita, dan boleh jadi (pula) ketika kita menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kita. Hanya Allah yang Maha Mengetahui, sedang kita tidak mengetahuinya.  Jelas bahwa kita tidak pernah tau apa yang ada di balik semua ujian yang diberikan Allah terhadap kita. Sebagai ummat Islam, kita meyakini bahwa segala sesuatu yang diturunkan Allah mempunyai hikmah dibalik hal tersebut, sehingga pandemi ini bisa dilihat sebagai cara Allah untuk mengingatkan hambaNya. Ketika kita bersabar, maka pertolongan Allah akan datang kepada kita. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 155-156: ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ”Inna Lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Sehingga seseorang akan dapat berlapang dada, bertawakkal, berprasangka baik atas segala ujian yang diberikan oleh Allah SWT, dengan terus berikhtiar mencari solusinya.

Dalam suasana pandemi ini apakah kita dapat menjalankan ibadah puasa secara maksimal atau bahkan kualitasnya menurun? Pandemi ini seharusnya tidak mengurangi ibadah kita dalam bulan penuh berkah ini. Apabila kita berfikir dan mengatakan bahwa semua ujian yang diturunkan Allah ini mempunyai hikmah dibalik itu semua, maka kita akan lebih berusaha untuk memaksimalkan ibadah kita. Melihat hal ini bukan sebagai halangan, namun justru bisa melihat sisi positifnya. Seperti dengan sebagian orang yang harus Work From Home (WFH) dan Study From Home (SFH), bisa dimanfaatkan sebagai waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga. Waktu yang biasanya habis dalam perjalanan (khususnya bagi yang bekerja dan tinggal di Jakarta dan sekitarnya yang penuh kemacetan), bisa dimanfaatkan untuk akitivitas lain yang lebih bermanfaat, dan menikmati udara yang lebih bersih karena aktivitas kendaraan umum dan polusi udara sudah berkurang. Shalat berjama’ah bersama keluarga, membaca Al Qur’an, mendengarkan ceramah agama, serta amal shaleh lainnya, bersenda gurau bersama keluarga, seorang Ayah dapat memberikan perhatian secara langsung kepada anaknya seperti untuk membantu belajar di rumah, yang mungkin selama ini sangat susah dilakukan karena kesibukan bekerja. Kemudian seorang Ibu bisa mengeluarkan kreativitasnya untuk menghidangkan masakan yang disukai keluarganya, anak dengan bahagia dapat berbagi cerita dengan orangtuanya serta aktivitas-aktivitas lainnya yang positif.

Namun di sisi lain, WFH dan SFH sendiri tentunya juga merupakan suatu perubahan pola dalam kehidupan kita, membuat jenuh, bosan, serta tuntutan baru yang membuat kita harus mampu beradaptasi. Apabila kita tidak melihat sisi positifnya, ini bisa menjadi sumber stres baru bagi kondisi psikologis kita. Sebagian ada yang mengalami penurunan penghasilan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Sehingga bisa menerjemahkan situasi pandemi ini sebagai sumber stres dan dapat menghambat berbagai aktivitas kita sehari-hari, baik dalam beribadah maupun dalam menjalankan fungsi sehari-hari. Disini kita harus ingat bahwa ”Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya” (Surat Al Baqarah: 286). Kita harus berprasangka baik atas semua ujian Allah tersebut. Manusia diberikan kelebihan dibanding makhluk lainnya, kita diberikan akal yang membuat kita seharusnya mampu mengatasi situasi ini dengan cara yang tepat sesuai dengan tuntunan Al Qurán dan Hadits. Manusia adalah makhluk yang unik dengan segala potensi yang ada pada dirinya. Salah satu potensi yang ada pada diri manusia adalah kemampuan untuk berpikir.

Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir rasional sekaligus juga mampu berpikir irasional (Ellis, 1979: 36). Menurut Albert Ellis, pakar dalam teori Rational-Emotive Therapy (RET), mengemukakan bahwa pikiran, emosi, perasaan, dan juga perilaku manusia saling berhubungan satu dengan yang lainnya. “Ketika seseorang beremosi, ia juga berpikir dan bertindak; ketika seseorang bertindak, ia juga berpikir dan beremosi; dan ketika seseorang berpikir, ia juga beremosi dan bertindak” (Ellis, 1974: 313). Karena antara pikiran dan emosi saling berhubungan satu dengan yang lain, maka diyakini bahwa gangguan emosi atau keadaan psikologis seseorang seperti stres disebabkan oleh pikiran-pikiran yang irasional dan tidak logis. Sebagaimana dalam ajaran Islam, bahwa bagaimana kita mengambil hikmah dari peristiwa yang kita hadapi, merupakan terapi dalam mengatasi masalah psikologis.

Hal ini juga diperkuat oleh Professor John Bargh seorang ilmuan Psikologi yang melakukan sebuah eksperimen bernama “Bargh Hallway Theory”. Eksperimen tersebut memperoleh temuan bahwa kata-kata mempunyai efek terhadap tubuh manusia. Ketika kita mengisi hari-hari dengan kata-kata positive, maka akan terpancar cahaya dan kejernihan di wajah kita, sebaliknya apabila kita sering mengucapkan sesuatu yang negatif, kekumuhan dan kesuraman akan terpancar di wajah kita. Manusia memiliki 1 triliyun sel, setiap hari mati kira-kira 30 Milyar sel, sehingga di hari ke-30 manusia itu akan berbeda dengan sel 30 hari sebelumnya. Dalam 30 hari, sel yang mati tersebut diganti dan akan tumbuh sel baru. Ketika sel baru tersebut tumbuh, dia netral sifatnya, kita manusia bisa menulis apapun di sel ini dengan pikiran dan kata-kata kita. Maka kalau dalam 30 hari kita mengatakan atau memikirkan hal-hal negatif dan mengeluh berulang-ulang, maka akan membuat tubuh kita dengan sel baru bereaksi sesuai dengan database yang dituliskan, sehingga orang tersebut akan kumuh, suram, tidak menyenangkan, putus asa, dll. Dan sebaliknya jika kita mengisi hari-hari kita dengan pikiran positif, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, memanjatkan do’a-do’a yang baik di bulan suci Ramadhan ini secara rutin selama 30 hari, maka kita akan terlihat bersinar, menyenangkan, opitimis dalam menjalani kehidupan dalam segala kondisi, termasuk pandemi Covid ini.

Terlihat bahwa inti ajaran agama Islam dapat menjawab semua permasalahan di dunia ini. Ketika di bulan Ramadhan ini kita menjalankan ibadah puasa dengan niat yang tulus karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, memaksimalkan ibadah, berdzikir, melantunkan ayat suci Al Qur’an serta mentadaburinya, berbuat baik kepada sesama, berfikir positif, dan dilakukan dengan benar-benar, tanpa berfikir bahwa pandemi Covid-19 menjadi sebuah penghalang, maka akan terjadi subconscious reprogramming atau memprogram alam bawah sadar kita untuk terus melakukan hal-hal positif tersebut. Sehingga setiap orang yang melakukan hal tersebut akan kembali menjadi fitrah menyambut hari Raya Idul Fitri nanti, dengan menjadi manusia baru yang sudah di program selama 1 bulan Ramadhan.

Untuk itu, di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, marilah kita sama-sama mengambil hikmah dari apa yang sudah diturunkan Allah kepada kita saat ini, menerjemahkannya dari sisi positif, sehingga Ramadhan ini bisa menjadi moment untuk melakukan refleksi diri, bermuhasabah, bersyukur serta memulai hidup baru dan pembiasaan perilaku baru yang lebih baik, lebih produktif, dan bertekad untuk menciptakan sebuah pola hidup yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, InsyaAllah.