Selintas Perkembangan Islam di Jepang

Dr. Sandra Herlina, M.A

Dari buku sejarah diketahui bahwa Islam masuk ke Jepang di pertengahan abad ke-20. Setelah masuknya Islam, Jepang memperlihatkan perkembangan yang cukup baik sebagai negara yang memiliki agama lokal atau agama geografis. Dibanding negara Asia lainnya, Islam merupakan agama samawi yang paling akhir yang masuk ke negara Jepang. Walaupun demikian Jepang tidak melakukan penolakan dengan masuknya agama Islam.

Beberapa tokoh Jepang mengatakan bahwa dalam budaya dan tradisi masyarakat Jepang, terdapat kesesuaian dengan ajaran-ajaran dan tradisi Islam. Namun, kentalnya budaya yang sudah turun-temurun di Jepang tidak membuat masyarakat Jepang menganut agama Islam dengan mudah, karena pada kenyataannya jumlah penganut Islam di Jepang tidak begitu signifikan. Dari data tahun 2019, pemeluk Islam di Jepang hanya terdapat 230 ribu dari total penduduk sekitar 120 juta jiwa. Dari jumlah ini hanya 10% penganut dari orang Jepang. Kebanyakan latar belakang orang Jepang menjadi muslim atau menganut Islam antara lain karena pernikahan atau yang lainnya.

Dalam catatan sejarah, terdapat tiga orang Jepang yang menjadi pemeluk agama Islam pertama di Jepang, yaitu Torajiro Yamada pada tahun 1890, melakukan kunjungan ke Turki dan mengganti namanya menjadi Abdul Khalil setelah memeluk Islam dan ibadah Haji ke Mekkah. Kemudian ada Mitsutaro Takaoka, yang di tahun 1909 berkunjung ke Mekkah, kemudian memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka. Bumpachiro Aruga di tahun yang sama memeluk agama Islam setelah pulang dari India kemudian mengganti namanya menjadi Ahmad Aruga. Ketiga orang tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar di awal perkembangan Islam di Jepang

Kebebasan beragama di Jepang merupakan satu faktor yang mendukung dalam perkembangan Islam di Jepang. Terbukti dalam perkembangannya, masuknya Islam di Jepang tidak terdapat catatan adanya penolakan ataupun benturan-benturan budaya yang signifikan. Bahkan pemerintahan pun menjamin rakyat untuk mendapatkan dan melaksanakan kebebasan beragama. Namun apabila ditinjau lebih dalam, kehidupan beragama di Jepang cukup kompleks disebabkan masyarakat Jepang menganut politeisme dalam keagamaannya. Jumlah keberadaan agama dan kepercayaan di Jepang cukup banyak sehingga seringkali dijuluki sebagai museum agama.

Dalam penyebaran dan perkembangannya, agama Islam di Jepang lebih banyak dianut oleh kaum pendatang seperti dari Turki, Pakistan, Iran, Indonesia dan lainnya. Para pendatang yang masuk ke Jepang memiliki beragam alasan dan tujuan, seperti orang-orang Turki yang terdampar di perairan Kushimoto-cho, Wakayama karena badai besar di tahun 1890-an. Di tahun 1935 setelah PD I dibangun masjid pertama di Kobe yang kemudian diikuti dengan keberadaan masjid-masjid lainnya yang lebih dari 100 jumlahnya hingga sekarang. Dalam pembangunan masjid di Jepang, orang Indonesia yang bermukim di Jepang banyak yang terlibat, salah satunya adalah Prof. Dr. Zuhal –pendiri Universitas Al-Azhar Indonesia–, turut berperan aktif dalam pendirian salah satu masjid di Tokyo tahun 1960-an pada saat beliau menempuh pendidikan di sana.

Tahun 1973 dikenal dengan istilah Islam Boom yang terjadi setelah oil shock. Oil shock atau krisis minyak terjadi di Jepang setelah Perang Dunia Kedua, dikarenakan Persatuan Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak (OPEC) melakukan embargo minyak sebagai bentuk protes terhadap Amerika Serikat yang membantu Israel dalam perang Yom Kippur. Akibatnya harga minyak melonjak empat kali lipat sehingga membuat Jepang yang mendapatkan minyak lebih dari 70% untuk memperbaiki kerusakan industri dari negara muslim di Timur Tengah mengalami krisis minyak. Setelah oil shock terjadi, banyak media Jepang mulai menyebarkan berita mengenai Islam dan pengaruh negara Arab terhadap ekonomi Jepang. Disitulah masyarakat Jepang mulai mengenal dan menyaksikan kehidupan masyarakat muslim di Arab seperti ibadah Haji di Mekkah, adzan sebagai panggilan untuk shalat dan mendengarkan lantunan ayat al-Quran.

Dewasa ini, penganut Islam yang paling banyak di Jepang adalah masyarakat Indonesia yang bermukim di sana, diikuti masyarakat dari negara-negara lainnya. Di awal tahun 2020, di tempat-tempat umum mulai dibangun fasilitas yang diperuntukkan kepada kaum muslim berupa ruang ibadah dan juga halal corner di supermarket dan restoran halal yang membuat kaum muslim merasa aman dalam beribadah maupun konsumsi makanan yang dijual di negara Jepang.

Berdasarkan hal tersebut sekarang Jepang menjadi tujuan pariwisata yang cukup populer di kalangan muslim, hal ini menjadi bagian yang penting untuk negara Jepang dari segi pemasukan negara dengan adanya Abenomic salah satunya paradigma perubahan ekonomi Jepang dari produk ke jasa dan pelayanan. Untuk itu, dalam memberikan fasilitas dan pelayanan yang terbaik bagi kaum muslim merupakan bagian dari soft diplomacy Jepang terhadap negara-negara muslim, yang turut mempengaruhi perkembangan Islam di Jepang.

Walaupun Jepang bukan negara dengan mayoritas muslim, namun ramah untuk pendatang muslim . Dengan jumlah masjid atau musholla yang banyak, fasilitas untuk kaum muslim di Jepang terbilang sangat memadai dibanding dengan negara minoritas muslim lainnya. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah yaitu menjadikan Jepang sebagai negara yang moslem friendly.

Jauh sebelum Jepang mengenal Islam, budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Jepang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Islam. Budaya-budaya tersebut hadir dan menjadi suatu kebiasaan yang turun temurun hingga kini tanpa disadari oleh orang Jepang itu sendiri bahwa adanya kesamaan dengan nilai-nilai Islam. Berikut sepuluh Budaya Jepang yang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Islam, meliputi: (1) Disiplin atau kiritsu, (2) Budaya malu atau haji no bunka, (3) Pekerja keras atau hatarakimono, (4) Kerjasama atau kyoudou sagyou, (5) Tanggung jawab atau sekininkan, (6) Toleransi atau kanyou, (7) Kebersihan atau seiketsu, (8) Mengutamakan cinta kasih atau aijo, (9) Kewajiban anak kepada orang tua atau onjoshugi, dan (10) Etika atau reigi.

Perilaku masyarakat Jepang menunjukkan ketidakpedulian akan suatu kepercayaan keagamaan, akan tetapi faktanya segala kegiatan orang Jepang selalu berhubungan dengan kegiatan keagamaan seperti nilai-nilai di atas. Yamamoto Ikuro dalam penjelasannya mengatakan bahwa ciri utama agama masyarakat Jepang yaitu terdapat interaksi mutual atau bentuk ketertarikan masyarakat Jepang dalam menerima suatu tradisi keagamaan karena dipandang sebagai unsur pelengkap pada tradisi agama sebelumnya di antara beberapa tradisi keagamaan. Seperti dalam kepercayaan Shinto yang terbentuk dari tradisi masyarakat yang berupa ketergantungan terhadap alam, sehingga kegiatan religi yang dilakukan pun sebagian besar berupa interaksi dan pemujaan terhadap terhadap alam atau shizen kan. Dalam kondisi ini agama Islam mengatur hubungan sosial di antara manusia yang mengatur aspek kehidupan di bidang keluarga, kemasyarakatan, politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain yang tidak diatur dalam kepercayaan Shinto.

Perkembangan agama Islam saat ini didominasi dengan keberadaan masjid-masjid, Musolla dan Islamic center yang menjadi peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Jepang. Islamic center berfungsi sebagai tempat menyiarkan agama Islam seperti dakwah dan wadah untuk orang Jepang yang ingin mengetahui atau memperdalam ilmu mengenai agama Islam dengan bimbingan dari pihak Islamic Center. Di sana juga menyediakan berbagai fasilitas untuk masyarakat umum khususnya orang Jepang, seperti tempat diskusi dan buku-buku mengenai Islam dengan jumlah yang besar yang menggunakan bahasa Jepang. Fasilitas ini adalah penunjang untuk perkembangan penyebaran agama Islam di Jepang yang menjadi penyebab dari lambatnya perkembangan Islam pada saat pertama kali masuk ke Jepang.

Dapat dikatakan bahwa walaupun orang Jepang Jepang serbagai Muslim tidak begitu banyak, namun perkembangan agama Islam di Jepang saat ini memiliki kemajuan yang cukup signifikan yang dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti dengan adanya fasilitas yang bersahat untuk para kaum Muslim antara lain pariwisata Moslem friendly, penyediaan wadah untuk mempelajari agama Islam di masjid maupun islamic center, dan semakin mudahnya menemukan buku-buku mengenai Islam di berbagai tempat yang berbahasa Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Alan Dowty, 2000, Japan and The Middle East: Sign of Change?, Middle East Review of International Affairs, Vol. 4, No. 4 (December 2000), p.67, http://www.rubincenter.org/meria/2000/12/dowty.pdf.  

Berita Harian Singapura, 24 Mei 2010. https://ari3f.wordpress.com/2010/05/26/islam-di-jepang/ .

Mukti Ali. 1981. Agama Jepang. Bagus Arafah. Yogyakarta.