Muhammad Ridhwan, M.Ag*)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut Asma Allah maka bergetarlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya.” QS. al-Anfal [8]: 2
Surah al-Anfal adalah surah kedelapan dalam urutan tertib surah. Pada akhir Surah al-A’raf, yakni surah ketujuh, ayat terakhir di surah ini menjelaskan tentang mereka yang didekatkan di sisi Allah (lihat QS. al-A’raf [7]: 206). Munasabah ayat ini dengan ayat berikutnya menjelaskan tentang kisah dan sifat dari mereka yang didekatkan Allah ke sisi-Nya. Kisah yang menceritakan tentang kaum muslimin yang berjuang mengalahkan kaum musyrikin dalam Perang Badr. Setelah kemenangan itu, harta rampasan perang yang cukup banyak ternyata dapat menimbulkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam hal pembagiannya.
Ayat pertama diawali dengan kisah bagaimana Rasulullah SAW ditanya tentang pembagian harta rampasan perang tersebut. Kemudian Allah menegaskan bahwa harta rampasan perang tersebut adalah milik Allah dan Rasul, karenanya kaum muslimin yang ikut dalam perang Badr tersebut diperintahkan bertaqwa dan memperbaiki hubungan setelah perselisihan tersebut. Lalu diakhir ayat ini, Allah menyatakan perintah agar mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Taat kepada Allah atas semua perintah dan larangan-Nya, ditegaskan dengan redaksi “jika kalian adalah orang-orang mukmin yang telah mantap keimanan dalam hatinya”.
Quraish Shihab menggaris bawahi bahwa jawaban atas pertanyaan di atas merupakan satu bentuk pendidikan bagi kaum muslimin. Di antara tradisi Arab Jahiliyah adalah mereka berperang dengan tujuan memperoleh harta rampasan. Islam hadir meluruskan motivasi mereka, bahwa Allah adalah tujuan utama, dan perang adalah untuk menegakkan kalimat-Nya (li i’lai kalimatillah). (Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 2009)
Ayat pertama diakhiri dengan kalimat إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ (Jika kamu adalah orang-orang mukmin), maka ayat kedua surah al-Anfal ini selanjutnya menjelaskan ciri-ciri atau sifat dari orang mukmin.
Sifat pertama orang mukmin adalah apabila disebut nama Allah – atau sekadar mendengar nama Allah disebut – maka gentar hati mereka, karena mereka sadar akan kebesaran, keindahan dan keagungan Allah. Sayyid Quthub menggambarkan makna dari وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ (wajilat qulubuhum) sebagai getaran yang menyentuh kalbu seorang mukmin ketika diingatkan tentang Allah, perintah atau larangan-Nya. Ketika itu, jiwanya dipenuhi oleh keindahan dan ke-Mahabesaran Allah, bangkit dalam dirinya rasa takut kepada-Nya, tergambar keagungan Allah serta tergambar pula pelanggaran dan dosanya. Semua itu mendorong diri seorang mukmin untuk beramal dan taat.
Sifat kedua orang mukmin adalah apabila dibacakan –oleh siapa pun— kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambah imannya. Jadi keimanan yang sudah tertanam semakin bertambah manakala ia mendengar ayat-ayat-Nya. Bertambah luas wawasannya, terpancar lebih banyak cahaya ke hati mereka dan kepercayaan atau keimanan itu menghasilkan ketenangan menghadapi segala sesuatu, sehingga sifat ketiga dari mereka adalah mereka akan bertawakkal hanya kepada Allah. Hanya kepada Allah semata, seorang mukmin berserah diri.
Thahir Ibnu Asyur menjelaskan bahwa penambahan iman dalam diri seorang mukmin tersebut karena ayat-ayat al-Quran mengandung mukjizat/bukti-bukti kebenaran sehingga setiap kali dibaca atau didengarkan, ayat-ayat itu akan menambah keyakinan mereka yang mendengarnya tentang kebenaran informasi dari ayat-ayat tersebut.
Dalam QS. az-Zumar [39]: 23 Allah berfirman, “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Kitab (al-Quran) yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.”
Takut Sebagai Wujud dari Keimanan
Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa takut kepada Allah SWT atas siksaan-Nya adalah puncak keimanan, tanda kebaikan, dan bukti keridhaan. Barangsiapa yang takut kepada Allah, ia akan selamat dari siksa-Nya, mendapat naungan perlindungan-Nya, terpelihara dari api neraka, dipertemukan kenikmatan surga, dan dicintai Allah SWT. (Az-Zuhaili, Ensiklopedia Akhlak Muslim, 2014)
Manusia selayaknya selalu memposisikan dirinya antara harap dan cemas di hadapan Allah SWT. Berharap dan bersemangat dalam menggapai karunia dan rahmat Allah, dan selalu dalam kecemasan akan siksa atau azab-Nya yang akan ditimpakan. Harap dan cemas yang ada dalam diri seseorang itu menjadi tanda-tanda kesempurnaan iman.
Sikap takut akan siksa ini dipertegas dalam QS. al-Ma’arij [70]: 26-28.
“Dan orang-orang yang membenarkan hari pembalasan. Dan orang-orang yang takut akan azab Tuhannya. Sesungguhnya azab Tuhannya tidak ada seorang pun yang merasa aman dari kedatangannya.”
Dalam satu riwayat dari Hakim melalui jalur periwayatan yang shahih dari Bahz bin Hakim r.a Rasulullah SAW bersabda, “Zurarah bin Aufa r.a memberikan jaminan keamanan kepadaku di masjid Bani Qusyair. Kemudian ia membaca al-Mudatsir, lalu ketika ia sampai pada ayat 8 surah al-Mudatsir. Apabila ditiupkan sangkakala, tiba-tiba ia mati tersungkur.” Ia tersungkur meninggal dunia ketika mendengar ayat tersebut karena sedemikian takutnya kepada Allah.
Pun dalam QS. al-Mu’minun [23]: 55-61, Allah mengulangi kata-kata takut ini dalam redaksi berbeda.
“Apakah mereka menyangka bahwa apa yang Kami ulurkan kepada mereka berupa harta dan anak-anak, (berarti) Kami segerakan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak demikian) bahkan mereka tidak sadar. Sesungguhnya orang-orang yang gentar karena takut kepada Tuhan-Nya. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan-Nya. Dan orang-orang yang tidak menyekutukan (sesuatu) dengan Tuhannya. Dan orang-orang yang memberikan pemberiannya sedang hati mereka takut, sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya. Mereka inilah orang-orang yang bersegera kepada kebaikan-kebaikan dan merekalah yang lebih dulu memperolehnya. (QS. al-Mukminun [23]: 55-61)
Buah dari sifat takut ini adalah seseorang tersebut akan memperoleh perlindungan dan rahmat dari Allah SWT sebagaimana diriwayatkan dalam satu hadits tentang tujuh golongan yang mendapat perlindungan Allah. Juga dalam riwayat lain dengan redaksi berbeda, “Barang siapa ingat kepada Allah dengan menangis hingga mencucurkan air matanya karena takut kepada Allah, sampai (air matanya) menetes ke bumi maka ia tidak akan disiksa di hari Kiamat.”
Perasaan takut kepada Allah menyebabkan rontoknya dosa. Dalam satu hadits riwayat Ibnu Hibban, dari Abbas bin Abdul Muthallib r.a. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kulit manusia terkelupas karena takut kepada Allah SWT, maka berguguranlah dosa-dosanya seperti pepohonan kering yang menggugurkan daunnya.”
Perasaan takut kepada Allah dan penuh harap atas rahmat-Nya menjadi jaminan keamanan dari azab Allah. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Watsilah bin Asqa’ r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang takut kepada Allah SWT, niscaya segala sesuatu akan takut kepadanya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak takut kepada Allah SWT, niscaya Dia akan menjadikannya takut terhadap segala sesuatu.”
Memperbanyak sholat dengan khusyu’ merupakan tanda keimanan. Dalam satu hadits riwayat Hakim, ia berkata, “Saat itu, kami sedang duduk menghadap Abdullah bin Umar r.a di Hijir Ismail. Kemudian Abdullah bin Umar r.a berkata, “Menangislah!. Apabila kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah menangis. Seandainya kalian berilmu, kemudian di antara kalian bersungguh-sungguh dalam shalat sampai membungkuk punggungnya, dan menangis sampai serak-serak (terputus) suaranya.”
Taqwa, Bukan Sekadar Takut
Dalam setiap khutbah Jumat, sang khatib selalu menyampaikan seruan taqwa dengan mengutip QS. Ali ‘Imran [3]: 102
“Wahai orang yang beriman, Bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa. Dan janganlah kamu mati, kecuali dalam berserah diri (sebagai muslim).”
Dawam Rahardjo dalam menguraikan makna taqwa merujuk pada pemaknaan umum bahwa taqwa selalu diartikan “takut kepada Tuhan” yang dilaksanakan dengan menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Pemahaman ini yang berlaku di kalangan umat Islam. Sehingga, J.M. Rodwell mengalihbahasakan kata muttaqin menjadi God-fearing atau orang yang takut (kepada Tuhan). (Rahardjo, 1996)
Toshihiko Izutsu –Guru Besar Linguistik– menyampaikan bahwa berdasarkan kajiannya, taqwa tidak bisa lepas dari budaya tradisional bangsa Arab yang diangkat oleh al-Quran sebagai suatu gebrakan budaya (cultural breakthrough). Gebrakan terhadap sifat-sifat kesombongan, kecongkakan, dan keangkuhan bangsa Arab agar mereka menurunkan rasa takabburnya yang berlebihan itu. Dalam pengertian taqwa, terkandung suasana takut, yang menurut analisisnya terhadap keseluruhan sistem nilai etika dalam al-Quran. Takut dalam artian ini hampir sama dengan percaya atau pengabdian, bukan takut dalam artian umum yang lebih tepat dengan kata khauf atau khasyiya.
Takut yang dimaksud dari kata taqwa bukanlah takut yang biasa. Tapi takut kepada Tuhan, yang pada awalnya adalah takut akan hadirnya hari pembalasan yang dikabarkan oleh wahyu-wahyu yang turun di awal-awal (baca: Surah-surah Makiyyah).
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan kamu. Sesungguhnya guncangan Sa’ah adalah sesuatu yang mengerikan.” Dan diperkuat dengan QS. al-Anbiya [21]: 49 yang memberi ciri orang yang bertaqwa adalah orang yang takut (yakhsawna) kepada Tuhan mereka dengan diam-diam, dan mereka takut dengan hari Kiamat. Jadi Izutsu menyimpulkan bahwa takutnya di sini adalah takut yang bernuansa eskatologis. Bukan seperti takutnya manusia terhadap harimau atau binatang buas yang membuat manusia lari daripadanya.
Buya Hamka juga menyampaikan bahwa memaknai taqwa sebagai takut adalah pemaknaan yang sempit. Sempit hanyalah sebagian dari arti taqwa tersebut. Menurutnya taqwa juga mengandung arti cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha, sabar dan lain sebagainya. Bahkan taqwa juga bisa bermakna berani. Intinya, taqwa berarti pelaksanaan iman dan amal shalih, memelihara hubungan dengan Tuhan, bukan saja karena takut, tetapi lebih dari itu, yakni karena kesadaran diri sebagai Hamba Allah. Taqwa juga bermakna memelihara diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah. (bagian 1 dari 2 tulisan) *) Tendik, Kepala Bagian Nilai-nilai Keilslaman, PKPENK UAI