Dr. Yuke Rahmawati, M.A*)
Dalam meraih kesejahteraan, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah semata, tapi juga sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras. Kerja keras ini juga bukan tanpa kendali, antara iman dan amal harus ada interaksi. Artinya, betapa pun kerasnya usaha yang dilakukan, harus selalu dalam bingkai hukum Islam. Dan salah satu kerja keras yang didorong Islam adalah berwirausaha (enterpreneurial).
Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru yang dilakukan berdasarkan ridho-Nya, karena semuanya akan dikembalikan kepada-Nya.
Max Weber (Weber, 1958) menilai bahwa kalangan Islam tidak mendukung proses akumulasi pertumbuhan ekonomi kapitalisme secara keseluruhan. Sebaliknya praktik-praktik sufistik yang cenderung “melupakan dunia” banyak dianut. Kalangan muslim pun kurang bersemangat dalam melakukan kegiatan ekonomi, di samping tidak tekun dan juga kurang perhitungan dalam proses bisnis. Singkatnya, mereka (umat Islam) tidak mempunyai “calling” atau panggilan ilahiah terhadap pertumbuhan kapitalis.
Dilihat dari pandangan Weber tentang Islam, bagi kita kaum muslim sangat sulit untuk menerima, dan malah kita bertanya, Islam yang bagaimana yang dipelajari oleh orang Eropa ini? Seberapa jauh seorang Weber mempelajari Islam? Seberapa lama waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran, serta bagaimana paham Weber mempelajari Islam ?
Walaupun pemahaman Weber tentang Islam kurang memberikan “value” bagi kalangan Islam, tapi setidaknya telah mengusik kalangan muslim sendiri. Ada kecenderungan dalam memahami Islam, Weber dipengaruhi oleh pemikiran orientalisme tentang Islam. Ada tiga hal yang melatar belakangi pemikiran Weber tersebut. Pertama, kekagumannya terhadap peradaban sejarah Eropa. Kedua, pemikirannya dipengaruhi oleh para orientalis tentang Perang Salib, dimana para orientalis tersebut menganggap zaman Islam sudah mulai memudar. Dan ketiga, sikap rasionalitas yang dikedepankannya, berbanding terbalik dengan kedaulatan Tuhan yang bersifat absolut.
Sikap rasionalitas merupakan unsur liberalisasi yang tumbuh subur pada saat revolusi Prancis, dimana sikap tersebut jika dihadapkan pada Islam, sedikit banyak akan bertolak belakang. Bukan dalam artian Islam sebagai agama yang tidak rasional. Justru Islam bisa dikatakan sebagai agama yang rasional dan menekankan penggunaan akal. Bedanya, dalam Islam, akal merupakan instrumen yang mempunyai keterbatasan. Dan kedaulatan, mestinya diletakkan di luar wilayah manusia, yakni kedaulatan adalah hak otoratif Allah SWT.
Pandangan Weber tentang Islam yang berhubungan dengan etos kerja, secara teologis dan sosiologis sangat tidak masuk akal. Hal ini tercermin dari kandungan al-Quran, tidak kurang 112 ayat dalam 41 surat yang disinggung dalam kaitan kata rezeki di mana merupakan terminologi dari etos kerja di samping amalan-amalan lainnya seperti tijarah, barakah, infak, shadaqah, bahkan riba. Kesemuanya tidak terlepas dari semangat kerja yang diperlihatkan oleh kaum muslim secara nyata.
Semangat kewirausahaan di kalangan muslim juga terlihat dari pepatah bahasa Arab “Inna al-samaa la tumtiru dzahaban wa la fidhatan” (langit tidak menurunkan hujan emas dan perak), tetapi perlu dengan semangat kerja yang tidak mengenal lelah. Atau kata hikmah yang bisa diimplementasikan ke kehidupan yang nyata “isy ka annaka ta’isyu abada” atau “I’mal li dunyyaka kaannaka ta’isyu abada”. Dimana terminologi “bekerjalah bagi duniamu seakan-akan kamu hidup abadi” yang menunjukkan kepada semua orang bahwa etos kerja orang muslim sangat bisa untuk diandalkan.
Islam adalah agama yang sangat mementingkan kerja atau amal. Islam tidak menghendaki bahkan membenci orang yang bermalas-malasan. Bahkan untuk menunjukkan betapa pentingnya kerja atau amal itu, al-Quran seringkali menggandengkan kata iman dengan kata amal. Pandangan yang secara tegas mendorong manusia untuk mengembangkan etos kerja itu bersumber pada firman Allah di dalam al-Quran (QS. al-Ra’du [13]: 11), yang terjemahannya adalah “…..Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka sendiri (yakni motivasi, tekad, dan usaha mereka) …..”.
Namun dalam kenyataannya, etos kerja ini belum sepenuhnya membudaya di masyarakat. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Tentunya ini tidak bisa dihubungkan dengan budaya Islam, karena budaya Islam menghendaki orang bekerja keras. Islam mengajarkan pemeluknya agar berwirausaha.
Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur lintas negara. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa etos entrepreneurship sudah melekat dan inheren dengan diri umat Islam. Bukankah Islam adalah agama kaum pedagang, lahir di kota dagang, dan disebarkan ke seluruh dunia oleh kaum pedagang?. Upaya membangun kembali semangat dan jiwa kewirausahaan umat Islam Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya, ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi entrepreunership umat Islam menjadi penting. Pertama, umat Islam sejak kelahirannya, memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi. Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur manca negara. Proses penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia sampai abad ke-13 M, dilakukan oleh para pedagang muslim. Masuknya Islam ke Indonesia dan upaya penyebarannya di Asia Tenggara, juga dibawa oleh para pedagang tersebut. Bukti nyata hal ini terlihat bahwa di setiap pesisir pantai Indonesia dan Nusantara penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, etos entrepreneurship sesungguhnya memang sangat melekat dan inheren dengan diri umat Islam. Ajaran Islam sangat mendorong jiwa kemandirian bagi umatnya, karena itu bagi seorang muslim, jiwa kewirausahaan seharusnya sudah menjadi bagian dari hidupnya. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bekerja dan beramal,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman, akan melihat pekerjaanmu” (QS. al-Tawbah [9]: 105).
Dalam ayat lain Allah berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (QS. al-Jumuah [62]: 10).
Tidak terhitung pula banyaknya hadits Nabi yang mendorong pengembangan semangat kewirausahaan. ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki” (H.R. Ahmad). ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)”. (H.R. Baihaqy).
Kedua, kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi kewirausahaan umat Islam. Amin Rais (Rais, 1986) menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam tentang fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi. Para wiraswastawan di bidang tenun, batik dan lainnya menurut Amin, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam “seleksi alam” proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador. Di mana terjadi proses alienasi dan deprivatisasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam). Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya umat Islam mengembangkan dan membangun pengusaha-pengusaha yang tangguh dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mewujudkan cita-cita negara ini. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.
Ketiga, kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah dewasa ini hendaknya diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur muslim. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi –khususnya bagi generasi muda– akan berdampak positif terhadap kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Hubungan sosiologi dari semangat etos kerja akan terlihat dari “penghasilan”, keuntungan dan akumulasi kapital. Di mana manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi yang mempergunakan semua sumber daya yang ada di sekitarnya untuk memenuhi keinginan yang relatif tidak terbatas dalam semangat kewirausahaan. Lihatlah QS. al-Jumuah [62]: 10, Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk menunaikan kewajiban kepada-Nya yang pada gilirannya nanti Allah pun akan memberikan hak hamba-Nya yang senantiasa patuh dan taat kepada-Nya.
Penelitian para ahli sejarah dan antropologi menunjukkan bahwa pada masa sebelum penjajahan, para santri memiliki semangat dan gairah yang besar untuk terjun dalam dunia bisnis, sebagaimana yang diajarkan para pedagang muslim penyebar agama Islam. Hal ini mudah dipahami karena Islam memiliki tradisi bisnis yang tinggi dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat bersama Nabi, syuhada dan orang-orang shalih. Islam — sebagaimana disebut di atas — sangat mendorong entrepreurship (kewirausahaan) bagi umatnya. Karena itu, para santri adalah pioner kewirausahaan di kalangan pribumi sehingga mereka selalu diidentikkan dengan kelas pedagang.
Karenanya, tidak aneh bila di Indonesia suku-suku yang kuat tradisi keagamaannya, justru kuat pula tradisi perdagangannya. Suku-suku Banjar, Minangkabau, Makassar, dan Bugis, adalah suku-suku yang kuat pemahaman dan pengamalan keagamaannya dan juga dikenal sebagai saudagar yang piawai. Demikian pula pengusaha-pengusaha industri kretek, batik, dan kerajinan perak di beberapa daerah di Jawa, berasal dari keluarga-keluarga yang menghayati dan menerapkan ajaran dan nilai-nilai agama Islam secara lebih sungguh-sungguh dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Oleh karena tingginya etos entrepreneurship umat Islam Indonesia masa lampau, maka hampir semua peneliti mengakui bahwa kaum muslim memiliki jiwa kemandirian/kewirausahaan yang tinggi, melebihi kelompok manapun, termasuk etnis Tionghoa.
Akhirnya, mari kita wujudkan Islam sebagai agama pembawa berkah dengan memperkuat umat dengan jiwa-jiwa enterpreneur. Menjadi umat Islam sebagai umat mandiri, yang menjadi pelaku usaha, bukan pengguna-pengguna produk. Menjadi produsen bukan konsumen. Kemandirian yang dijiwai semangat Islam, kelak akan menjadikan Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta alam. Wallahu a’lam. [ ] *) Dosen Program Studi Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta