Al-Mutakabbir : Yang Memiliki Kebesaran

Muhammmad Ridhwan, M.Ag

“Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Dia Maharaja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” QS. al-Hasyr [59]: 23

Al-Mutakabbir adalah satu dari sembilan-puluh sembilan asma al-husna (nama-nama yang baik) bagi Allah. Secara leterlek banyak ulama mengartikan al-Mutakabbir sebagai Yang Maha Memiliki Kebesaran. Quraish Shihab dalam Menyingkap Tabir Ilahi mengulas Sifat al-Mutakabbir (Yang Memiliki Kebesaran) dan memberikan arti “angkuh”. Menurutnya berdasarkan kutipan dari ahli Bahasa bahwa mutakabbir berarti Yang Maha Besar. Sisipan huruf ‘ta’ pada kata dalam Bahasa Arab, maka ia akan bermakna takalluf (kesengajaan membuat-buat), sedangkan Allah Mahasuci dari perbuatan tersebut.  Tidaklah mungkin Allah membuat-buat kebesaran-Nya sementara pada hakikatnya Ia Mahabesar dan Mahaagung, serta menyandang gelar kibriya. Manusialah yang melekat sifat takabbur, bukan Allah. Manakala manusia sudah angkuh dan menyombongkan dirinya, maka ia telah membuat-buat kebesaran itu untuk dirinya. Padahal ia tidak memiliki kebesaran tersebut.  (Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 1998)

Imam al-Ghozali berpendapat bahwa mutakabbir adalah mereka yang memandang selain dirinya hina dan rendah sebagaimana raja memandang hamba sahaya. Sifat ini hanya layak dimiliki Allah, tidak untuk manusia. Manusia akan menjadi sangat tercela bila memiliki sifat takabbur/sombong/angkuh. Manusia yang takabur menggabungkan dalam dirinya kebodohan dan kebohongan. Kebodohan karena tidak mengetahui bahwa kebesaran hanya milik Allah, dan kebohongan karena membohongi dirinya sendiri.

Namun Imam al-Ghozali tidak menutup pintu bagi mereka yang ingin meneladani sifat Allah –baca: al-mutakabbir–, menurutnya yang mutakabbir dari hamba-hamba Allah adalah mereka yang Zahid, mereka yang menjauhkan diri dari kenikmatan dunia lagi seorang yang ‘arif. Zuhudnya seorang ‘arif adalah dengan melepaskan diri dari apa yang dapat menyibukkan dirinya dari apa yang diperebutkan orang. Ia akan memandang kecil dunia dan akhirat, sehingga ia tidak disibukkan dari kedua urusan tersebut, ia hanya fokus kepada Allah SWT, kepada keridhaan-Nya. Sementara zuhudnya orang yang belum ‘arif, adalah dalam wujud pertukaran. Ia menukar kenikmatan dunia dengan akhirat. Orang yang mutakabbir dalam posisi ini adalah mereka yang diperbudak oleh syahwat makanan dan pernikahan, maka ia menjadi hina. Mereka akan memandang hina dan rendah, semua didasarkan kepada nafsu dan syahwat. (Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 1998)

Jenis Kesombongan

Setidaknya terdapat tiga jenis kesombongan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kesombongan yang pertama adalah kesombongan karena merasa sudah sempurna atau merasa sudah melakukan hal yang baik. Kesombongan ini akan berakibat terhentinya usaha-usaha memperbaiki diri. Seseorang yang dihinggapi kesombongan seperti ini kelak tidak dapat berinterospeksi atas kesalahan dan kealpaannya karena ia merasa paling baik dan benar. Kesombongan yang kedua adalah merasa tidak memerlukan pertolongan orang lain apalagi kalau seseorang tersebut merasa tidak perlu pertolongan Tuhan. Kesombongan ini cenderung akan berakibat seseorang itu meremehkan orang lain. Kesombongan ketiga adalah keinginan untuk menonjolkan diri sendiri. Dampak dari sikap ini adalah ia tidak akan mau mengakui kehebatan orang lain. Kesombongan ini adalah kesombongan yang berhubungan dengan gengsi. Kesombongan karena ingin lebih dari orang lain, kelebihan ilmu (kepandaian), lebih kaya, lebih banyak beramal. Hal inilah yang dirilis dalam QS. al-Ma’un [107]: 1-7. Kesombongan akan menghancurkan hubungan antarpribadi. (Yusuf, 1985)

Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam al-Ghozali menyebutkan empat bahaya dari sifat sombong. Pertama, kesombongan dapat menghalangi seseorang dari kebenaran dan menutup mata hatinya. Hal ini berakibat ia tidak dapat memahami ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya. Disebutkan dalam QS. al-A’raf [7]: 146, “Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar.” juga dalam QS. Gafir [40]: 35, “(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai pada mereka. Sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang-orang yang sombong dan berlaku sewenang-wenang.” Kedua, kesombongan akan menyebabkan kebencian dan kemurkaan Allah, lihat QS. al-Nahl [16]: 23. Ketiga, kesombongan akan menyebabkan kehinaan dan siksa di dunia dan akhirat. Imam Hatim al-Asham berkata: “Hindarilah olehmu perjumpaan dengan kematian dalam tiga keadaan, yaitu sombong, tamak, dan angkuh. Sesungguhnya orang yang sombong tidak akan dibiarkan oleh Allah untuk meninggalkan dunia sebelum ia dihinakan oleh keluarga, kerabat, dan para pelayannya.” Keempat, kesombongan akan membawa mereka ke neraka jahanam. (al-Ghozali, 2013)

Jahannam adalah tempat bagi mereka yang sombong

Dalam QS. al-Nahl, al-Quran menggunakan dua kata berbeda yakni kata mutakabbirin dan mustakbirun untuk menunjukkan sikap sombong, yang tentu saja berbeda maknanya. Pada QS. al-Nahl [16]: 29 Allah menggunakan kata al-mutakabbirin sedangkan pada QS. al-Nahl [16]: 23 menggunakan kata al-mustakbirun. Al-mustakbirun mengisyaratkan kaum musyrikin yang menampakkan keangkuhannya, sedangkan al-mutakabbirin mengindikasikan jangankan menampakkan keangkuhan, yang angkuh saja tidak wajar menghuni neraka. Dalam konteks inilah Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga siapa yang terdapat dalam hatinya walau sebesar dzarrah dari keangkuhan.

Lalu rujuklah QS. al-Kahfi [18]: 103-106, “Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatan-perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka, hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu Neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” QS. Al-Kahfi [18]: 103-106

Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab merangkumkan sepuluh ayat terakhir surah al-Kahfi ini menegaskan tentang bagaimana Allah akan memperlihatkan Neraka Jahannam bagi orang-orang kafir, yakni mereka yang ketika hidup di dunia tidak menggunakan mata mereka untuk melihat kebesaran Allah. Mereka selalu tertutup dan lengah akan peringatan-peringatan Allah, bahkan tertutup pula telinganya sehingga tidak sanggup mendengar.

Allah menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan tanpa iman kepada Allah akibat kekufuran tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan dilabeli sebagai orang-orang yang merugi. Kerja keras dan perbuatan baik yang dilakukan tidak bernilai apa-apa.  Ketiadaan iman karena kesombongan merasa segala sesuatu dapat ia peroleh sendiri sehingga ia tidak mempercayai hari pembalasan. (Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 2009)

Sombong adalah penyakit mental yang sangat berbahaya. Penyakit sombong ini bisa menjerumuskan seseorang dalam kekafiran dan kesesatan. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan ada tiga bentuk kesombongan. Pertama, sombong terhadap Allah Azza wa Jalla karena kedunguan dan kezaliman, ia memberi contoh pada perilaku Fir’aun dan Namrud. Kedua adalah sombong kepada para Rasul dengan menolak kerasulannya. Ketiga adalah sombong terhadap manusia dengan merasa lebih hebat dan cenderung meremehkan orang lain. Menurutnya, ketiga sifat sombong ini sangat tercela karena takabbur dan sombong hanyalah milik Allah semata. Kesombongan dapat membuat seseorang menjadi ingkar akan nikmat Allah, enggan menjalankan perintah-Nya, bahkan berpaling dari kebenaran. (Az-Zuhaili, 2014)

Dalam QS. al-Isra [17]: 37-38, Allah mengharamkan sifat takabbur (sombong/angkuh) dan melarangnya dengan sangat keras. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan sekali-kali tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.”

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat dengan majelisku di Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dengan majelisku di hari Kiamat adalah al-Tsartsarun (mereka yang suka berbicara panjang lebar/berlebihan), al-Mutasyaddiqun (mereka yang suka berbicara sambil menyunggingkan kedua bibirnya dengan tujuan sombong dan merendahkan orang lain), dan al-Mutafayyahiqun. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tahu arti Tsartsarun dan al-Mutasyaddiqun, lalu apa al-Mutafayyahiqun itu? Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang sombong.”

Adapun Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Karena itu, siapa saja yang melepaskan salah satu dari keduanya maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka.’”

Sehingga dari ayat al-Quran dan riwayat Nabi dapat disimpulkan bahwa sombong dapat menjadi sebab seseorang itu akan masuk neraka, sebagaimana riwayat dari Bukhari dan Muslim dari Haritsah bin Wahab r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, aku akan mengabarkan siapa penghuni neraka? Dia adalah orang yang kasar, keras, dan sombong.”

Kemudian orang yang sombong akan dijauhkan dari rahmat Allah. Dalam hadits Riwayat Muslim dan Nasa’i dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Tiga orang yang kelak  pada hari kiamat Allah enggan berbicara dengan mereka, tidak mau menyucikan, tidak akan melihat mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka adalah orang tua yang berzina, penguasa pembohong, dan orang miskin yang sombong.”

Hadits di atas diperkuat dengan hadits lain riwayat Ahmad, dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.”

Kiat menghindari Kesombongan Diri

Sedemikian mengerikannya azab yang akan ditimpakan bagi perilaku sombong. Yusuf dalam bukunya Kita dan Islam mengemukakan tiga cara agar seseorang itu dapat terhindar dari sifat sombong. Pertama, ia harus merasa dan mengakui kelemahan-kelemahannya. Dalam memandang prestasi yang diraih, ia seharusnya tidak merasa bahwa prestasi tersebut adalah jerih payahnya sendiri dengan menafikan peran orang lain. Ia juga harus meyakini bahwa keberhasilan tersebut adalah karunia dari Allah. Kedua, ia harus beribadah dan terus mengingat Allah. Hal ini tentu saja menjadikan Allah berada di atas segala sesuatu. Seseorang yang senantiasa beribadah dan mengingat Allah akan menghancurkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Ketiga, ia harus mengembangkan sikap keterbukaan untuk menerima kritik. Membangun sikap menerima kelebihan orang lain dan menerima kekurangan yang ada dalam dirinya. (Yusuf, 1985)

References

al-Ghozali. (2013). Minhajul Abidin (terj). Jakarta: Khatulistiwa Press.

Az-Zuhaili, W. (2014). Ensiklopedia Akhlak Muslim: Berakhlak Terhadap Sesama dan Alam Semesta. Jakarta: Noura Books.

Shihab, M. Q. (1998). Menyingkap Tabir Ilahi. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Yusuf. (1985). Kita dan Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.