Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, SH., M.Hum*) Ramdhan Muhaimin, S.Sos., M.Soc. Sc**)
Hegel dan Dialektika
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) adalah salah seorang filsuf besar Jerman yang melahirkan gagasan berpikir tentang fenomenologi dan dialektika. Pemikirannya mempengaruhi beberapa pemikir filsafat lainnya seperti F. Engels dan Karl Marx. Hegel menjadi Profesor Filsafat di Universitas Heidelberg dan kemudian menjadi professor filsafat di Universitas Berlin. Pemikiran tentang manusia, sejarah, dan dialektika menjadi sebuah gagasan besar dalam dunia filsafat (Hidayat, 2020 dan Xie, 2021).
Bagi Hegel manusia dan sejarah adalah sebuah rasionalitas yang saling terhubung dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Tidak ada sebuah peristiwa yang tampak hadir tanpa terhubung secara rasional dengan sebuah peristiwa lainnya. Setiap zaman memiliki sebuah kesadaran tersendiri, dan adanya perubahan sebuah kesadaran akan melahirkan sebuah peristiwa yang baru. Setiap peristiwa memiliki nalarnya sendiri, dan ketika kesadaran berubah maka perubahan itu melahirkan sebuah kesadaran yang baru dan berujung pada terjadinya sebuah peristiwa yang baru.
Sejarah bagi Hegel bukanlah sekedar rangkaian peristiwa semata, sejarah baginya adalah sebuah rangkaian kesadaran. Semua kejadian peristiwa bergerak secara berpola dan tidak acak, setiap peristiwa sejarah berubah dari satu perisitiwa ke peristiwa itu pasti membentuk pola yang dapat diterima secara rasional. Hegel meminta untuk memahami pola yang terjadi dibalik hadirnya sebuah peristiwa. Lahirnya suatu peristiwa sejarah disebabkan oleh sesuatu kejadian yang rasional yang menyebabkan peristiwa sejarah itu terjadi.
Ambil contoh terjadinya kemerdekaan Indonesia tidak sekadar tiba-tiba merdeka, melainkan adanya sebuah rasionalitas sejarah yang mendorong terjadinya sebuah peristiwa lebih dahulu sebelum proklamasi kemerdekaan itu diucapkan. Proklamasi kemerdekaan diawali oleh adanya sekolah dan pendidikan bagi para bumi putera yang mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa. Ketika para pemuda mendapatkan pendidikan disitulah mereka memiliki sebuah kesadaran akan adanya penindasan dan perlu dilawan dengan kesadaran nasional. Setelah itu mendorong terciptanya sebuah sumpah pemuda untuk mengukuhkan persatuan hingga berujung pada terciptanya sebuah kemerdekaan. Penjajahan adalah tesis, para pemuda yang mendapatkan pendidikan sehingga melahirkan kesadaran nasional menjadi anti-tesis penjajahan, dan kemerdekaan adalah sintesis. Inilah nalar sejarah sebagai sebuah dialektika kemerdekaan Indonesia yang dapat diterima secara logis.
Inilah dialektika manusia, bahwa perubahan suatu peristiwa yang dijalani oleh manusia akan berubah menuju pada sebuah peristiwa yang baru adalah sebuah dialektika. Dialektika adalah sebuah proses dari sebuah keadaan yang disebut tesis, dan ketika muncul kesadaran untuk berubah karena menganggap perlunya sebuah perubahan untuk menjadi lebih baik adalah sebuah anti tesis. Hasil dari perubahan dari sebuah peristiwa lama, menjadi sebuah peristiwa baru adalah sebuah sintesis. Inilah sebuah perjalanan sejarah manusia yang menuntut dirinya untuk selalu terus berubah dari sebuah tesis, menjadi anti tesis, hingga menghasilkan sintesis. Sintesis pun akan kembali menjadi sebuah tesis (Alroggen, 2020).
Di dalam hukum dialektika terdapat negasi, munculnya anti-tesis adalah bentuk dari penolakan atau negasi atas sebuah tesis yang telah berjalan. Proses penolakan atau negasi atas tesis akan memunculkan sebuah kontradiksi, akan tetapi kontradiksi oleh anti-tesis terhadap tesis pada titik tertentu akan menemukan sebuah kesepakatan atau mediasi di antara keduanya. Kesepakatan yang diraih adalah sintesis sebagai jalan keluar dari pertarungan antara tesis dan anti-tesis dalam dialektika.
Perubahan ini diawali oleh sebuah kesadaran manusia untuk berubah dan berkembang. Perkembangan manusia yang ada di dunia adalah ruh dunia, sebuah kesadaran akan akal dunia yang menyadari dirinya sendiri. Ruh dunia selalu berubah dan selalu berkembang ke arah yang semakin rasional. Semakin ke belakang adalah sebuah kesadaran irasional, dan hal itu adalah wajar karena sebuah peristiwa sejarah masa lalu adalah sebuah kesadaran ruh dunia masa lalu yang tidak dapat dilihat dari optik masa kini (Hegel, 2014:20-21). Untuk itu Hegel menyatakan: What is reasonable is real, that which is real is reasonable. Sesuatu yang masuk akal itu pasti sebuah realita, sedangkan realita itu sendiri selalu masuk akal (Xie, 2021).
Kesadaran manusia yang selalu berubah sebagai sebuah roh dunia (roh yang dimaksud oleh Hegel bukanlah nyawa seperti yang dipahami oleh ajaran agama pada umumnya, roh bagi Hegel adalah sebuah perjalanan sejarah bagi sebuah objek untuk menyadari dirinya sendiri, dalam istilah lainnya juga disebut sebagai mind). Ketika anda melihat sebuah jam dinding yang terdiri dari deretan angka, sebuah lapisan kaca, beberapa jarum penunjuk, dan segala atribut yang ada di dalam jam lainnya itu semua tidak disadari oleh jam itu sendiri bahwa dia disebut sebagai jam dinding. Jam dinding itu tidak dapat menyadari dirinya sendiri bahwa dia adalah jam dinding. Manusia yang berakal menyebutnya sebagai jam dinding, sehingga kesadaran manusia sesungguhnya yang menjadikan ia disebut sebagai jam dinding. Kesadaran dalam akal manusia yang menyebut benda itu sebagai jam dinding itulah yang disebut roh (spirit) oleh Hegel. Dalam kaitan dengan sejarah, bagi Hegel sejarah adalah kesadaran roh (spirit atau mind) untuk menyadari dirinya sendiri (Hegel, 2014).
Sejarah dunia bagi Hegel adalah sejarah roh (spirit) itu sendiri, yaitu kesadaran akan adanya sebuah gerak dialektika yang menuntut terus terciptanya sebuah perubahan dari tesis menuju pada anti tesis hingga berujung pada penciptaan sintesis. Ide dan akal manusia dimana ia berisi beragam kesadaran yang membentuk sebuah peristiwa adalah roh atau spirit. Perubahan yang terjadi dalam spirit didorong oleh adanya kehendak manusia yang berkarakter subjektif. Kesadaran yang memunculkan sebuah kehendak ini menjadi sebuah bahan bakar terjadinya perubahan.
Ekstremisme dan Kesadaran Dialektika
Perilaku ekstremisme atas nama agama dan separatisme tidak hadir dengan sendirinya tanpa didorong oleh sebuah kehendak sadar. Munculnya perilaku kekerasan yang mendasarkan pada gerakan kekerasan ekstremisme bersenjata baik dalam kasus terorisme agama maupun tindakan kekerasan di Papua merupakan bentuk dari kesadaran dialektika. Munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan anti-tesis dari bergabungnya Papua ke dalam wilayah Indonesia. Pergumulan dan pertarungan ide atas nama semangat Papua dan bertemunya nasionalisme kebangsaan Indonesia menjadi sebuah negasi yang bertarung antara tesis dan anti-tesis.
Penciptaan perdamaian sebagai sebuah sintesis masih terus diupayakan sebagai sintesis dari pertemuan antara tesis dan anti tesis ke dalam sintesis. Penciptaan kehendak manusia sebagai manusia yang merdeka tidak dapat dilepaskan liar tanpa berada dalam sebuah negara yang mengayomi kehendak bebas setiap subjek individunya. Bahwa kemerdekaan sebagai anti-tesis dari penjajahan yang membentuk sebuah kehendak bebas haruslah berada dalam sebuah konsep yang bernama negara (State) bagi Hegel. Negara hadir sebagai bentuk perlindungan atas kebebasan manusia, dan ia tidak hadir untuk menindas kebebasan manusia. Negara sebagai sebuah organisasi manusia dijalankan untuk mewujudkan kebebasan individu walau tidak dengan mengganggu sebuah kebebasan umum (Hegel, 2014). Pemerintah pusat telah menawarkan beragam bentuk perdamaian dari model otonomi khusus hingga penciptaan kesejahteraan melalui pembangunan bagi masyarakat Papua.
Perlu dipahami pula bahwa hadirnya Negara Indonesia adalah sebuah sintesis dari adanya sebuah penjajahan, dan sejak itu negara dibangun untuk menjamin kebebasan individu dan masyarakat sipil yang terus berkembang di dalamnya. Kebebasan yang dibangun secara subjektif dalam negara bukan sebuah perilaku absolut, melainkan menjamin kebebasan sebuah hak individu tanpa mengganggu kebebasan umum secara objektif. Kebebasan individu untuk dapat memiliki benda adalah bentuk dari kebebasan yang diberikan oleh negara terhadap dirinya. Negara tidaklah hadir untuk sekedar memberikan batasan melainkan ia hadir sebagai bentuk entitas yang menjamin seseorang untuk memperoleh kepemilikan atas suatu benda. Disinilah terlihat peran hukum yang berfungsi sebagai pengendali hak kebebasan individu dalam berinteraksi dengan kebebasan umum. Negara dengan segenap norma hukum yang ada dan diletakkan dalam ruang masyarakat sipil di Papua adalah untuk menjaga harmonisasi dalam relasi antar masyarakat sipil yang terus tumbuh. Ia tidak menindas, melainkan menjadi sebuah kebutuhan manusia untuk menjaga nilai-nilai keharmonisan yang ada. Negara bagi Hegel adalah bentuk dari substansi etis yang sadar diri, dan ia tersusun atas satuan-satuan masyarakat sipil yang berbeda-beda. Negara adalah realisasi dari ide kesusilaaan yang mempersatukan keluarga dalam bentuk masyarakat yang luas. Dalam konstruksi Hegel sebuah Negara hadir bukan untuk menindas hak-hak masyarakat sipil dan individu, ia memberlakukan hukum sebagai bentuk untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sipil di Papua. Negara hadir untuk mengatur agar relasi yang terjadi di antara masyarakat sipil dalam negara tidak merugikan kepentingan siapapun (Sugihartati, 2013).
Tindakan Organisasi Papua Merdeka dalam bentuk teror, pembunuhan terhadap warga sipil dan tokoh agama, adalah bentuk dari sebuah pemaksaan atas hadirnya kehendak bebas di tengah hadirnya kehendak bebas umum manusia. Ruang kesadaran untuk memaknai Papua sebagai sebuah ruang hidup bersama bagi sesama makhluk dapat terwujud dalam sebuah negara yang memberikan jaminan terhadap hak warganya melalui hadirnya hukum. Maka eksistensi hukum adalah sebuah bentuk dari kesadaran sejarah, bahwa manusia yang menentukan terjadinya peristiwa dalam kesadarannya dikendalikan oleh hukum-hukum tertentu sebagai proses pengendalian kebebasan manusia.
Kehendak OPM untuk merdeka berhadapan dengan kehendak warga Papua untuk hidup damai di Indonesia. Bahwa proses integrasi Papua ke dalam Indonesia juga bentuk dari sebuah kesadaran historis. Masuknya pasukan TNI di awal perebutan Irian Barat untuk menyingkirkan Belanda dari tanah Papua juga mendapat bantuan dan sambutan yang sangat baik dari warga Papua sendiri (Pamungkas, 2015). Konsep menyatunya beragam ras ke dalam sebuah negara merupakan kesadaran akan perlunya perlindungan individu dan pembentukan masyarakat sipil. Menyatunya beragam ras, etnis, agama, dan golongan ke dalam sebuah negara merupakan sebuah hal yang reasonable atau masuk akal. Dalam negara yang beragam itu setiap pihak akan mencoba membangun hubungan dinamis. Setiap komponen yang tidak mampu beradaptasi dalam proses bernegara, maka dia akan teralienasi dan semakin terpinggirkan dalam kancah pergaulan antar anak bangsa.
What is reasonable is real, that which is real is reasonable. Sesuatu yang masuk akal itu pasti sebuah realita, sedangkan realita itu sendiri selalu masuk akal. Realita bahwa Papua sudah merdeka dan menjadi bagian sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan yang masuk akal dalam pendekatan Hegel. Maka kini yang dibutuhkan oleh Organisasi Papua Merdeka adalah kesadaran realitas, dan tidak terjebak oleh konsep irasional dalam melihat sejarah Papua. Ketika kesadaran realitas tidak tercapai maka ia akan teralienasi dalam lingkungannya, sebuah kesadaran atas hadirnya sebuah kehendak masyarakat Papua untuk menyatu dalam sebuah Negara Indonesia. Kesadaran sebagai roh sejarah terwujud dan terekam dalam akal pikiran manusia. Maka kesadaran akan sejarah Papua terekam dalam akal bangsa untuk menentukan makna Papua sebagai sebuah tanah yang damai dan lepas dari segala macam tindakan teror dan pembunuhan.
Perjalanan panjang Papua sebagai sebuah kesadaran manusia untuk mampu bertindak dalam ruang kedamaian dan bukan penindasan. Perubahan sebuah proses sejarah sebagai kesadaran roh untuk mampu memahami dirinya sendiri perlu dipahami oleh para pelaku teror OPM di Tanah Papua. Bahwa tanah Papua disadari sebagai tanah kedamaian dan bukan ladang pembunuhan dan dehumanisasi. Apa makna yang ada di dalam rasionalitas akal para pelaku teror tentang Papua? Apakah para pelaku teror memberikan makna Papua sebagai sebuah fenomena tempat pembunuhan dan proses dehumanisasi? Kesadaran seperti apa yang terbangun dalam nalar rasionalitas OPM untuk melakukan tindakan teror terhadap warga sipil?
Jika hadirnya sebuah nalar membentuk sebuah Negara Papua Merdeka karena adanya kesamaan budaya dengan ras Melanesia dan berbeda dengan ras Melayu dan itu menjadikan OPM bergerak untuk membunuh, apakah bangunan sejarah negara yang hendak dihadirkan oleh OPM adalah sebuah negara yang terbangun di atas teror dan pembunuhan? Nalar rasionalitas mana yang menghendaki sebuah bangunan didirikan di atas pembunuhan dilakukan sendiri terhadap sesama warga sipil di Tanah Papua? Masyarakat Papua sedang menghadapi sebuah proses membangun tanah Papua yang damai, dan di tengah kedamaian itu sejatinya tidak terjadi proses dehumanisasi terhadap saudara sebangsa.
Di awal proses integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia walaupun terjadi kurangnya kepedulian dan perhatian terhadap kondisi Papua oleh Indonesia (Yambeyapdi, 2018), akan tetapi kini kepedulian dan pembangunan yang besar hingga ke pedalaman Papua telah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia (Munawaroh, tt). Tidak ada yang tidak berubah, semuanya akan berubah dalam sebuah konsep perjalanan sejarah manusia. Maka jika di masa lalu ada masalah perlakuan ketidakadilan terhadap hubungan antara masyarakat Papua dan Pemerintah Indonesia, maka kini pemerintah Indonesia telah memberikan hak yang jauh lebih besar dan sangat besar kepada masyarakat Papua. Tidak ada tesis dalam hidup yang berlaku mutlak, sebaliknya tidak ada anti-tesis yang berlaku abadi, semuanya akan menemukan sintesisnya dari pertarungan antara tesis dan anti-tesis.
Dialektika dan Sekuritisasi
Pemerintah Indonesia akhirnya menyikapi OPM di Papua sebagai kelompok teroris, tidak lagi sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Menyusul kebijakan tersebut, pemerintah meningkatkan kekuatan militer di Papua untuk menumpas OPM. Dalam perspektif strategi dan keamanan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memiliki beberapa konsekuensi.
Pertama, pemerintah telah dengan tegas menempatkan OPM dalam kerangka persepsi ancaman (threat perception) atas keamanan nasional dan kedaulatan NKRI. Sebab OPM jelas-jelas memiliki kapabilitas untuk menimbulkan konsekuensi negatif terhadap individu atau kelompok lain (Davis, 2000), dalam hal ini adalah masyarakat Papua dan NKRI.
Kedua, langkah-langkah yang diambil pemerintah merupakan bentuk sekuritisasi (securitization) terhadap dua objek (referent object) sekaligus, yaitu negara (kedaulatan) dan masyarakat (keamanan). Dalam pendekatan keamanan Copenhagen School mengungkap lima dimensi kemanan dan referent object, yaitu keamanan ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan militer. Sementara itu, referent object dari keamanannya yaitu negara dan masyarakat (Buzan, 1998).
Mengapa masalah OPM dikaitkan dengan kedaulatan Indonesia? Sebab OPM yang sebenarnya merupakan warisan kolonialisme, telah ‘menyandera’ proses integrasi Indonesia sebagai negara-bangsa cukup lama. Lebih dari itu, gerakan ini seringkali memanfaatkan forum dan jaringan internasional sebagai medium propaganda dan provokasi atas upaya disintegrasinya dari NKRI. Tidak jarang upaya tersebut menuai respons positif dari dunia internasional. Seperti munculnya dukungan dari beberapa negara Pasifik.
Gerakan ini juga tidak mendapat dukungan luas dari masyarakat Papua sendiri. Indikasi tersebut dilihat dari jumlah anggota OPM yang semakin berkurang, karena banyak anggotanya yang meragukan tujuan gerakan OPM lalu menyatakan kesetiaan kepada NKRI. Selain juga karena banyak tindakan kriminal yang dilakukan OPM terhadap masyarakat.
Kebijakan sekuritisasi dilakukan Indonesia sebagai respons atas ancaman (threat perception) yang dibangun OPM. Hal ini pada dasarnya menggambarkan dialektika sejarah antara Indonesia pada satu sisi sebagai negara-bangsa yang sedang berupaya terus-menerus mengokohkan status sebagai negara-bangsa di tengah gelombang globalisasi yang begitu kuat menggerus nilai-nilai kedaulatan dan nasionalisme, dengan Papua di sisi lain yang memiliki dimensi sejarah tersendiri dalam sejarah bangsa termasuk kemunculan OPM sebagai pengaruh dari kepentingan kolonialisme dan internasional. [ ]
*) Dosen Program Magister Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia **) Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia